Senin, 24 Oktober 2011

Menggugat Ketidakadilan PBB

Dewasa ini yang menjadi masalah mendasar dari PBB adalah demokratisasi, restrukturisasi, dan reformasi. Gagasan reformasi PBB yang sudah bergulir lebih dari satu dekade, tetapi pada kenyataannya perubahan yang diinginkan tersebut sampai saat ini masih jauh dari harapan.

Janganlah bertindak sebagai tangan kanan yang buta dari kolonialisme. Jika tuan bertindak demikian, maka tuan pasti akan membunuh Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa ini, dan dengan begitu tuan akan membunuh harapan dari berjuta-juta manusia, yang tiada terhitung itu dan mungkin tuan akan menyebabkan hari depan mati dalam kandungan.
Ungkapan yang diucapkan lantang oleh Presiden Sukarno, saat berpidato dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tanggal 30 September 1960 di New York, Amerika Serikat (AS), merupakan kritikan yang sangat pedas menelanjangi peran PBB sebagai kaki-tangan Barat, terutama AS dalam menanamkan hegomoni politiknya di fora internasional.
Keberanian Sukarno dalam memberikan kritikan bukan tanpa alasan, tata dunia yang dibangun berdasarkan semangat multilateral dalam menjaga perdamaianan dan keamanan internasional untuk kesejahteraan umat manusia di dunia sebagaimana yang tercantum dalam Piagam PBB, telah mengalami penjimpangan. Negara-negara great power yang diberi amanah melalui keistimewaan hak veto yang dimilikinya hanya memperjuangkan kepentingan nasionalnya masing-masing.
PBB sebagai organisasi multilateral yang lahir sebagai product pasca Peran Dunia II, realitasnya hanya mengakomodasi pada negara-negara yang menang perang dalam konteks politik internasional. Ironisnya, kritikan yang disuarakan Sukarno 51 tahun yang lalu terhadap peran yang dimaikan PBB dalam menjaga perdamaian dan keamananan dunia sampai di hari jadinya yang ke-66 (24 Oktober) masih terus mewarnai organisasi ini karena dianggap tidak mencerminkan aspirasi dari anggotanya dalam membuat keputusan.
Sehingga, wacana untuk melakukan reformasi di tubuh PBB agar lebih adil bagi anggota-anggotanya terus bergulir dan menjadi perdebatanan sejak digulirkan pertamakali tahun 1990-an. Salah satu kasus yang paling menonjol dan selalu menjadi kritikan masyarakat internasional menyangkut penyelesaian masalah Palestina, PBB dianggap mandul dalam menyelesaikannya akibat dari intervensi AS yang memveto setiap resolusi yang dianggap merugikan kepentinganan Israel.

Agent Reliable
Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) telah menjadi isu yang mengemuka dalam kajian Studi Ilmu Hubungan Internasional Pasca Perang Dingin. Negara-negara Barat terutama AS memandang bahwa penegakan HAM dapat dilakukan dengan cara pemaksaan (kekerasan) terhadap negara-negara yang dianggap melangarnya.
Dasar pemikiran inilah yang digunakan untuk menghukum rezim Khadafi yang dianggap tidak memiliki political will untuk menerapkan prinsip responsibility to protect guna melindungi warga negaranya yang dianggap melangar norma yang berlaku dalam masyarakat internasional. Prinsip ini berdasarkan Resolusi Majelis Umum dalam forum The UN World Summit in 2005, sebagai landasan bagi anggota PBB untuk memberikan perlindungan terhadap warga sipil.
Atas dasar itulah, Dewan Keamanan (DK) PBB kemudian mengeluarkan Resolusi No 1970, tanggal 26 Pebuari 2011 yang berisi himbauan kepada seluruh anggota PBB untuk melakukan langkah-langkah kolektif untuk menghukum rezim Khadafi. Dalam perkembangannya karena Resolusi No 1970, masih dianggap tidak cukup efektif dalam pelaksanaannya, maka DK PBB kemudian mengeluarkan Resolusi No 1973, tanggal 17 Maret 2011 yang menerapakan zona larangan terbang guna melindungi masyarakat sipil dari serangan pasukan Muamar Khadafi.
Lahirnya resolusi tersebut merupakan menerapkan prinsip responsibility to protect yang menjadi dasar bagi PBB dalam mengambil tindakan tegas terhadap Libya. Prinsip ini juga menjadi basis legitimasi yang digunakan Perancis, Inggris, dan AS (NATO) untuk melakukan intervensi ke Libya.
Dengan alasan demokrasi dan kemanusiaan sebagai bagian dari prinsip responsibility to protect, PBB telah merestui tindakan NATO. Ironisnya, operasi militer tersebut telah membunuh warga sipil tidak berdosa di Libya. Disamping itu, pada saat bersamaan PBB malah menutup mata, ketika Arab Saudi negara paling monarkhis dan anti-demokrasi di dunia, mengirim tank dan pasukan militer untuk menindas demonstran pro-demokrasi di Bahrain.
PBB pun menutup mata saat pesawat tempur dan militer Israel kembali menggempur warga sipil yang tidak berdosa di Jalur Gaza, Palestina. PBB juga telah melakukan pembiaran terhadap warga sipil Somalia dan menjadikannya sebagai negara gagal tanpa adanya tindakan kongret dari PBB. Dengan demikian, prinsip responsibility to protect terkesan hanya dijadikan alasan pembenaran bagi AS yang menggunakan PBB sebagai alat untuk menanamkan hegomoni politik internasionalnya dengan pendekatan ekonomi politik. Sehingga, PBB sebagai agent reliable international dipertanyakan.

Reformasi PBB
Dewasa ini yang menjadi masalah mendasar dari PBB adalah demokratisasi, restrukturisasi, dan reformasi. Gagasan reformasi PBB yang sudah bergulir lebih dari satu dekade, tetapi pada kenyataannya perubahan yang diinginkan tersebut sampai saat ini masih jauh dari harapan.
Komposisi dalam tubuh DK PBB sudah tidak lagi mencerminkan komposisi negara-negara di dunia. Dimana, reformasi keanggotaan perlu ditinjau bukan lagi dari perspektif sonsiliasi pasca Perang Dingin. Dengan demikian, selama struktur dan komposisi DK termasuk hak veto hanya dimiliki oleh lima anggota tetap tidak diubah, maka tidak akan ada keadilan dalam menangani barbagai masalah global yang di hadapi dunia saat ini.
Setidaknya, bila penghapusan hak veto sulit dilakukan kareana akan merubah Piagam PBB, maka setidaknya perlu adanya pembatasan penggunaan hak veto melalui komitmen dari anggota tetap (great power), dimana hak veto tidak digunakan ke arah tindakan yang dimaksudkan untuk pelaksanaan resolusi yang sudah diadopsi DK PBB agar terjadi prinsip keadilan bagi setiap anggotanya.
Selama ini problematika hak veto selalu membayangi legitimasi DK PBB. Dengan hak veto anggota tetap setiap saat dapat mempengaruhi terjadinya perubahan subtansi secara besar-besaran dari suatu resolusi. Bahkan, hak veto mampu mengancam terbitnya resolusi yang dianggap tidak menguntungkan negara pemilik hak veto maupun sekutunya.
Sebagaimana ancaman AS yang akan melakukan veto atas keingginan Palestina menjadi anggota penuh PBB. Di sisi lain, di antara anggota tetap selalu mengancam untuk menggunakan hak vetonya dalam suatu forum konsultasi tertutup agar kepentingan mereka masing-masing dapat terpenuhi tanpa samasekali memperdulikan subtansi permasalahan.
Peran DK sebagai pemegang otoritas penjaga perdamaian dan keamanan internasional praktis tidak optimal akibat adanya pertentanagn kepetingan masing-masing ke-5 anggota tetap sebagai pemegang veto power.
Ada dua tujuan utama yang hendak dicapai dalam reformasi DK PBB. Pertama, untuk menciptakan struktur PBB yang mewakili konstelasi politik dunia dewasa ini, termasuk keterwakilan negara-negara berkembang karena struktur keanggotaan saat ini tidak mencerminkan peta politik dunia kontemporer.
Kedua, meningkatkan peran dan kapasitas PBB dalam mengatasi persoalan-persoalan soft politics yang dihadapi anggota-anggotanya pasca Perang Dingin-seperti; kemiskinan, energi, pangan, terorisme, dan lingkungan hidup. Sehingga, diperlukan kesadaran dan partisipasi seluruh anggotanya dengan PBB sebagai sentralnya.

Oleh;
Aspiannor Masrie
Dosen Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fisip Unhas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Tulis Komentar Anda