Sabtu, 27 Februari 2010

Wahai Rakyat, Siapkan Telor Busuk pada 2 Maret 2010

Posting : 28 Februari 2010

Jakarta - Akhir drama Centurygate tinggal beberapa hari lagi. Agendanya, 17 Februari besok Pansus akan membuat simpulan akhir dan hasilnya akan dibawa ke Rapat Paripurna DPR pada 2 Maret 2010. Guna mengawal hasil akhir pansus, anggota Pansus Century dari Fraksi Golkar, Bambang Soesatyo menyerukan masyarakat untuk menyiapkan telor busuk pada 2 Maret tersebut.

"Silakan datang ke DPR dengan membawa telor busuk. Lalu, sambitlah mobil-mobil para anggota dengan telor busuk jika mereka membelok dari simpulan akhir Pansus," kata Bambang dalam diskusi Centurygate di Kampus Paramadina, Jalan Gatot Soebroto, Sabtu (13/2/2010).

Seruan tersebut untuk mengawal putusan sementara Pansus Century dengan skor 7:2. Guna mencegah perubahan skor, Bambang berharap peran aktif masyarakat untuk turun ke jalan pada 2 Maret.

"Nanti kan ketahuan di Paripurna, siapa saja yang berubah dan membelot," tambahnya.

Cikal Pemakzulan Tergambar 02 Maret

Posting : 28 Februari 2010
Hampir semua fraksi dalam Pansus Bank Century menolak adanya upaya atau hubungan Pansus dengan pemakzulan terhadap Presiden SBY dan Wapres Boediono. Tapi, faktanya di lapangan pada 1 Maret nanti MPR bersidang dengan agenda tunggal menetapkan pengesahan Rancangan Keputusan MPR tentang peraturan tata tertib MPR yangmemuat pengaturan mengenai ‘’impeachment’’ terhadap Kepala Negara yang mengatur tata cara pemberhentian Presiden atau Wakil Presiden.

Jalannya pemerintahan SBY – Boediono selama empat bulan belakangan ini memang penuh dengan tantangan dan permasalahan, cukup kompleks. Berbagai kasus muncul, seperti Prita Mulyasari, Antasari, ‘’cicak versus buaya’’, Anggodo, sampai kasus kriminalisasi KPK, dan terakhir ini Pansus Bank Century.

Semuanya itu membuat citra pemerintahan SBY – Boediono merosot di mata rakyat. Sampaisampai ada yang mengusung spanduk ‘’Lakukan Referendum Segera’’. Apalagi berbagai aksi unjuk rasa semakin berani sebagai ekspresi melakukan perlawanan dengan membawa poster yang isi dan gambarnya macam-macam, bahkan kerbau pun ditarik masuk ke arena unjuk rasa dengan tulisan ‘’SiBuYa’’ di bagian badan dan melekatkan gambar wajah SBY di bagian belakang binatang yang cenderung gemuk, pemalas, lamban, dan bodoh itu.

Sebagian aksi massa di jalanan itu kita nilai masih dalam kategori positif, bagian dari kebebasan berkumpul dan mengeluarkan pendapat, namun beberapa di antaranya sudah tidak pantas dilakukan dan seharusnya dilakukan antisipasi oleh aparat keamanan dan intelijen. Posisi Presiden SBY selaku Kepala Negara dan Pemerintahan memang tidak kokoh lagi.

Kemenangan 60 persen suara dalam Pilpres lalu tidak membuatnya mudah menjalankan roda pemerintahan. Terbukti, meskipun koalisi partai pendukung pemerintah (Demokrat) sudah terbentuk, kontrak kerja sudah diteken oleh ketua-ketua parpol, bahkan sejumlah kader parpol didudukkan sebagai menteri, namun di DPR masing-masing parpol jalan sendirisendiri.

Hal itulah yang membuat Presiden SBY dan pengurus Partai Demokrat gusar. Terdengar kabar pula undangan Presiden SBY tidak digubris oleh pimpinan partai koalisi sehingga pertemuan Presiden SBY dengan pimpinan partai-partai koalisi yang seyogianya belangsung Senin (22/2) malam ditunda.

Walaupun katanya atas permintaan sejumlah partai anggota koalisi, namun alasan mereka tidak datang karena takut ditekan dalam kaitan hasil Pansus sudah menjadi rahasia umum setelah hampir semua partai ngotot mempermasalahkan ‘’bailout’’ seperti PDIP, Gerindra, Hanura, PKS, PAN, PPP, dan Golkar.Hanya Demokrat dan PKB saja yang tegas menyatakan ‘’bailout’’ tersebut sudah tepat dan sah.

Kini, posisi Presiden SBY semakin berat jika dalam sidang paripurna hasil Pansus Bank Century nanti ketujuh parpol tetap pada pendiriannya mengecam kebijakan ‘’bailout’’ yang merugikan uang negara Rp6,7 triliun, kemudian meminta aparat penegak hukum seperti KPK, Polri dan Kejagung turun tangan menindaklanjuti kasus hukumnya.

Apalagi kalau hasil voting sidang paripurna DPR nanti secara tegas menyebut nama Boediono, Sri Mulyani, Pande Pardede, Rudjito, Aulia Pohan, Sabar Anton Tarihoran, Rusli Simanjuntak Miranda Goeltom dll bersalah. Mengenai pemakzulan menurut hemat bukanlah sesuatu yang aneh dan mustahil.

Dalam Undang-Undang Dasar sudah diatur dan sudah beberapa kali diamandemen. Dan 1 Maret nanti tata tertibnya akan disahkan di MPR. Meskipun agenda MPR itu sudah jauh hari diagendakan, bahkan sudah pula dibicarakan dalam Mahkamah Konstitusi namun tetap saja muncul dugaan sengaja disetting untuk menjatuhkan Presiden dan Wapres RI sekarang ini.

Jadi, mungkin atau tidaknya pemakzulan banyak tergantung kesimpulan akhir fraksi-fraksi dalam Pansus tentang penyelidikan kasus Bank Century. Kalau mayoritas anggota Pansus tidak berubah maka tindak lanjut dari hasil Pansus Bank Century bisa saja menuju ranah politik berupa pemeriksaan hingga penahanan terhadap orang-orang yang direkomendasi bertanggung jawab, sampai pada akhirnya masuk ke pergantian sejumlah menteri dan awal dimulainya upaya pemakzulan khususnya Wapres.

Memang untuk sampai ke Presiden SBY rasanya mustahil, kecuali ditemukan fakta-fakta baru yang melibatkan Presiden secara langsung sehingga memenuhi syarat untuk dilengserkan. Namun begitu, bisa mungkin pula fakta-fakta baru yang ditemukan dalam beberapa hari menjelang sidang paripurna 2 Maret nanti malah menguntungkan Presiden SBY, Wapres Boediono, Menkeu Sri Mulyani dll para loyalis dan pendukung setianya. Sebab, lobi-lobi dengan jurus maut dan ‘’mati-matian’’ akan dilakukan orang-orang Demokrat, termasuk merangkul Gerinda, Hanura atau PDIP jika PKS dan Golkar ngotot ke luar dari koalisi pemerintah.

Rabu, 24 Februari 2010

Selain Century Gate, SBY Bisa Jatuh Karena FTA

Posting : Rabu 24 Februari 2010

Punah sudah optimisme bahwa pemerintah sudah siap dengan perdagangan bebas China dalam artikel "Perdagangan Bebas China: Perubahan Struktur Ekonomi Indonesia". Sebab, pemberitaan media massa menunjukkan bahwa pemerintah baru mau akan berencana membuat rencana penyusunan tim perencana.

Gambaran dampak serbuan produk China di Amerika Serikat belum tentu sama dengan di Indonesia. Bisa jadi memiliki dampak positif, bisa pula berdampak lebih buruk dari Amerika.

Salah satu dampak positif yang disampaikan menteri perdagangan adalah hilangnya kuota impor terhadap produk CPO dari Indonesia. Di sisi pengusaha CPO, tentulah hal ini sangat menguntungkan. Tapi apakah kebutuhan minyak gorang dalam negeri akan aman? Jika ekspor CPO jauh lebih menguntungkan maka suplay minyak goreng dalam negeri bisa menurun.

Naiknya harga minyak goreng di daerah Banyumas harus dikaji secara serius, apakah kenaikan ini terkait dengan FTA atau tidak. Oleh karena itulah Blog ini pernah mengusulkan sebuah Observatory Command Center (OCC) sebagai pusat kendali kebijakan yang dapat bergerak cepat mengidentifikasi berbagai permasalahan bangsa. Sayangnya, aku baru mendengar tentang FTA saat libur akhir tahun kemaren, sehingga engga bisa mengkaitkan pentingnya OCC di era FTA ini.

Negeri China yang pertumbuhan ekonominya tinggi tentulah haus akan energy, sehingga engga cuman masalah minyak goreng saja yang perlu diperhatikan. Masalah suplay energy juga harus diidentifikasi dengan cepat. Madia massa sudah mulai memberitakan kelangkaan energy di daerah. OCC atau lembaga sejenis makin dibutuhkan peranannya.

Tidak sepenuhnya salah jika pemerentah belum menyusun strategi menghadapi FTA. Strategi yang disusun pada saat FTA sudah berjalan akan mempermudah pengkajian karena dampak FTA sudah menjadi nyata, bukan lagi prediksi atau perkiraan. Dengan demikian kebijakan yang dihasilkan harus benar-benar efektif dan tidak boleh salah, tidak ada waktu lagi untuk belajar dari kesalahan.

Perlu disadari, penyusunan strategi yang bersamaan dengan FTA sangat mudah terjebak dalam kesalahan yang fundamental. Seperti strategi pembentukan Satgas Anti Mafia Hukum. Satgas ini bekerja dalam ranah hukum saja, padahal fenomena mafia hukum lahir bukan karena masalah hukum saja, tapi ada faktor ekonomi, politik, budaya, dsb. Persis seperti gambaran Gunung Es oleh Eyang Kakung Bibit. Jika satgas hanya berkutat dengan aturan-aturan maka para mafia hukum akan bermetamorfosa dan berevolusi untuk menjaga eksistensinya, karena masih dibutuhkan keberadaannya oleh oknum-oknum tertentu.

Kembali ke FTA, pelaku ekonomi rill akan bergerak tanpa menunggu kebijakan pemerintah, baik bergerak untuk menuju situasi kondusif maupun ke arah yang lebih buruk. Dan pemerintah harus mengontrol semuanya.

Bukan kasus Century, KPK, Anggodo dan kasus-kasus hukum lainnya yang akan menjadi sumber referensi utama untuk menjatuhkan Presiden, karena kekuatan-kekuatan konstitusi sudah terpetakan dengan baik. Tapi kasus gula, minyak dan sejenisnya yang akan menyentuh pemegang konstitusi tertinggi di Indonesia, yaitu rakyat Indonesia.

Secara pribadi, aku lebih seneng Presiden terpilih mengadakan perbaikan-perbaikan riil daripada dilengserkan dan diganti. Resikonya lebih kecil dan prosesnya (seharusnya) akan lebih cepat.

Selasa, 23 Februari 2010

Kasak Kusuk Sebut Nama di Century (Amien Rais)

Posting : Selasa 23 Februari 2010

Ketua Majelis Pertimbangan Pusat Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais mendukung penuh agar Pansus Hak Angket Century menyebutkan nama, jabatan, dan lembaga yang bertanggung jawab atas penggelontoran dana Rp 6,7 triliun saat Pansus menyampaikan pandangan akhirnya. "Kalau kita masuk wilayah tanpa nama, itu namanya Pansus tanpa nama. Pansus yang tidak bertanggung jawab" (Amien Rais)

"Konklusi saat katakan, bicaralah yang benar, sebutkanlah nama. Kalau kita masuk wilayah tanpa nama, itu namanya Pansus tanpa nama. Pansus yang tidak bertanggung jawab," kata Amien Rais saat audiensi dengan Tim Sembilan Inisiator Hak Angket Century di kediaman Amien Rais, Gandaria, Jakarta, Senin (22/2/2010).

Dalam pertemuan tersebut, Amien juga mengatakan agar Pansus menepis sejauh mungkin tekanan-tekanan yang memungkinkan Pansus mengubah sikap pada pandangan akhir. "Pansus berubah gaya atau sikap, tolong ditepis sejauh mungkin. Pansus ini milik rakyat, harap disesuaikan dengan kehendak rakyat. Tapi jangan hanya takut rakyat, tapi takut Tuhan juga," ujarnya.

Selain itu, Amien juga mengatakan bahwa dirinya akan hadir pada saat Pansus menyampaikan pandangan akhirnya di Senayan. "Saya akan datang besok, saya akan duduk di balkon," imbuhnya.

Diberitakan sebelumnya, Tim Sembilan Inisiator Hak Angket Pansus Century yang terdiri dari Bambang Soesatyo, Maruarar Sirait, Andi Rahmat, M Misbakhun, Candra Tirtawijaya, Akbar Faisal, Ahmad Muzani, Kurdi Mukri, dan Lily Wahid berencana mencari dukungan sejumlah tokoh nasional terkait pandangan akhir yang akan mereka sampaikan.

Kasak Kusuk Sebut Nama di Century (Versi Demokrat)

Posting : Selasa 23 Februari 2010

Jelang akhir kesimpulan, perang urat syaraf mulai terbuka. Anggota Pansus asal Partai Demokrat Benny Kabur Harman menilai, gembar-gembor pernyataan tentang penyebutan nama penanggung jawab atas penyimpangan aliran dana Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) senilai Rp 689 miliar dan dana talangan sebesar Rp 6,7 triliun sebagai provokasi murahan.

"Ini untuk memprovokasi partai politik saja, provokasi murahan," ucap Anggota Pansus asal Partai Demokrat Benny Kabur Harman.

Menurut Benny, untuk menyebut nama penanggung jawab penyimpangan di Bank Century, anggota Pansus harus membuktikan secara hukum. Padahal, Pansus sendiri tidak memiliki kewenangan di wilayah hukum. "Yang memiliki kewenangan ada tindak pidana itu kan aparat hukum. Apakah pansus sama dengan polisi?" tanya Benny.

Benny menegaskan, hingga kini Fraksi Partai Demokrat bersikukuh tidak ada temuan pelanggaran dan penyimpangan atas aliran dana FPJP dan bail out. Hal ini sekaligus membantah keterlibatan Gubernur BI Boediono, dan Ketua KSSK Sri Mulyani. "Apa datanya? Wong datanya tidak ada," ujarnya.

Sebelumnya, empat Fraksi yang bergiat di Pansus, yakni PDI Perjuangan, Hanura, Golkar dan PKS ngotot akan menyertakan nama-nama penanggung jawab atas dugaan penyimpangan dan pelanggaran yang terjadi di aliran dana FPJP dan dana talangan.

Senin, 22 Februari 2010

People Power Ala Facebooker

Posting, Senin 22 Februari 2010

Sejarah telah bertutur: jangan main-main dengan massa yang berkerumun. Penguasa sekuat apa pun bisa ambrol bila melawan massa seperti itu. Gerakan people power di Filipina telah menghancurkan rezim Ferdinand Marcos. Gelombang unjuk rasa mahasiswa pada 1998 juga telah melengserkan Soeharto.

Itu dulu, Bung. Untuk menumbangkan penguasa, orang perlu berkumpul di satu tempat. Mereka berunjuk rasa bersama-sama meniru demo ala Lech Walesa atau Tragedi Tiananmen. Lalu menggabungkan energi kemarahan sehingga menghasilkan tuntutan yang meledak-ledak.

Sekarang orang tak perlu berkerumun di satu tempat untuk menggerakkan people power. Ini zaman web 2.0 (meminjam definisi Tim Tim O’Reilly), Bung, era orang bisa menyuarakan pendapatnya dengan lantang. Facebook dan Twitter jauh merasuk ke relung-relung kantor, kampus, juga tempat-tempat nongkrong. Cukup teriakkan kepedihan bersama di Facebook, “jemaah fesbukiyah” akan mendukungnya spontan. Lihat saja gerakan mendukung dua pimpinan nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit Samad Rianto dan Chandra M.Hamzah. Hanya dalam hitungan hari, sekarang sudah terkumpul “kerumunan” yang terdiri atas lebih darisejuta pendukung.
Mereka sangat lantang dan juga galak. Gerakan mengenakan pita hitam atau baju hitam sebagai bentuk keprihatinan terhadap matinya keadilan hukum dan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan polisi serta kejaksaan sebagai contohnya. Dalam sekejap, gerakan mengenakan pita hitam menyebar ke mana-mana.

Padahal, dalam gerakan ini, tak ada yang disebut superinfluential people, seperti teori Malcolm Gladwell dalam bukunya, The Tipping Point. Dulu setiap perubahan selalu membutuhkan “orang berpengaruh”. Polandia butuh Lech Walesa. Gerakan reformasi 1998 di Indonesia butuh orang-orang seperti Amien Rais, Abdurrahman Wahid, Sri Sultan Hamengku Buwono, juga para orator mahasiswa, yang kini sudah duduk manis di kursi Dewan Perwakilan Rakyat.

Merek Hush Puppies, seperti kata Galdwell, pun butuh orang berpengaruh. Merek yang hampir mati itu tiba-tiba melejit–penjualannya terbukukan 5.000 persen, lantaran orang-orang penting tiba-tiba memakai sepatu Hush Puppies.
People power melawan ketidakadilan terhadap Bibit dan Chandra tidak membutuhkan superinfluential people. Mereka tak butuh koordinator lapangan atau orang-orang yang mencari donasi untuk membeli nasi bungkus. Saat orang merasakan “kepedihan yang sama”, orang pun berkerumun di Facebook dan Twitter serta situs jejaring sosial lainnya. Tak peduli siapa yang meneriakkannya. Siapa yang kenal dengan pembuat “Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah & Bibit Samad Rianto”, yakni Usman Yasin? Mungkin 99 persen pendukung gerakan ini dipastikan tak mengenalnya.

Dulu betapa repotnya mengumpulkan sejuta orang. Kini bisa terkumpul dengan beberapa klik komputer. Inilah People Power 2.0. Di Indonesia, setidaknya sudah dua kali people power model ini lahir dan menekan dengan kuat orang-orang yang berkuasa. Yang pertama, saat Prita Mulyasari, penulis e-mail yang dipenjarakan Rumah Sakit Omni International Serpong. Yang kedua adalah gerakan dukungan terhadap KPK dan membuat Presiden Yudhoyono tergopoh-gopoh memanggil tokoh penting, membentuk Tim Pencari Fakta.

Kepolisian, kejaksaan atau Presiden sekalipun boleh menganggap remeh gerakan ini. Mereka mungkin akan bilang, “Ah, itu kan cuma di Facebook” atau “Ah, itu kan bukan gerakan kaum elite, bukan gerakan rakyat”. Tapi keadaan bisa berbalik. Perubahan memang selalu dipelopori dari kalangan kelas menengah, baru kemudian menetes ke masyarakat kelas bawah atau atas. Sekarang sudah terbukti, sejuta facebooker bisa menggoyang Yudhoyono, yang meraih dukungan dari 41 juta orang pada Pemilu 2009.

Bila masyarakat marah, People Power 2.0 akan terus bergulir, membesar bak bola salju. Seperti kata Mahfud Md., Ketua Mahkamah Konstitusi. “Kalau pemerintah tidak bisa memberi keadilan, rakyat akan mencari keadilan sendiri.”

Sabtu, 20 Februari 2010

Kearifan Lokal Dibalik Phinisi

Posting : Sabtu, 20 Februari 2010

Di ujung selatan pulau Sulawesi, masyarakat setempat membangun sebuah tradisi bahari selama ratusan tahun. Cerita-cerita tentang keperkasaan para pelaut Bugis, Makassar, Mandar, dan Konjo telah menjadi buah bibir hingga ke pelosok negeri nun jauh di seberang lautan. Keindahan dan kekokohan perahunya dalam menghadapi keganasan ombak lautan, telah melahirkan cerita-cerita kepahlawanan yang mengagumkan.

Kisah tentang perahu Phinisi dari Tanah Beru dan para pelaut dari Bira, Kabupaten Bulukumba, yang mengemudikannya, kini sudah bukan cerita asing lagi. Namun tak banyak yang mengetahui kehebatan para pelaut dari ujung selatan Sulawesi ini dibangun dari tradisi panjang. Budaya itu didasarkan pada mitos tentang penciptaan perahu pertama oleh nenek moyang mereka.

Alkisah dalam mitologi masyarakat Tanah Beru, nenek moyang mereka menciptakan sebuah perahu yang lebih besar untuk mengarungi lautan, membawa barang-barang dagangan dan menangkap ikan. Saat perahu pertama dibuat, dilayarkanlah perahu di tengah laut. Tapi sebuah musibah terjadi di tengah jalan. Ombak dan badai menghantam perahu dan menghancurkannya. Bagian badan perahu terdampar di Dusun Ara, layarnya mendarat di Tanjung Bira dan isinya mendarat di Tanah Lemo.

Peristiwa itu seolah menjadi pesan simbolis bagi masyarakat Desa Ara. Mereka harus mengalahkan lautan dengan kerjasama. Sejak kejadian itu, orang Ara hanya mengkhususkan diri sebagai pembuat perahu. Orang bira yang memperoleh sisa layar perahu mengkhususkan diri belajar perbintangan dan tanda-tanda alam. Sedangkan orang Lemo-lemo adalah pengusaha yang memodali dan menggunakan perahu tersebut. Tradisi pembagian tugas yang telah berlangsung selama bertahun-tahun itu akhirnya berujung pada pembuatan sebuah perahu kayu tradisional yang disebut Phinisi.

Kini keyakinan mistis terhadap mitologi kuno itu masih kental dalam setiap proses pembuatan Phinisi. Diawali dengan sebuah ritual kecil, perahu Phinisi dibuat setelah melalui upacara pemotongan lunas. Upacara itu dipimpin seorang pawang perahu yang disebut Panrita Lopi.

Berbagai sesaji menjadi syarat yang tak boleh ditinggalkan dalam upacara ini seperti semua jajanan harus berasa manis dan seekor ayam jago putih yang masih sehat. Jajanan menimbulkan keinginan dari pemilik agar perahunya kelak mendatangkan keuntungan yang tinggi. Sedikit darah dari ayam jago putih ditempelkan ke lunas perahu. Ritual itu sebagai simbol harapan agar tak ada darah tertumpah di atas perahu yang akan dibuat.

Kemudian, kepala tukang memotong kedua ujung lunas dan menyerahkan kepada pemimpin pembuatan perahu. Potongan ujung lunas depan di buang ke laut sebagai tanda agar perahu bisa menyatu dengan ombak di lautan. Sedang potongan lunas belakang di buang ke darat untuk mengingatkan agar sejauh perahu melaut maka dia harus kembali lagi dengan selamat ke daratan. Pada bagian akhir, Panrita Lopi mengumandangkan doa-doa ke hadapan Sang Pencipta.

Di dunia internasional, perahu Phinisi baru dikenal sejak 1906 silam. Perahu itu adalah bentuk termodern dari kapal tradisional orang Bugis-Makassar yang telah mengalami proses evolusi panjang. Kapal itu dibuat sebagai perahu layar dengan dua tiang dan tujuh hingga delapan helai layar. Pada umumnya perahu ini berukuran kecil dengan daya muat antara 20 hingga 30 ton dan panjang antara 10 hingga 15 meter. Hampir keseluruhan pembuatan perahu dilakukan dengan teknik-teknik sederhana dan mengunakan tenaga mesin yang sangat minim.

Jumat, 19 Februari 2010

Sejarah Lengkap Revolusi Perancis

Posting : Jumat 19 Februari 2010

Revolusi Perancis adalah masa dalam sejarah Perancis antara tahun 1789 dan 1799 di mana para demokrat dan pendukung republikanisme menjatuhkan monarki absolut di Perancis dan memaksa Gereja Katolik Roma menjalani restrukturisasi yang radikal.

Meski Perancis kemudian akan berganti sistem antara republik, kekaisaran, dan monarki selama 75 tahun setelah Republik Pertama Perancis jatuh dalam kudeta yang dilakukan oleh Napoleon Bonaparte, revolusi ini dengan jelas mengakhiri ancien régime (bahasa Indonesia: Rezim Lama; merujuk kepada kekuasaan dinasti seperti Valois dan Bourbon) dan menjadi lebih penting daripada revolusi-revolusi berikutnya yang terjadi di Perancis.

Penyebab

Banyak faktor yang menyebabkan revolusi ini. Salah satu di antaranya adalah karena sikap orde yang lama terlalu kaku dalam menghadapi dunia yang berubah. Penyebab lainnya adalah karena ambisi yang berkembang dan dipengaruhi oleh ide Pencerahan dari kaum borjuis, kaum petani, para buruh, dan individu dari semua kelas yang merasa disakiti. Sementara revolusi berlangsung dan kekuasaan beralih dari monarki ke badan legislatif, kepentingan-kepentingan yang berbenturan dari kelompok-kelompok yang semula bersekutu ini kemudian menjadi sumber konflik dan pertumpahan darah.

Sebab-sebab Revolusi Perancis mencakup hal-hal di bawah ini:
* Kemarahan terhadap absolutisme kerajaan.
* Kemarahan terhadap sistem seigneurialisme di kalangan kaum petani, para buruh, dan—sampai batas tertentu—kaum borjuis.
* Bangkitnya gagasan-gagasan Pencerahan
* Utang nasional yang tidak terkendali, yang disebabkan dan diperparah oleh sistem pajak yang tak seimbang.
* Situasi ekonomi yang buruk, sebagian disebabkan oleh keterlibatan Perancis dan bantuan terhadap Revolusi Amerika.
* Kelangkaan makanan di bulan-bulan menjelang revolusi.
* Kemarahan terhadap hak-hak istimewa kaum bangsawan dan dominasi dalam kehidupan publik oleh kelas profesional yang ambisius.
* Kebencian terhadap intoleransi agama.
* Kegagalan Louis XVI untuk menangani gejala-gejala ini secara efektif.

Aktivitas proto-revolusioner bermula ketika raja Perancis Louis XVI (memerintah 1774-1792) menghadapi krisis dana kerajaan. Keluarga raja Perancis, yang secara keuangan sama dengan negara Perancis, memiliki utang yang besar. Selama pemerintahan Louis XV (1715-1774) dan Louis XVI sejumlah menteri, termasuk Turgot (Pengawas Keuangan Umum 1774-1776) dan Jacques Necker (Direktur-Jenderal Keuangan 1777-1781), mengusulkan sistem perpajakan Perancis yang lebih seragam, namun gagal. Langkah-langkah itu mendapatkan tantangan terus-menerus dari parlement (pengadilan hukum), yang didominasi oleh "Para Bangsawan", yang menganggap diri mereka sebagai pengawal nasional melawan pemerintahan yang sewenang-wenang, dan juga dari fraksi-fraksi pengadilan. Akibatnya, kedua menteri itu akhirnya diberhentikan. Charles Alexandre de Calonne, yang menjadi Pengawas Umum Keuangan pada 1783, mengembangkan strategi pengeluaran yang terbuka sebagai cara untuk meyakinkan calon kreditur tentang kepercayaan dan stabilitas keuangan Perancis.

Namun, setelah Callone melakukan peninjauan yang mendalam terhadap situasi keuangan Perancis, menetapkan bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan, dan karenanya ia mengusulkan pajak tanah yang seragam sebagai cara untuk memperbaiki keuangan Perancis dalam jangka panjang. Dalam jangka pendek, dia berharap bahwa dukungan dari Dewan Kaum Terkemuka yang dipilih raja akan mengemalikan kepercayaan akan keuangan Perancis, dan dapat memberikan pinjaman hingga pajak tanah mulai memberikan hasilnya dan memungkinkan pembayaran kembali dari utang tersebut.

Meskipun Callone meyakinkan raja akan pentingnya pembaharuannya, Dewan Kaum Terkemuka menolak untuk mendukung kebijakannya, dan berkeras bahwa hanya lembaga yang betul-betul representatif, seyogyanya Estates-General (wakil-wakil berbagai golongan) Kerajaan, dapat menyetujui pajak baru. Raja, yang melihat bahwa Callone akan menjadi masalah baginya, memecatnya dan menggantikannya dengan Étienne Charles de Loménie de Brienne, Uskup Agung Toulouse, yang merupakan pemimpin oposisi di Dewan. Brienne sekarang mengadopsi pembaruan menyeluruh, memberikan berbagai hak sipil (termasuk kebebasan beribadah kepada kaum Protestan), dan menjanjikan pembentukan Etats-Généraux dalam lima tahun, tetapi ssementara itu juga mencoba melanjutkan rencana Calonne. Ketika langkah-langkah ini ditentang di Parlement Paris (sebagian karena Raja tidak bijaksana), Brienne mulai menyerang, mencoba membubarkan seluruh "parlement" dan mengumpulkan pajak baru tanpa peduli terhadap mereka. Ini menyebabkan bangkitnya perlawanan massal di banyak bagian di Perancis, termasuk "Day of the Tiles" yang terkenal di Grenoble. Yang lebih penting lagi, kekacauan di seluruh Perancis meyakinkan para kreditor jangka-pendek. Keuangan Prancis sangat tergantung pada mereka untuk mempertahankan kegiatannya sehari-hari untuk menarik pinjaman mereka, menyebabkan negara hampir bangkrut, dan memaksa Louis dan Brienne untuk menyerah.

Raja setuju pada 8 Agustus 1788 untuk mengumpulkan Estates-General pada Mei 1789 untuk pertama kalinya sejak 1614. Brienne mengundurkan diri pada 25 Agustus 1788, dan Necker kembali bertanggung jawab atas keuangan nasional. Dia menggunakan posisinya bukan untuk mengusulkan langkah-langkah pembaruan yang baru, melainkan untuk menyiapkan pertemuan wakil-wakil nasional.

Pembentukan Etats-Généraux menyebabkan berkembangnya keprihatinan pada pihak oposisi bahwa pemerintah akan berusaha seenaknya membentuk sebuah Dewan sesuai keinginannya. Untuk menghindarinya, Parlement Paris, setelah kembali ke kota dengan kemenangan, mengumumkan bahwa Etats-Généraux harus dibentuk sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam pertemuan sebelumnya. Meskipun kelihatannya para politikus tidak memahami "ketentuan-ketentuan 1614" ketika mereka membuat keputusan ini, hal ini membangkitkan kehebohan. Estates 1614 terdiri dari jumlah wakil yang sama dari setiap kelompok dan pemberian suara dilakukan menurut urutan, yaitu Kelompok Pertama (para rohaniwan), Kelompok Kedua (para bangsawan), dan Kelompok Ketiga (lain-lain), masing-masing mendapatkan satu suara.

Segera setelah itu, "Komite Tiga Puluh", sebuah badan yang terdiri atas penduduk Paris yang liberal, mulai melakukan agitasi melawannya, menuntut agar Kelompok Ketiga digandakan dan pemungutan suara dilakukan per kepala (seperti yang telah dilakukan dalam berbagai dewan perwakilan daerah). Necker, yang berbicara untuk pemerintah, mengakui lebih jauh bahwa Kelompok Ketiga harus digandakan, tetapi masalah pemungutan suara per kepala harus diserahkan kepada pertemuan Etats sendiri. Namun kemarahan yang dihasilkan oleh pertikaian itu tetap mendalam, dan pamflet-pamflet, seperti tulisan Abbé Sieyès Apakah Kelompok Ketiga itu? yang berpendapat bahwa ordo-ordo yang memiliki hak-hak istimewa adalah parasit, dan Kelompok Ketiga adalah bangsa itu sendiri, membuat kemarahan itu tetap bertahan.

Sejarah Etats-Généraux

Ketika Etats-Généraux bertemu di Versailles pada 5 Mei 1789, pidato-pidato panjang oleh Necker dan Lamoignon, yang bertugas menyimpan meterai, tidak banyak membantu untuk memberikan bimbingan kepada para wakil, yang dikembalikan ke tempat-tempat pertemuan terpisah untuk membuktikan kredensi para panggotanya. Pertanyaan tentang apakah pemilihan suara akhirnya akan dilakukan per kepala atau diambil dari setiap orde sekali lagi disingkirkan untuk sementara waktu, namun Kelompok Ketiga kini menuntut agar pembuktian kredensi itu sendiri harus dilakukan sebagai kelompok. Namun, perundingan-perundingan dengan kelompok-kelompok lain untuk mencapai hal ini tidak berhasil, karena kebanyakan rohaniwan dan kaum bangsawan tetap mendukung pemungutan suara yang diwakili oleh setiap orde

Majelis Nasional

Pada tanggal 28 Mei 1789, Romo Sieyès memindahkan Estate Ketiga itu, kini bertemu sebagai Communes (bahasa Indonesia: "Majelis Perwakilan Rendah"), memulai pembuktian kekuasaannya sendiri dan mengundang 2 estate lainnya untuk ambil bagian, namun bukan untuk menunggu mereka. Mereka memulai untuk berbuat demikian, menyelesaikan proses itu pada tanggal 17 Juni. Lalu mereka mengusulkan langkah yang jauh lebih radikal, menyatakan diri sebagai Majelis Nasional, majelis yang bukan dari estate namun dari "rakyat". Mereka mengundang golongan lain untuk bergabung dengan mereka, namun kemudian nampak jelas bahwa mereka cenderung memimpin urusan luar negeri dengan atau tanpa mereka.

Louis XVI menutup Salle des États di mana majelis itu bertemu. Majelis itu memindahkan pertemuan ke lapangan tenis raja, di mana mereka mereka mulai mengucapkan Sumpah Lapangan Tenis (20 Juni 1789), di mana mereka setuju untuk tidak berpisah hingga bisa memberikan sebuah konstitusi untuk Perancis. Mayoritas perwakilan dari pendeta segera bergabung dengan mereka, begitupun 57 anggota bangsawan. Dari tanggal 27 Juni kumpulan kerajaan telah menyerah pada lahirnya, meski militer mulai tiba dalam jumlah besar di sekeliling Paris dan Versailles. Pesan dukungan untuk majelis itu mengalir dari Paris dan kota lainnya di Perancis. Pada tanggal 9 Juli, majelis itu disusun kembali sebagai Majelis Konstituante Nasional.

Serbuan Ke Bastille

Pada tanggal 11 Juli 1789, Raja Louis, yang bertindak di bawah pengaruh bangsawan konservatif dari dewan kakus umumnya, begitupun permaisurinya Marie Antoinette, dan saudaranya Comte d'Artois, membuang menteri reformis Necker dan merekonstruksi kementerian secara keseluruhan. Kebanyakan rakyat Paris, yang mengira inilah mulainya kup kerajaan, turut ke huru-hara terbuka. Beberapa anggota militer bergabung dengan khayalak; lainnya tetap netral.

Pada tanggal 14 Juli 1789, setelah pertempuran 4 jam, massa menduduki penjara Bastille, membunuh gubernur, Marquis Bernard de Launay, dan beberapa pengawalnya. Walaupun orang Paris hanya membebaskan 7 tahanan; 4 pemalsu, 2 orang gila, dan seorang penjahat seks yang berbahaya, Bastille menjadi simbol potensial bagi segala sesuatu yang dibenci di masa ancien régime. Kembali ke Hôtel de Ville (balai kota), massa mendakwa prévôt des marchands (seperti walikota) Jacques de Flesselles atas pengkhianatan; pembunuhan terhadapnya terjadi dalam perjalanan ke sebuah pengadilan pura-pura di Palais Royal.

Raja dan pendukung militernya mundur turun, setidaknya sejak beberapa waktu yang lalu. Lafayette menerima komando Garda Nasional di Paris; Jean-Sylvain Bailly, presiden Majelis Nasional di masa Sumpah Lapangan Tenis, menjadi walikota di bawah struktur baru pemerintahan yang dikenal sebagai commune. Raja mengunjungi Paris, di mana, pada tanggal 27 Juli, ia menerima kokade triwarna, begitupun pekikan vive la Nation "Hidup Negara" diubah menjadi vive le Roi "Hidup Raja".

Namun, setelah kekacauan ini, para bangsawan, yang sedikit terjamin oleh rekonsiliasi antara raja dan rakyat yang nyata dan, seperti yang terbukti, sementara, mulai pergi dari negeri itu sebagai émigré, beberapa dari mereka mulai merencanakan perang saudara di kerajaan itu dan menghasut koalisi Eropa menghadapi Perancis.

Necker, yang dipanggil kembali ke jabatannya, mendapatkan kemenangan yang tak berlangsung lama. Sebagai seorang pemodal yang cerdik namun bukan politikus yang lihai, ia terlalu banyak meminta dan menghasilkan amnesti umum, kehilangan sebagian besar dukungan rakyat dalam masa kemenangannya yang nyata.

Menjelang akhir Juli huru-hara dan jiwa kedaulatan rakyat menyebar ke seluruh Perancis. Di daerah pedesaan, hal ini ada di tengah-tengah mereka: beberapa orang membakar akta gelar dan tak sedikit pun terdapat châteaux, sebagai bagian pemberontakan petani umum yang dikenal sebagai "la Grande Peur" (Ketakutan Besar).

Penghapusan Feodalisme

Pada tanggal 4 Agustus 1789, Majelis Nasional menghapuskan feodalisme, hak ketuanan Estate Kedua dan sedekah yang didapatkan oleh Estate Pertama. Dalam waktu beberapa jam, sejumlah bangsawan, pendeta, kota, provinsi, dan perusahaan kehilangan hak istimewanya.

Sementara akan ada tanda mundur, penyesalan, dan banyak argumen atas rachat au denier 30 ("penebusan pada pembelian 30 tahun") yang dikhususkan dalam legislasi 4 Agustus, masalah masih mandek, meski proses penuh akan terjadi di 4 tahun yang lain.

Dekristenisasi

Revolusi membawa perubahan besar-besaran pada kekuasaan dari Gereja Katolik Roma kepada negara. Legislasi yang berlaku pada tahun 1790 menghapuskan otoritas gereja untuk menarik pajak hasil bumi yang dikenal sebagai dîme (sedekah), menghapuskan hak khusus untuk pendeta, dan menyita kekayaan geraja; di bawah ancien régime, gereja telah menjadi pemilik tanah terbesar di negeri ini. Legislasi berikutnya mencoba menempatkan pendeta di bawah negara, menjadikannya pekerja negeri. Tahun-tahun berikutnya menyaksikan penindasan penuh kekerasan terhadap para pendeta, termasuk penahanan dan pembantaian para pendeta di seluruh Perancis. Concordat 1801 antara Napoleon dan gereja mengakhiri masa dekristenisasi dan mendirikan aturan untuk hubungan antara Gereja Katolik dan Negara Perancis yang berlangsung hingga dicabut oleh Republik Ketiga pada pemisahan gereja dan agama pada tanggal 11 Desember 1905

Kemunculan Berbagai Faksi

Faksi-faksi dalam majelis tersebut mulai bermunculan. Kaum ningrat Jacques Antoine Marie Cazalès dan pendeta Jean-Sifrein Maury memimpin yang kelak dikenal sebagai sayap kanan yang menentang revolusi. "Royalis Demokrat" atau Monarchien, bersekutu dengan Necker, cenderung mengorganisir Perancis sejajar garis yang mirip dengan model Konstitusi Inggris: mereka termasuk Jean Joseph Mounier, Comte de Lally-Tollendal, Comte de Clermont-Tonnerre, dan Pierre Victor Malouet, Comte de Virieu.

"Partai Nasional" yang mewakili faksi tengah atau kiri-tengah majelis tersebut termasuk Honoré Mirabeau, Lafayette, dan Bailly; sedangkan Adrien Duport, Barnave dan Alexander Lameth mewakili pandangan yang lebih ekstrem. Yang hampir sendiri dalam radikalismenya di sisi kiri adalah pengacara Arras Maximilien Robespierre.

Sieyès memimpin pengusulan legislasi pada masa ini dan berhasil menempa konsensus selama beberapa waktu antara pusat politik dan pihak kiri.

Di Paris, sejumlah komite, walikota, majelis perwakilan, dan distrik-distrik perseorangan mengklaim otoritas yang bebas dari yang. Kelas menengah Garda Nasional yang juga naik pamornya di bawah Lafayette juga perlahan-lahan muncul sebagai kekuatan dalam haknya sendiri, begitupun majelis yang didirikan sendiri lainnya.

Melihat model Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, pada tanggal 26 Agustus 1789, majelis mendirikan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warganegara. Seperti Deklarasi AS, deklarasi ini terdiri atas pernyataan asas daripada konstitusi dengan pengaruh resmi.

Ke Arah Konstitusi

Majelis Konsituante Nasional tak hanya berfungsi sebagai legislatur, namun juga sebagai badan untuk mengusulkan konstitusi baru.

Necker, Mounier, Lally-Tollendal, dll tidak berhasil mengusulkan sebuah senat, yang anggotanya diangkat oleh raja pada pencalonan rakyat. Sebagian besar bangsawan mengusulkan majelis tinggi aristokrat yang dipilih oleh para bangsawan. Kelompok rakyat menyatakan di hari itu: Perancis akan memiliki majelis tunggal dan unikameral. Raja hanya memiliki "veto suspensif": ia dapat menunda implementasi hukum, namun tidak bisa mencabutnya sama sekali.

Rakyat Paris menghalangi usaha kelompok Royalis untuk mencabut tatanan baru ini: mereka berbaris di Versailles pada tanggal 5 Oktober 1789. Setelah sejumlah perkelahian dan insiden, raja dan keluarga kerajaan merelakan diri dibawa kembali dari Versailles ke Paris.

Majelis itu menggantikan sistem provinsi dengan 83 département, yang diperintah secara seragam dan kurang lebih sederajat dalam hal luas dan populasi.

Awalnya dipanggil untuk mengurusi krisis keuangan, hingga saat itu majelis ini memusatkan perhatian pada masalah lain dan hanya memperburuk defisit itu. Mirabeau kini memimpin gerakan itu untuk memusatkan perhatian pada masalah ini, dengan majelis itu yang memberikan kediktatoran penuh dalam keuangan pada Necker.

Ke Arah Konstitusi Sipil-Pendeta

Ke tingkatan yang tidak lebih sempit, majelis itu memusatkan perhatian pada krisis keuangan ini dengan meminta bangsa mengambil alih harta milik gereja (saat menghadapi pengeluaran gereja) melalui hukum tanggal 2 Desember 1789. Agar memonter sejumlah besar harta benda itu dengan cepat, pemerintah meluncurkan mata uang kertas baru, assignat, diongkosi dari tanah gereja yang disita.

Legislasi lebih lanjut pada tanggal 13 Februari 1790 menghapuskan janji biara. Konstitusi Sipil Pendeta, yang disahkan pada tanggal 12 Juli 1790 (meski tak ditandatangani oleh raja pada tanggal 26 Desember 1790), mengubah para pendeta yang tersisa sebagai pegawai negeri dan meminta mereka bersumpah setia pada konstitusi. Konstitusi Sipil Pendeta juga membuat gereja Katolik sebagai tangan negara sekuler.

Menanggapi legislasi ini, uskup agung Aix dan uskup Clermont memimpin pemogokan pendeta dari Majelis Konstituante Nasional. Sri Paus tak pernah menyetujui rencana baru itu, dan hal ini menimbulkan perpecahan antara pendeta yang mengucapkan sumpah yang diminta dan menerima rencana baru itu ("anggota juri" atau "pendeta konstitusi") dan "bukan anggota juri" atau "pendeta yang keras

Dari peringatan Bastille ke kematian Mirabeau

Majelis itu menghapuskan perlengkapan simbolik ancien régime, baringan lapis baja, dll., yang lebih lanjut mengasingkan bangsawan yang lebih konservatif, dan menambahkan pangkat émigré.

Pada tanggal 14 Juli 1790, dan beberapa hari berikutnya, kerumuman di Champ-de-Mars memperingati jatuhnya Bastille; Talleyrand melakukan sumpah massal untuk "setia pada negara, hukum, dan raja"; raja dan keluarga raja ikut serta secara aktif.

Para pemilih awalnya memilih anggota Dewan Jenderal untuk bertugas dalam setahun, namun dengan Sumpah Lapangan Tenis, commune tersebut telah sepakat bertemu terus menerus hingga Perancis memiliki konstitusi. Unsur sayap kanan kini mengusulkan pemilu baru, namun Mirabeau menang, menegaskan bahwa status majelis itu telah berubah secara fundamental, dan tiada pemilu baru yang terjadi sebelum sempurnanya konstitusi.

Pada akhir 1790, beberapa huru-hara kontrarevolusi kecil-kecilan pecah dan berbagai usaha terjadi untuk mengembalikan semua atau sebagian pasukan pasukan terhadap revolusi yang semuanya gagal. Pengadilan kerajaan, dalam kata-kata François Mignet, "mendorong setiap kegiatan antirevolusi dan tak diakui lagi."

Militer menghadapi sejumlah kerusuhan internal: Jenderal Bouillé berhasil meredam sebuah pemberontakan kecil, yang meninggikan reputasinya (yang saksama) untuk simpatisan kontrarevolusi.

Kode militer baru, yang dengannya kenaikan pangkat bergantung senioritas dan bukti kompetensi (daripada kebangsawanan) mengubah beberapa korps perwira yang ada, yang yang bergabung dengan pangkat émigré atau menjadi kontrarevolusi dari dalam.

Masa ini menyaksikan kebangkitan sejumlah "klub" politik dalam politik Perancis, yang paling menonjol di antaranya adalah Klub Jacobin: menurut 1911 Encyclopædia Britannica, 152 klub berafiliasi dengan Jacobin pada tanggal 10 Agustus 1790. Saat Jacobin menjadi organisasi terkenal, beberapa pendirinya meninggalkannya untuk membentuk Klub '89. Para royalis awalnya mendirikan Club des Impartiaux yang berumur pendek dan kemudian Club Monarchique. Mereka tak berhasil mencoba membujuk dukungan rakyat untuk mencari nama dengan membagi-bagikan roti; hasilnya, mereka sering menjadi sasaran protes dan malahan huru-hara, dan pemerintah kotamadya Paris akhirnya menutup Club Monarchique pada bulan Januari 1791.

Di tengah-tengah intrik itu, majelis terus berusaha untuk mengembangkan sebuah konstitusi. Sebuah organisasi yudisial membuat semua hakim sementara dan bebas dari tahta. Legislator menghapuskan jabatan turunan, kecuali untuk monarki sendiri. Pengadilan juri dimulai untuk kasus-kasus kejahatan. Raja akan memiliki kekuasaan khusus untuk mengusulkan perang, kemudian legislator memutuskan apakah perang diumumkan atau tidak. Majelis itu menghapuskan semua penghalang perdagangan dan menghapuskan gilda, ketuanan, dan organisasi pekerja: setiap orang berhak berdagang melalui pembelian surat izin; pemogokan menjadi ilegal.

Di musim dingin 1791, untuk pertama kalinya majelis tersebut mempertimbangkan legislasi terhadap émigré. Debat itu mengadu keamanan negara terhadap kebebasan perorangan untuk pergi. Mirabeau menang atas tindakan itu, yang disebutnya "patutu ditempatkan di kode Drako." [2]

Namun, Mirabeau meninggal pada tanggal 2 Maret 1791. Mignet berkata, "Tak seorang pun yang menyamainya dalam hal kekuatan dan popularitas," dan sebelum akhir tahun, Majelis Legislatif yang baru akan mengadopsi ukuran "drako" ini.
[sunting] Pelarian ke Varennes
Untuk diskusi lebih jelas, lihat Pelarian ke Varennes.

Louis XVI, yang ditentang pada masa revolusi, namun menolak bantuan yang kemungkinan berbahaya ke penguasa Eropa lainnya, membuat kesatuan dengan Jenderal Bouillé, yang menyalahkan emigrasi dan majelis itu, dan menjanjikannya pengungsian dan dukungan di kampnya di Montmedy.

Pada malam 20 Juni 1791, keluarga kerajaan lari ke Tuileries. Namun, keesokan harinya, sang Raja yang terlalu yakin itu dengan sembrono menunjukkan diri. Dikenali dan ditangkap di Varennes (di département Meuse) di akhir 21 Juni, ia kembali ke Paris di bawah pengawalan.

Pétion, Latour-Maubourg, dan Antoine Pierre Joseph Marie Barnave, yang mewakili majelis, bertemu anggota kerajaan itu di Épernay dan kembali dengan mereka. Dari saat ini, Barnave became penasihat dan pendukung keluarga raja.

Saat mencapai Paris, kerumunan itu tetap hening. Majelis itu untuk sementara menangguhkan sang raja. Ia dan Ratu Marie Antoinette tetap ditempatkan di bawah pengawalan.

Hari-hari Terakhir Majelis Konstituante Nasional

Dengan sebagian besar anggota majelis yang masih menginginkan monarki konstitusional daripada republik, sejumlah kelompok itu mencapai kompromi yang membiarkan Louis XVI tidak lebih dari penguasa boneka: ia terpaksa bersumpah untuk konstitusi, dan sebuah dekrit menyatakan bahwa mencabut sumpah, mengepalai militer untuk mengumumkan perang atas bangsa, atau mengizinkan tiap orang untuk berbuat demikian atas namanya berarti turun tahta secara de facto.

Jacques Pierre Brissot mencadangkan sebuah petisi, bersikeras bahwa di mata bangsa Louis XVI dijatuhkan sejak pelariannya. Sebuah kerumunan besar berkumpul di Champ-de-Mars untuk menandatangani petisi itu. Georges Danton dan Camille Desmoulins memberikan pidato berapi-api. Majelis menyerukan pemerintah kotamadya untuk "melestarikan tatanan masyarakat". Garda Nasional di bawah komando Lafayette menghadapi kerumuman itu. Pertama kali para prajurit membalas serangan batu dengan menembak ke udara; kerumunan tidak bubar, dan Lafayette memerintahkan orang-orangnya untuk menembak ke kerumunan, menyebabkan pembunuhan sebanyak 50 jiwa.

Segera setelah pembantaian itu pemerintah menutup banyak klub patriot, seperti surat kabar radikal seperti L'Ami du Peuple milik Jean-Paul Marat. Danton lari ke Inggris; Desmoulins dan Marat lari bersembunyi.

Sementara itu, ancaman baru dari luar muncul: Leopold II, Kaisar Romawi Suci, Friedrich Wilhelm II dari Prusia, dan saudara raja Charles-Phillipe, comte d'Artois mengeluarkan Deklarasi Pilnitz yang menganggap perkara Louis XVI seperti perkara mereka sendiri, meminta pembebasannya secara penuh dan pembubaran majelis itu, dan menjanjikan serangan ke Perancis atas namanya jika pemerintah revolusi menolak syarat tersebut.

Jika tidak, pernyataan itu secara langsung membahayakan Louis. Orang Perancis tidak mengindahkan perintah penguasa asing itu, dan ancaman militer hanya menyebabkan militerisasi perbatasan.

Malahan sebelum "Pelarian ke Varennes", para anggota majelis telah menentukan untuk menghalangi diri dari legislatur yang akan menggantikan mereka, Majelis Legislatif. Kini mereka mengumpulkan sejumlah hukum konstitusi yang telah mereka sahkan ke dalam konstitusi tunggal, menunjukkan keuletan yang luar biasa dalam memilih untuk tidak menggunakan hal ini sebagai kesempatan untuk revisi utama, dan mengajukannya ke Louis XVI yang dipulihkan saat itu, yang menyetujuinya, menulis "Saya mengajak mempertahankannya di dalam negeri, mempertahankannya dari semua serangan luar; dan menyebabkan pengesahannya yang tentu saja ditempatkan di penyelesaian saya". Raja memuji majelis dan menerima tepukan tangan penuh antusias dari para anggota dan penonton. Majelis mengakhiri masa jabatannya pada tanggal 29 September 1791.

Mignet menulis, "Konstitusi 1791... adalah karya kelas menengah, kemudian yang terkuat; seperti yang diketahui benar, karena kekuatan yang mendominasi pernah mengambil kepemilikan lembaga itu... Dalam konstitusi ini rakyat adalah sumber semua, namun tak melaksanakan apapun."

Majelis Legislatif dan kejatuhan monarki

Majelis Legislatif

Di bawah Konstitusi 1791, Perancis berfungsi sebagai monarki konstitusional. Raja harus berbagi kekuasaan dengan Majelis Legislatif yang terpilih, namun ia masih bisa mempertahankan vetonya dan kemampuan memilih menteri.

Majelis Legislatif pertama kali bertemu pada tanggal 1 Oktober 1791, dan jatuh dalam keadaan kacau hingga kurang dari setahun berikutnya. Dalam kata-kata 1911 Encyclopædia Britannica: "Dalam mencba memerintah, majelis itu sama sekali gagal. Majelis itu membiarkan kekosongan keuangan, ketidakdisiplinan pasukan dan angkatan laut, dan rakyat yang rusak moralnya oleh huru-hara yang aman dan berhasil."

Majelis Legislatif terdiri atas sekitar 165 anggota Feuillant (monarkis konstitusional) di sisi kanan, sekitar 330 Girondin (republikan liberal) dan Jacobin (revolusioner radikal) di sisi kiri, dan sekitar 250 wakil yang tak berafiliasi dengan faksi apapun.

Sejak awal, raja memveto legislasi yang mengancam émigré dengan kematian dan hal itu menyatakan bahwa pendeta non-juri harus menghabiskan 8 hari untuk mengucapkan sumpah sipil yang diamanatkan oleh Konstitusi Sipil Pendeta. Lebih dari setahun, ketidaksetujuan atas hal ini akan menimbulkan krisis konstitusi.

Perang

Politik masa itu membawa Perancis secara tak terelakkan ke arah perang terhadap Austria dan sekutu-sekutunya. Sang Raja, kelompok Feuillant dan Girondin khususnya menginginkan perang. Sang Raja (dan banyak Feuillant bersamanya) mengharapkan perang akan menaikkan popularitasnya; ia juga meramalkan kesempatan untuk memanfaatkan tiap kekalahan: yang hasilnya akan membuatnya lebih kuat. Kelompok Girondin ingin menyebarkan revolusi ke seluruh Eropa. Hanya beberapa Jacobin radikal yang menentang perang, lebih memilih konsolidasi dan mengembangkan revolusi di dalam negeri. Kaisar Austria Leopold II, saudara Marie Antoinette, berharap menghindari perang, namun meninggal pada tanggal 1 Maret 1792.

Perancis menyatakan perang pada Austria (20 April 1792) dan Prusia bergabung di pihak Austria beberapa minggu kemudian. Perang Revolusi Perancis telah dimulai.

Setelah pertempuran kecil awal berlangsung sengit untuk Perancis, pertempuran militer yang berarti atas perang itu terjadi dengan Pertempuran Valmy yang terjadi antara Perancis dan Prusia (20 September 1792). Meski hujan lebat menghambat resolusi yang menentukan, artileri Perancis membuktikan keunggulannya. Namun, dari masa ini, Perancis menghadapi huru-hara dan monarki telah menjadi masa lalu.

Krisis Konstitusi

Pada malam 10 Agustus 1792, para pengacau, yang didukung oleh kelompok revolusioner baru Komuni Paris, menyerbu Tuileries. Raja dan ratu akhirnya menjadi tahanan dan sidang muktamar Majelis Legislatif menunda monarki: tak lebih dari sepertiga wakil, hampir semuanya Jacobin.

Apa yang tersisa di pemerintahan nasional bergabung pada dukungan commune. Saat commune mengirimkan sejumlah kelompok pembunuh ke penjara untuk menjagal 1400 korban, dan mengalamatkan surat edaran ke kota lain di Perancis untuk mengikuti conth mereka, majelis itu hanya bisa melancarkan perlawanan yang lemah. Keadaan ini berlangsung terus menerus hingga Konvensi, yang diminta menulis konstitusi baru, bertemu pada tanggal 20 September 1792 dan menjadi pemerintahan de facto baru di Perancis. Di hari berikutnya konvensi itu menghapuskan monarki dan mendeklarasikan republik. Tanggal ini kemudian diadopsi sebagai awal Tahun Satu dari Kalender Revolusi Perancis

Konvensi

Kuasa legislatif di republik baru jatuh ke Konvensi, sedangkan kekuasaan eksekutif jatuh ke sisanya di Komite Keamanan Umum. Kaum Girondin pun menjadi partai paling berpengaruh dalam konvensi dan komite itu.

Dalam Manifesto Brunswick, tentara kerajaan dan Prusia mengancam pembalasan ke penduduk Perancis jika hal itu menghambat langkah majunya atau dikembalikannya monarki. Sebagai akibatnya, Raja Louis dipandang berkonspirasi dengan musuh-musuh Perancis. 17 Januari 1793 menyaksikan tuntutan mati kepada Raja Louis untuk "konspirasi terhadap kebebasan publik dan keamanan umum" oleh mayoritas lemah di konvensi. Eksekusi tanggal 21 Januari menimbulkan banyak perang dengan negara Eropa lainnya. Permaisuri Louis yang kelahiran Austria, Marie Antoinette, menyusulnya ke guillotine pada tanggal 16 Oktober.

Saat perang bertambah sengit, harga naik dan sans-culottes (buruh miskin dan Jacobin radikal) memberontak; kegiatan kontrarevolusi mulai bermunculan di beberapa kawasan. Hal ini mendorong kelompok Jacobin merebut kekuasaan melalui kup parlemen, yang ditunggangi oleh kekuatan yang didapatkan dengan menggerakkan dukungan publik terhadap faksi Girondin, dan dengan memanfaatkan kekuatan khayalak sans-culottes Paris. Kemudian persekutuan Jacobin dan unsur-unsur sans-culottes menjadi pusat yang efektif bagi pemerintahan baru. Kebijakan menjadi agak lebih radikal.

Komite Keamanan Publik berada di bawah kendali Maximilien Robespierre, dan Jacobin melepaskan tali Pemerintahan Teror (1793-1794). Setidaknya 1200 jiwa menemui kematiannya dengan guillotine dsb; setelah tuduhan kontrarevolusi. Gambaran yang sedikit saja atas pikiran atau kegiatan kontrarevolusi (atau, pada kasus Jacques Hébert, semangat revolusi yang melebihi semangat kekuasaan) bisa menyebabkan seseorang dicurigai, dan pengadilan tidak berjalan dengan teliti.

Pada tahun 1794 Robespierre memerintahkan tokoh-tokoh Jacobin yang ultraradikal dan moderat dieksekusi; namun, sebagai akibatnya, dukungan rakyat terhadapnya terkikis sama sekali. Pada tanggal 27 Juli 1794, orang-orang Perancis memberontak terhadap Pemerintahan Teror yang sudah kelewatan dalam Reaksi Thermidor, yang menyebabkan anggota konvensi yang moderat menjatuhkan hukuman mati buat Robespierre dan beberapa anggota terkemuka lainnya di Komite Keamanan Publik. Pemerintahan baru itu sebagian besar tersusun atas Girondis yang lolos dari teror, dan setelah mengambil kekuasaan menuntut balas dengan penyiksaan yang juga dilakukan terhadap Jacobin yang telah membantu menjatuhkan Robespierre, melarang Klub Jacobin, dan menghukum mati sejumlah besar bekas anggotanya pada apa yang disebut sebagai Teror Putih.

Konvensi menyetujui "Konstitusi Tahun III" yang baru pada tanggal 17 Agustus 1795; sebuah plebisit meratifikasinya pada bulan September; dan mulai berpengaruh pada tanggal 26 September 1795.

Direktorat

Konstitusi baru itu melantik Directoire (bahasa Indonesia: Direktorat) dan menciptakan legislatur bikameral pertama dalam sejarah Perancis. Parlemen ini terdiri atas 500 perwakilan (Conseil des Cinq-Cents/Dewan Lima Ratus) dan 250 senator (Conseil des Anciens/Dewan Senior). Kuasa eksekutif dipindahkan ke 5 "direktur" itu, dipilih tahunan oleh Conseil des Anciens dari daftar yang diberikan oleh Conseil des Cinq-Cents.

Régime baru bertemu dengan oposisi dari Jacobin dan royalis yang tersisa. Pasukan meredam pemberontakan dan kegiatan kontrarevolusi. Dengan cara ini pasukan tersebut dan jenderalnya yang berhasil, Napoleon Bonaparte memperoleh lebih banyak kekuasaan.

Pada tanggal 9 November 1799 (18 Brumaire dari Tahun VIII) Napoleon mengadakan kup yang melantik Konsulat; secara efektif hal ini memulai kediktatorannya dan akhirnya (1804) pernyataannya sebagai kaisar, yang membawa mendekati fase republikan spesifik di masa Revolusi Perancis.

Revolusi Industri

Posting : Jumat 19 Februari 2010
Revolusi Industri adalah perubahan teknologi, sosioekonomi, dan budaya pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 yang terjadi dengan penggantian ekonomi yang berdasarkan pekerja menjadi yang didominasi oleh industri dan diproduksi mesin. Revolusi ini dimulai di Inggris dengan perkenalan mesin uap (dengan menggunakan batu bara sebagai bahan bakar) dan ditenagai oleh mesin (terutama dalam produksi tekstil). Perkembangan peralatan mesin logam-keseluruhan pada dua dekade pertama dari abad ke-19 membuat produk mesin produksi untuk digunakan di industri lainnya.

Awal mulai Revolusi Industri tidak jelas tetapi T.S. Ashton menulisnya kira-kira 1760-1830. Tidak ada titik pemisah dengan Revolusi Industri II pada sekitar tahun 1850, ketika kemajuan teknologi dan ekonomi mendapatkan momentum dengan perkembangan kapal tenaga-uap, rel, dan kemudian di akhir abad tersebut perkembangan mesin bakar dalam dan perkembangan pembangkit tenaga listrik.

Efek budayanya menyebar ke seluruh Eropa Barat dan Amerika Utara, kemudian mempengaruhi seluruh dunia. Efek dari perubahan ini di masyarakat sangat besar dan seringkali dibandingkan dengan revolusi kebudayaan pada masa Neolitikum ketika pertanian mulai dilakukan dan membentuk peradaban, menggantikan kehidupan nomadik.

Istilah "Revolusi Industri" diperkenalkan oleh Friedrich Engels dan Louis-Auguste Blanqui di pertengahan abad ke-19

Rabu, 17 Februari 2010

Perjuangan Kebudayaan Dibawah Neo-Liberalisme

Tejo Priyono
Ketua Jaker & Kabid Budaya PAPERNAS.

Sebelum masuk ke tahap apa yang harus dilakukan dalam perjuangan kebudayaan di alam neoliberalisme ini, pertama, yang harus dipahami adalah kebudayaan tidak bisa lepas dari sistem ekonomi politik yang sedang berkuasa di satu negeri. Keduanya tak bisa terpisahkan. Untuk bisa memahami budaya massa yang terjadi sekarang ini, kita harus masuk dalam sejarah tiga era kepemimpinan politik yang ada di Indonesia.

Era Soekarno

Soekarno menerapkan politik Demokrasi Liberal dalam artian semua ideologi diperbolehkan tumbuh berkembang. Berdirinya banyak partai dan ormas (Pemilu thn 1955 diikuti 100an partai) membuktikan hal itu. Soekarno bahkan mampu memetakan tiga spektrum kekuatan besar di Indonesia, yakni yang disebutnya dengan Nasionalis, Agama dan Komunis (NASAKOM). Tiga kekuatan itulah yang coba disatukan Soekarno dalam sebuah cita-cita menjadikan Indonesia negeri yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan berkepribadian di bidang budaya.

Ekonomi Tertutup yang dianut Soekarno terwujud dengan menolak bantuan dari negeri-negeri kolonialist Barat. Penolakan terhadap intervensi kekuatan asing (dalam hal ini dominasi modal) pernah pula ditegaskan oleh salah satu pimpinan teras Partai Komunis Indonesia (PKI) MH. Lukman pada tahun 1959 dalam artikel berjudul ‘Penanaman Modal Asing Memperkuat Kedudukan Imperialisme di Negeri Kita’. MH. Lukman berkata: “ ….. Kami anti penanaman modal asing karena keyakinan kami bahwa dengan penanaman modal asing atau dengan imperialisme bukan saja tidak bisa memperbaiki tingkat penghidupan rakyat dan mengembangkan ekonomi nasional, tetapi malahan menghancurkan kedua-duanya. Tidak ada kaum imperialis di dunia ini yang menanamkan kapitalnya di manapun juga berdasarkan perikemanusiaan untuk menolong sesama manusia”.

Kita tentu ingat seruan mahsyur Soekarno saat itu: ”Go To Hell With Your Aid..!”

Politik liberal Soekarno justru menjadikan dinamis di lapangan kebudayaan. Lahirnya Surat Kepercayaan Gelanggang (yang ditandatangani di Jakarta tanggal 18 Februari 1950, menyatakan “Revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai”), berlanjut dengan polemik budaya antara Lekra – Manikebu. Selain Lekra (yang lahir pada 17 Agustus 1950) juga terbangun wadah kebudayaan seperti Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) yang didirikan warga Nahdatul Ulama (NU).

Aura politik Soekarno yang anti penjajahan asing saat itu merembes ke kerja-kerja kebudayaan. Misalnya mobilisasi massa untuk ganyang Malaysia (karena konsolidasi Malaysia akan menambah kontrol Inggris di kawasan ini, sehingga jadi ancaman terhadap kemerdekaan Indonesia) dan aksi boikot film-film import oleh Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS) karena dinilai berisi propaganda yang berbahaya bagi kesadaran massa.

Era Soeharto

Politik Otoriter Orde Baru terwujud dalam pemasungan: pembatasan hak‑hak dasar partisipasi rakyat dalam berorganisasi – berpolitik. Itu pun masih ditambah dengan penerapan 5 paket UU Politik (Pemilihan Umum, Susunan dan Kedudukan MPR/DPR, Partai Politik dan Golkar, Referendum dan Organisasi Kemasyarakatan), juga dwi fungsi ABRI (militerIndonesia/TNI memiliki dua tugas, yaitu menjaga keamanan – ketertiban negara serta memegang kekuasaan mengatur negara). Ini semua semakin mengukuhkan kontrol dan dominasi kekuasaan Orde Baru Soeharto kepada rakyat. Hanya ada 3 partai politik (PPP – PDI – Golkar); pembredelan koran, majalah dan pelarangan buku‑buku merupakan ”kebijakan” politik Soeharto atas nama ”stabilitas” keamanan negara.

Soeharto menganut sistem Ekonomi Liberal/liberalisasi ekonomi (terbalik 180 derajat dari era Soekarno) dengan membuka lebar pintu bagi modal-modal luar negeri. Tahun 1967 keluar UU No 1 tentang Penanaman Modal Asing/PMA. PMA bebas dari pajak negara, PMA berkuasa penuh atas sumber daya alam dan sumber daya manusia Indonesia. Koorporasi raksasa macam Freeport, Newmont, ExxonMobil, ConocoPhilips, Chevron, British Petrolium, HalliBurton dan seterusnya silahkan masuk. Pemerintah juga mulai berhutang pada IGGI, IMF, Bank Dunia, Paris Club.

Politik otoriter Soeharto melahirkan budaya bisu di rakyat. Tak ada budaya kritis, tak berani beda pendapat dengan pemerintah karena negara begitu bengis dan tak segan menghantam siapapun yang mencoba tak ikut aturan. Bahkan bisa-bisa, 5 orang berkumpul tanpa seizin keamanan setempat bisa jadi masalah besar.

Liberalisasi ekonomi (yang kemudian diistilahkan pemerintah dengan globalisasi) praktis membawa masuk produk-produk budaya dari peradaban barat ke Indonesia, mengubah budaya masyarakat kita. Yang tadinya hanya mengenal budaya kerakyatan dan sisa-sisa feodal, sejak adanya gelombang neoliberalisme kita pun tahu: diskotik, Coca Cola, MTV, mode/fashion yang bisa membuat penampilan para remaja kita seragam.

Kita tentu masih ingat film Ghost di tahun 1991, trend saat itu adalah seluruh remaja putri kita meniru plek gaya rambut Demi Moore si pemeran utama film tersebut. Atau ikut pencitraan (seperti sang model dalam produk di iklan di TV) bahwa kulit yang baik itu harus putih, rambut yang bagus itu harus lurus, perut yang sehat itu harus rata (dulu orang ingin jadi gemuk seperti Patih Gajah Mada, Tunggul Ametung, Ken Arok, Napoleon Bonaparte, Alfred Hitchcock karena gemuk adalah simbol kemakmuran dan kesuksesan). Maka berbondonglah orang di seluruh negeri membeli kosmetik pemutih kulit, salon diantri orang yang ingin Ribounding (proses pelurusan rambut secara permanen), gymnasium – fitness centre digeruduk guna pelangsingan perut,makanan, minuman, jamu, obat-obatan dan alat-alat (yang menjanjikan penurunan berat badan dan mengencangkah perut dalam waktu singkat) ramai dibeli orang.

Era Reformasi/Neoliberalisme

Era sekarang (yang orang biasa menyebut dengan era reformasi) pemerintahan kita menerapkan liberalisasi politik dan ekonomi.

Organisasi dan partai politik berdiri, kebebasan berpendapat – kebebasan pers dijamin undang undang (walau demokrasi belum sepenuhnya, karena ajaran Marxisme – Leninisme, Ahmaddiyah masih jadi larangan).

Liberalisasi Ekonomi yang merupakan kelanjutan era Soeharto dulu semakin membuat rakus imperialisme mencaplok sumber daya alam negeri kita (minyak, gas, nikel, emas, timah, baja,

bijih besi dst). Mereka terus berpindah – terus ”browsing” ladang-ladang mana lagi yang bisa dieksploitasi. Ladang lama tergerus habis, tersisa tinggal limbah dan lingkungan rusak.

Runtuh – bangkrutnya industri nasional karena memang tidak mampu bersaing dengan korporasi – korporasi asing dalam hal modal juga SDM/penguasaan technologi.

Karena pembangunan ekonomi/cari modalnya dengan ngutang ke IMF, Bank Dunia, Paris Club maka harus bayar ke para lembaga donor internasional tersebut. Ini menyedot banyak APBN negara yang seharusnya digunakan untuk maximum program – program sosial.

Neoliberalisme dalam budaya menjadikan kita terbiasa belanja ke Mall (yang tumbuh subur menggusur pasar-pasar tradisionil yang dulu becek, bau, plus juga melenyapkan interaksi positif antar sesama pembeli/pembeli dengan pedagang). Tidaklah buruk kalau kita ikut budaya maju peradaban barat, mengkonsumsi makanan capat saji di Mc Donald’s, menikmati musik di Hard Rock Cafe, trance bersama DJ favourite, nonton film terbaru produk Hollywood di Mega Blitz, ngopi di Starbucks sambil online atau mendatangi pameran komputer terbesar untuk update informasi terkini dunia technologi komputer – IT dsb. Hanya saja itu belum jadi budaya yang juga bisa dinikmati seluruh rakyat negeri ini. Mahalnya biaya sekolah berpengaruh pada sumber daya manusia Indonesia. Pada akhirnya kita hanya terus mengkonsumsi tanpa mampu mencipta bahkan menandingi produk-produk maju budaya barat.

Neoliberalisme dalam makna globalisasi juga telah menghilangkan batas-batas negara dan bangsa dalam menaikkan berbagai genre kesenian kita ke tingkat dunia. Sepertinya tak ada sekat dalam menilai bentuk-bentuk kesenian yang berkembang.

Inul bisa saja ditolak di sini, tapi di belahan dunia lain justru diminati.Gamelan dan wayang sekarang jadi milik dunia tak hanya Jawa & Bali. Karya Sastra Pram yang berbahasa Indonesia bisa dibaca warga dunia dengan melalui proses penterjemahan ke 41 bahasa asing. Si ’Laskar Pelangi’ Andrea Hirata diantri dan dikejar ratusan orang yang minta tanda tangannya, tidak hanya di Indonesia tapi juga di Malaysia dan Singapura.

Lalu Bagaimana Perjuangan Kebudayaan Di bawah Neoliberalisme?

Lapangan budaya era neoliberalisme sekarang ini memungkinkan kita menggunakan demonstrasi, organisasi, teater, film, vergadering, rapat, kongres, diskusi, selebaran, pamflet sebagai tehnik dan ekspresi dalam berjuang.

Dan suatu perjuangan kebudayaan harus memiliki landasan ideologi, yakni harus punya cita-cita membangun masyarakat sejahtera, modern, berpemerintahan bersih dan pro rakyat/kerakyatan. Akhirnya gerakan kebudayaan bermakna politik. Dalam bentuk kongkritnya, membangun organisasi supaya bisa berbicara seluas-luasnya perihal problem-problem rakyat berikut jalan keluarnya.

Sebagai referensi bolehlah kita belajar dari negeri – negeri yang bisa begitu berdaulat karena berhasil membangun gerakan kebudayaan dan semangat nasionalisme progressif untuk kemajuan

bangsanya.

Spirit Swadesi-nya India

Mereka bangun Bollywood untuk melawan dominasi Hollywood, mereka buat merk minuman Cola Cola sebagai tandingan Coca Cola. Di awal 2008 ini Tata Motors Ltd. produsen mobil dan kendaraan komersial terbesar di India meluncurkan mobil termurah di dunia dan berseru: “People’s Car”. Cara berpakaian banyak orang India (bahkan oleh warganya yang tinggal di luar India) tidak melulu ikut trend mode eropa – amerika. Selain sebagai budaya identitas juga berkaitan erat dengan industri dalam negeri mereka, hasil produk textile dalam negeri mendahulukan kebutuhan dalam negeri India sebelum diexport. India maju dalam hal IT dan perkembangan teknologi, punya banyak jagoan-jagoan software, sampai super komputer tercepat pun tidak kalah dengan negeri-negeri barat.

Spirit Kamikaze-nya Jepang

Siapa sangka negeri sekecil Jepang yang miskin sumber daya alamnya justru mampu menjajah Indonesia (bahkan dunia) yang super besar ini. Industri otomotif mereka begitu digdaya, mobil-mobil buatan Jepang mengisi garasi-garasi rumah rakyat, dan kalau jalan-jalan protokol di seluruh negeri ini sedang macet, dapat dipastikan 100 % kendaraan yang sedang memenuhi jalanan itu pasti produksi Jepang. Icon-icon kebudayaan mereka macam komik Manga, Harajuku Style – J Rock/Japanese Rock mendominasi dunia. Jepang juga mampu mengembangkan tehnik bertani modern/tehnik bertani hidrolik, membangun lahan pertanian secara indoor bahkan di lantai atas sebuah gedung pencakar langit.

Spirit kemandirian China

Kebijakan tegas politik pemerintahan China (kasus Tiananmen, Falun Gong, konflik dengan Taiwan dan Tibet) di satu sisi memang menuai banyak kecaman, tapi sisi lainnya China berhasil dalam menjaga keutuhan dan kemajuan negerinya. Kebijakan tegas lain adalah hukuman berat (potong jari dsb) bagi pelaku korupsi, bahkan berlaku sampai ke keluarga inti; si ayah korupsi, ibu dan anak juga terkena hukuman. Pemerintah China (lewatDepartemen Keamanan Publik dan Departemen Publikasi Komite Sentral Partai Komunis China) juga memerangi pornografi yang dikongkritkan dengan penutupan ribuan situs porno. Alasannya tentu bukan karena pemerintah takut terhadap kaum oposan berpropaganda menyerang pemerintah lewat internet, atau bersiap jadi tuan rumah olimpiade 2008, tapi China memproteksi rakyatnya agar tidak jadi “sumber nafkah” bagi situs-situs porno yang banyak datang dari luar China. Dengan jumlah penduduk terbesar di dunia dan ada sekitar 210 juta orang yang aktif mengunakan internet tentunya akan jadi pasar menggiurkan bagi bisnis situs porno mencari pelanggan. Kungfu China yang tak pernah mati, terus bermetamorfosis, menerobos Hollywood, improvisasi cerita tanpa membuang identitas budaya asal. Kungfu China mengalahkan legenda Highlander dari Scotland.

Lalu kita sendiri harus gimana..?

Kita sudah menyimpulkan bahwa Indonesia sekarang adalah negeri yang terjajah oleh imperialisme modern. Kongkritnya dengan dikuasainya kekayaan energi dan tambang kita oleh koorporasi-koorporasi asing, juga kewajiban bayar utang luar negeri adalah bentuk penjajahan yang lain.

Untuk bisa maju menjadi negeri-negeri hebat seperti diulas di atas maka kita harus kembali ke semangat Soekarno. Semangat yang dalam istilah pimpinan politik kita waktu itu sebagai TRISAKTI; menjadikan Indonesia Mandiri secara ekonomi, Berdaulat secara politik dan berkepribadian di bidang Budaya.

Sekaranglah keharusan kita membangun gerakan Pembebasan Nasional; lewat demonstrasi, lewat organisasi, dengan teater, film, seni musik, seni sastra, vergadering, rapat, kongres, diskusi, selebaran, pamflet, internet dan berseru: ”Hapus Hutang Luar Negeri, Nasionalisasi Industri Tambang Asing, Bangun Pabrik (Industri) Nasional untuk Kesejahteraan Rakyat.

Meluaskan gerakan pembebasan nasional, menjadikannya budaya bahkan kesadaran luas di rakyat,itulah tugas para pekerja budaya sekarang ini.

Kenali Kota Kita, Makassar

Bermula Raja Gowa ke-IV, Tunatangka Lopi, membagi kerajaanya menjadi dua buah kerajaan, kepada puteranya yang bernama Batara Gowa diserahkannya daerah-daerah gallarang kerajaan Gowa, yaitu :
1. Gallarang Pacellekang,
2. Gallarang Pattallasang,
3. Gallarang Bontomanai, (sebelah timur),
4. Gallarang Bontomanai, (sebelah barat),
5. Gallarang Tombolo, dan
6. Gallarang Mangasa.

Daerah-daerah Gallarang inilah yang selanjutnya disebut Kerajaan Gowa dibawah Raja ke-VII, yang bernama Batara Gowa.
Kepada puteranya yang bernama Karaeng LoE ri-Sero, diserahkannya daerah-daerah Gallarang kerajaan Gowa, yaitu :
1. Gallarang Saumata,
2. Gallarang Panampu,
3. Gallarang MoncongloE, dan
4. Gallarang ParangloE.

Daerah-daerah gallarang inilah yang selanjutnya disebut Kerajaan Tallo dibawah Raja Tallo ke-I yang bernama Karaeng LoE ri-Sero.
Dalam pertumbuhan kedua kerajaan kembar ini, walaupun pernah terjadi perang antara keduanya, (pada jaman Raja Gowa ke-IX Tumaparrisi Kallonna dengan Raja Tallo, I Mangngayoang) dengan kekalahan pihak Tallo dan sekutu-sekutunya, namun setelah terjadi perdamaian tetaplah berdirinya kedua kerajaan itu. Dalam tradisi dua kerajaan kembar itu, maka Raja Tallo, selalu menjadi Mangkubumi tradisi dua kerajaan kembar itu, maka Raja Tallo, selalu menjadi Mangkubumi Kerajaan Gowa. Tentu saja dalam perkenbangann selanjutnya peranan kedua kerajaan ini tak dapat lagi dipisah-pisahkan, dan adanya dua nama kerajaan tidaklah menjadi halangan dari perkebangan itu. Pada hakekatnya Gowa dan Tallo, mempunyai rakyat yang satu, dan pemerintahannya pun sesungguhnya satu juga, yaitu Raja dari Gowa dan Mangkubumi dari Tallo yang hanya menjalankan satu peraturan. Menjelang abad ke-XV hampir seluruh negeri orang Makssar telah berada dibawah kekuasaan atau perlindungan kerajaan Gowa- Tallo itu. Terutama dalam abad ke-XVI dibawah kekuasaan Raja Gowa ke_IX dan Raja Gowa ke-X daerah kekuasan kerajaan Gowa telah melampaui wilayah Gowa sendiri dan meliputi hampir seluruh Sulawesi Selatan dan sekitarnya. Maka pengunjung-pengunjung dari kerajaan lain menamakan Raja Gowa itu, Raja orang Makassar atau Kerajaan Makassar saja, penulis-penulis sejarah kemudian juga menamakan Kerajaan Gowa-Tallo dengan kerajaan Makassar, malahan dalam berbagai buku ditulis tentang kesultanan Makassar, dalam arti sama dengan kesultanan Gowa.
Dalam periode kepemimpinan Raja Gowa ke-IX (tahun 1510 – 1546) Daeng Matanre, Karaeng Mangutungi, Tumaparrisi Kallonna, demikian nama lengkap Raja, terlebih dahulu menjadi Gallarang yang digelar “Kasiang ri-Juru atau Gallarang Loaya”. Baginda menduduki tahta kerajaan selama 36 tahun (1510-1546). Didalam pemerintahannya ditetapkan undang-undang dan peraturan perang. Pada periode ini, pelabuhan Makassar yang merupakan bandar niaga yang tumbuh paling ramai dibagian Timur terutama setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Diangkatlah Syahbandar itu masih dirangkap oleh Tumailalang Kerajaan Gowa yang bernama Daeng Pamatte. Daeng Pamatte jugalah yang pertama-pertama menciptakan aksara Lontara.
Dalam periode kepemimpinan Raja Gowa ke-X (1546-1565, Mario Daeng bonto, Karaeng Laiung “Tunipallangga Ulaweng“, demikian nama lengkap Raja Gowa ke-X. dibawah kepemimpinan raja Gowa ke-X ini diadakan penyempurnaan administarsi kerajaan. Kota Makassar dijadikannya sungguh-sungguh sebagai Bandar Niaga yang teratur dengan menetapkan jabatan Syahbandar sebagai jabatan yang terpisah dari jabatan Tumailalang. Baginda Raja “Tunipallangga Ulaweng”, mengangkat dan menetapkan Syahbandar Daeng Tari Mangalle Kana, Ikare Manggaweang sebagai Syahbandar dengan sebutan “Daenta Syahbanaraka”.
Pada periode kepemimpinan Raja “Tunipalangga Ulaweng”, karena makin berkembangnya perdagangan melalui Bandar Makassar, maka para niagawan dari Pahang, Petani, Johor, Campak, Minangkabau, Jawa bahkan orang-orang bangsa Eropa terutama orang Portugis, memohon tempat dan perlindungan Kerajaan untuk membuka perwakilan dagang di Makassar.
Baginda Raja, mengabulkan permohonan para niagawan manca negara itu. Sampai kini kita dapat menyaksikan peninggalan sejarah itu, misalnya pembagian tempat domisili para niagawan itu, maka ada Kampung Melayu, Kampung China, Kampung Arab, Kampung Belanda dan sebagainya.
Demikianlah nama Makassar, sebagai suatu Kerajaan yang melegenda sepanjang sejarah. Tetapi tiba-tiba namanya berubah menjadi Ujung pandang, dan nama Ujung Pandang sempat digunakan sebagai nama Kota ini selama 28 tahun (1971-1999).

MAKASSAR KE UJUNG PANDANG

Di Era tahun 1970-an, muncul gagasan para petinggi di Makassar untuk melebarkan wilayah kota Makassar sebagai ibukota Propinsi Sulwesi Selatan.
Kolonel Inf. H.M. Daeng Patompo, selaku Walikota Makassar berusaha untuk mendekati 3 (tiga) orang Bupati tetangga Makassar. Kolonel Inf. H. Mas’ud di Gowa, Kolonel Inf. Kasim DM. di Maros dan Kolonel Inf. H.M. Arsyad B. di kabupaten Pangkep.
Ketiga orang Bupati ini mulanya tidak memberi respon positif terhadap gagasan H.M Daeng Patompo untuk mengambil sebagian wilayah ketiga Kabupaten, guna melebarkan wilayah Makassar, apalagi kalau nama Makassar tercantum di dalamnya.
Karena lama tertunda – tunda tentang kesediaan ketiga Bupati itu, maka pimpinan militer di Makassar ikut berusaha melicinkan jalan ke arah rencana tersebut. Tersebutlah Letjen Kemal Idris, Panglima KOWILHAN III, Brigjen A. Aziz Bustam, Panglima KODAM XIV Hasanuddin dan juga Gubernur Sulsel, Mayjen Ahmad Lamo, dan Pangkep betapa pentingnya perluasan wilayah ibukota Propinsi Sulawesi Selatan, tidak dapat dilupakan juga peranan Andi Pangerang Petta Rani, Mantan Gubernur Sulawesi Selatan dalam rangka usha pelebaran wilyah Makassar sebagai ibukota Sulawesi Selatan. Akhirnya ketiga Bupati tersebut menyatakan kesediaanya, syaratnya Makassar menjadi Ujung Pandang.
Wilayah Kota Makassar ibukota Propinsi Sulawesi Selatan bertambah lebar, dari hanya sekitar 25 KM2 menjadi 175 KM2. Lahirlah PP No. 51 Tahun 1971 tentang perubahan batas-batas daerah Kota Makassar dan Kabupaten-Kabupaten Gowa, Maros dan Pangkajene Kepulauan dalam daerah Propinsi Sulawesi Selatan (Lembaran negara RI Tahun 1971 No. 65, tambahan lembaran Negara No. 2970), dan nama Makassar berubah menjadi Ujung Pandang.
Perubahan nama Makassar menjadi Ujung Pandang, melahirkan reaksi dari berbagai kalangan warga masyarakat kota ini, dan berusaha untuk mengembalikan nama kota dari Ujung Pandang menjadi Makassar, sekaligus upaya untuk menemukan hari jadi Makassar yang sesuai dengan kebesaran namanya didalam sejarah bangsa.
Reaksi keras dari berbagai kalangan warga masyarakat dikota ini, dimanifestasikan dalam sebuah petisi 17 Juli 1976 dengan ditandatangani oleh 3 (tiga) orang pakar sejarah dan budayawan didaerah ini, yaitu :

1. Prof. Mr. DR. Andi Zainal Abidin Farid.

2. DR. H.A. Mattulada

3. Drs.H.D. Mangemba

Dengan isi petisi, diminta supaya nama Ujung Pandang dikembaliakn menjadi Makassar demi menegakkan kejujuran, kebenaran dan kelurusan sejarah tanah air Indonesia. Petisi ini ditujukan kepada Walikota Madya KDH Tk-II Ujung Pandang dan DPRD Kotamadya Dati II Ujung Pandang.

UJUNG PANDANG KE MAKASSAR

Dibawah kepempinan Walikotamadya KDH Tk. II Ujung Pandang, DR.H.A.Malik B. Masry, SE, MS telah diselenggarakan seminar penelusuran hari jadi Makassar yang dilaksanakan di Ujung Pandang bertempat di Makassar Golden Hotel pada tanggal 21 Agustus 1995 atas kerjasama Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin dengan Pemerintah Daerah Kotamadya Ujung Pandang.
Seminar ini menghasilkan sebuah rekomendasi yang memandang sangat perlu peralihan nama Ujung Pandang menjadi Makassar dengan argumentasi sbb :

1. Bahwa nama Makassar, tidak terbatas pada nama saja, tetapi juga mencakup identifikasi bahasa, suku, budaya, dan kerajaan (Kerajaan Makassar) sedangkan Ujung Pandang hanyalah sebagian kecil dari Kota Makassar (Ujung Pandang berada didalam Makassar).

2. Bahwa keputusan DPRD-GR Kotapraja Makassar tanggal 24 September 1964 dan Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 1971 tanggal 1 September 1971 tentang perubahan nama Makassar ke Ujung pandang, bertentangan dengan Undang_undang No. 13 tahun 1964 Jo. Ketetapan MPR-S No.XX tahun 1996 No. Ketetapan MPR No. V tahun 1973, pasal 5, 19 dn 20 UUD 1945, makanya perubahan nama Makassar menjadi Ujung Pandang batal dengan sendirinya demi hukum.

3. Peralihan nama Makassar ke Ujung Pandang dan Ujung Pandang ke Makassar dapat dipandang sebagai suatu proses yg diwarnai perbedaan dan pertentangan pendapat serta konflik dalam sebuah komunitas perkembangan masyarakat bersama kotanya.

Setelah pergantian Walikota dari DR. H. A. Malik B. Masry kepada Drs. H.B. Amiruddin Maula, SH. Msi. Hasil seminar ini ditindaklanjuti yang selanjutnya mendapat dukungan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kotamadya Ujung Pandang sebagaimana tertuang didalam Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kotamadya Ujung Pandang No. 05/Pimp/DPRD/VIII/99 tanggal 21 Agustus 1999, tentang persetujuan DPRD atas rencana alih nama Ujung Pandang menjadi Makassar sebagai nama Kota.
Perjuangan Walikota Drs. H.B Amiruddin Maula, mendapat restu Gubernur Sulawesi Selatan, H.Z.B Palaguna, kemudian mendapat persetujuan Pemerintah Pusat dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 86 tahun 1999 tanggal 13 Oktober 1999, menetapkan pengembalian nama Kotamadya Ujung Pandang menjadi Kota Makassar dalam wilayah Propinsi Sulawesi Selatan. Kembalinya nama Makassar adalah nama legendaris yang dikenal oleh masyarakat internasional. Peraturan Pemerintah No. 86 tahun 1999, ditandatangani Presiden ke-3 Republik Indonesia , Prof. DR. BJ. Habibie.

MAKASSAR ADALAH SERAMBI MADINAH

Dengan pernyataan baginda Raja Gowa bahwa meskipun kerajaan ini menerima agama Islam sebagai agama panutan kerajaan, namun semua golongan agama lain di dalam wilayah Kerajaan Makassar tetap mempunyai hak yang sama dan mempunyai kebebasan beribadah menurut agamanya. Berniaga dan mendapat perlindungan yang sama dari kerajaan, ini merupakan pundak tertinggi dari masyarakat Madani/ sociaty yang dipelopori Kerajaan Makassar.
Salah seorang sejarahwan kebangsaan Inggris bernama C.R Boxer, dalam bukunya berjudul FRANCISCO VIEIRA DE GUEIREDO A PORTUGUESE MERCHANT-ADVENTURER IN SOUTH EAST ASIA 1627-1667; menulis menyatakan keheranannya dan sekaligus kagum, karena menurut perkiraanya apabila kerajaan Makassar menganut agama Islam sebagai agama kerajaan, kemungkinannnya bangsa-bangsa lain yang menganut agama non Islam akan mendapatkan kesulitan didalam kerajaan Makassar, tetapi kenyataannya justru semua orang bangsa lain yang beragama non Islam justru diberi kebebasan dan perlindungan. Pelabuhan Makassar sudah terkenal sejak abad ke-XIV, tetapi belum mencapai kemajuan yang berarti, dan nanti kerajaan Makassar menganut agama Islam, pelabuhan ini mencapai kemajuan yang signifikan, menjadi suatu pelabuhan yang sangat terkenal di benua timur/Asia.
Salah seorang Ulama besar Indonesia, Buya Hamka (Haji Muh. Karim Amrullah), konon pernah mengatakan bahwa manakala kerajaan Makassar menerapkan perhatian kepada menghargai pluralisme, hormat kepada bangsa-bangsa lain yang berniaga di Makassar, dan memberikan kebebasan memeluk dan beribadah menurut agamanya masing-masing, berarti mempraktekkan sifat dan metode Pemerintahan Rasulullah Muhammad SAW pada saat beliau melaksanakan pemerintahan di Madinah, makanya Makassar berhak diberi predikat “Serambi Madinah” sama dengan Aceh, serambi “Mekkah”.

Mengenal Dictatorism

1. Memuja Kekerasan.
Diktator adalah pemerintahan yang memaksa. Ia memiliki sifat dasar kekerasan. Fascist dan komunis memperoleh kekuatan mereka dari kekerasan atau tindak kekejaman, keduanya memuliakan paksaan sebagai metode aksi politik. Diktator lebih mengutamakan kekuatan fisik, paksaan dan kekerasan, dimana mengabaikan cara intelektual dan moral. Intimidasi, penyiksaan, penjara dan eksekusi merupakan cara diktator dalam menyelesaikan masalah, atau bisa dikatakan untuk mengatasi para pembangkangnya.


2. Totaliter.
Diktator modern tidak memberikan perbedaan antara Negara dan masyarakat. Ia menghargai atau mengakui aksi Negara yang tidak terbatas. Namun, Totaliter inilah yang mengatur dan mengontrol seluruh aspek kehidupan, termasuk agama, sastra, seni dan pendidikan. Diktator tidak menerima kebebasan kata hati, dan ia tidak memihak kepada sifat individual komunitas.


3. Otoriter.
Diktator merupakan musuh bagi kebebasan individual. Ia menganut peraturan satu partai atau semata- mata peraturan militer. Ia merupakan bentuk kezaliman yang sesat. Keinginan atau kemauan diktator merupakan hukum partai. Ia juga tidak bertanggung jawab kepada siapa saja.


4. Diktator Bersifat Agresif.

Diktator mencela dengan adanya ide- ide perdamaian dunia dan keharmonisan internasional. Diktator menganggap paham perdamaian adalah pengecut. Diktator fascist seperti Hitler dan Mussolini, secara terbuka mengundang perang dan akhirnya mencelupkan manusia pada perang dunia ke II. Begitu juga dengan halnya diktator seperti Zia-Ul-Haq yang memiliki sifat senang untuk berperang.


5. Diktator terpisah dari yang lain.

Diktator memiliki karakter ekclusive atau terpisah dari yang lain. Diktator adalah penyokong kesucian agama, ras dan bahasa. Akan tetapi Hitler membenci kaum Yahudi, bahkan membunuh jutaan bangsa Yahudi. Begitu juga Zia dari Pakistan merupakan ahli pokok islam. Sedangkan Khomeini dari iran bukan merupakan musuh bagi non-islam, akan tetapi juga lawan bagi muslim dari aliran sunni atau non-si'ah.


6. Merendahkan Kepribadian Manusia.

Semua definisi yang tersebut diatas akhirnya menimbulkan pengaruh mengucilkan dan merendahkan personalitas manusia. Manusia pada umumnya tidak merasa puas, jika keinginannnya secara pribadi tidak terpenuhi. Manusia umumnya memiliki sifat spiritualisme dan pasti akan mencari spiritual tersebut. Sedangkan diktator memiliki sifat dasar yang menentang sifat spiritual yang dimiliki manusia. Dibawah kekuasaan diktator manusia tidak memiliki kebebasan, bahkan tidak bisa mengungkapkan atau memberikan kontribusi yang dimilikinya, walaupun bertujuan untuk kebaikan bersama. Disinilah terletak pelecehan terhadap personalitas. Disisi lain juga, diktator menolak sistem self-government atau pemerintahan sendiri.

Minggu, 14 Februari 2010

Fakta Fenomenal Demonstran Bayaran

Potret Demostrasi Dukung “Buaya”

Polri mencari-cari kesalahan Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah sejak Juli 2009 lalu, dukungan mengalir dari sebagian besar rakyat yang selama ini kurang percaya institusi polisi (dan jaksa) yang dikenal korup (Sumber : TII 2008, TII 2009). Ketidakpercayaan publik kepada Polri dan Kejaksaan semakin tinggi pasca pemutaran rekaman perbicaraan Anggodo dengan sejumlah pejabat teras di lembaga penegak hukum ini. Namun ditengah dukungan yang besar kepada Bibit dan Chandra, mengalir pula dukungan kepada Polri (dan kejaksaan). Selain membuat account facebook tandingan Bibit dan Chandra, para “pendukung” Polri juga turun ke jalan sebagaimana para “pendukung” Bibit dan Chandra.

Bila para demonstrasi aksi damai pada pada 8 Nov 2009 turun ke jalan atas inisiatif pribadi (tanpa dibayar, kecuali sponsor untuk panggung), maka dalam berbagai aksi turun jalan para pendukung Polri (atau “Buaya” dalam analogi Komjen Susno Duadji) ternyata DIBAYAR! Dan parahnya lagi, para demonstran tidak tahu apa yang sedang mereka dukung, apapula yang sedang mereka kritisi!

Ratusan masyarakat melakukan aksi demontrasi di depan Istana Negara, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Rabu (18/11). Mereka mengecam rekomendasi Tim Delapan dan menyatakan mendukung Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri untuk meneruskan proses hukum terhadap pimpinan (nonaktif) Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah.

Namun, entah karena sibuk atau tidak memperhatikan pemberitaan, kebanyakan para pendemo tidak mengetahui nama orang yang dibelanya. Padahal, setelah kasus dugaan kriminalisasi Bibit dan Chandra mencuat, wajah dan nama Kapolri kerap muncul di media cetak ataupun elektronik.

“Enggak tahu siapa (nama Kapolri),” ujar Sulaeman (27) kepada Kompas.com yang bertanya nama Kapolri. Meski tidak mengetahui siapa nama Kapolri, Sulaeman menilai Kapolri layak didukung. Pasalnya, kata dia, Bibit dan Chandra terbukti bersalah dan selayaknya mendapat hukuman. Apa kesalahan Bibit dan Chandra? “Enggak tahu,” jawab Sulaeman sambil tersipu.

Ubay (19), pengunjuk rasa lainnya, juga tidak mengetahui siapa nama Kapolri. Warga Cakung ini mengaku hanya mengetahui wajah Kapolri. “Wajahnya tahu, tapi namanya enggak,” akunya. Ia juga tidak mengetahui secara pasti kasus yang menimpa Bibit-Chandra. Hanya sesekali ia mengikuti pemberitaan mengenai kasus yang menyedot perhatian hampir semua masyarakat Indonesia ini. “Itu kasus KPK. Masalah Bibit-Chandra,” ujarnya sambil berlalu.

“Saya tahunya Tim 8 itu yang sering nongol di tivi. Kalau polisi-jaksa ya penegak hukum,” kata Surono (35), yang tergabung dalam massa pengecam Tim 8 dan pendukung Kejaksaan-Polri saat berdemo di Bundaran HI, Jakarta.

Hal serupa diungkapkan Jati (23). Warga Menteng Dalam itu mengaku diajak berdemo oleh temannya kemarin. Saat itu ia tengah mangkal di pangkalan ojek dan diminta bergabung untuk berdemo. “Ah, enggak dibayar kita. Cuma diganti ongkos ojek Rp 25.000. Kita gemas aja, di tivi pada rame kita jadi ingin juga,” ucap Jati sambil mengusung tinggi-tinggi poster bertuliskan “Tim 8 Hanya Badut”.

Tampaknya, hanya sebagian kecil massa yang tahu persis duduk persoalan. Hanya mereka berdiri di mobil pengeras suara dan berpidato kencang-kencang. Lalu menyebut sejumlah aktor yang terlibat polemik Bibit-Chandra dengan fasih. Juga ngomong soal sistem hukum dan keadilan dengan lantang.

Aksi ini diikuti oleh 700 hingga 1.000 orang. Banyak di antaranya ibu-ibu yang mengenakan pakaian daster. Mereka menumpang sekitar 25 Metro Mini.

Disusun : Kompas dan Detiknews

Demonstran Bayaran Memakan Korban (Poskota)

Sebagian besar demonstran bayaran pendukung polisi ini direkrut dari daerah Bogor. Para demonstran ini diangkut dengan rombongan bus. Namun, naasnya salah satu dari rombongan bus pendukung ‘bayaran’ polisi untuk melakukan aksi demo di Jakarta terguling di Jalan Raya Cibungbulan Kabupaten Bogor Rabu (18/11) pagi. Akibatnya seorang pelajar tewas akibat dihantam bus, beberapa orang lainnya luka ringan dan berat.

Korban meninggal, Ibnu 16, pelajar STM Pandu Bogor. Anak pasangan Endang 45, dan Elita 44, meninggal di lokasi dengan seragam sekolah penuh darah. Kondisi bus rusak berat di bagian depan karena menabrak bengkel motor di pinggir jalan. Peristiwa nahas ini terjadi , akibat sopir tidak mampu menguasai setir saat menghindari angkot yang melaju dari arah berlawanan.

Demo Bayaran, Menjadi Komoditas Ekonomi (Detiknews)

Penasaran dengan isu massa bayaran pada tiap demontrasi yang akhir-akhir ini kerap beraksi? Cobalah trik ini. Berpakaianlah dengan sederhana. Bercelana jins, kemeja lengan pendek, dan memakai topi. Pergunakan tas ransel kecil di punggung atau tas pinggang ukuran sedang.

Lalu, gunakan mobil yang tidak terlalu mewah buatan tahun 2005 atau 2000. Kalau tidak ada, kendarai sepeda motor yang sudah lama tidak dicuci. Kemudian, pergilah ke daerah miskin di Jakarta. Miskin ini dalam arti harfiah tentunya, seperti pemukiman padat dan penduduknya berpendapatan pas-pasan. Beberapa lokasi yang bisa dituju seperti kolong tol Rawa Bebek dan Kebon Bawang Jakarta Utara. Menteng Dalam atau Tanah Tinggi Senen, Jakarta Pusat. Tegal Alur atau Kampung Ambon, Jakarta Barat.

“Saya baru matikan kendaraan, langsung disamperin pemuda setempat. Dia bilang ‘Cari massa, Bang? Saya ada di belakang tinggal dipanggil” cerita Hardi Baktiantoro, pegiat LSM dari Centre for Orangutan Protection kepada detikcom beberapa waktu lalu.

Hardi yang sedang menemani rekannya hanya senyum-senyum, menolak dengan halus. Lalu si pemuda itu kembali ke “sarangnya,” sebuah pos kamling yang telah disulap sedemikian rupa. Penasaran dengan cerita Hardi, detikcom berusaha menelusuri. Dengan trik serupa, detikcom lalu “blusukan” ke daerah Rawa Buaya, Jakarta Utara. Titik yang dituju merupakan daerah miskin kolong tol.

“Mau berapa orang, Mas? Ngecer atau paket?” ucap salah seorang penggerak massa menyapa detikcom.
Diapun membeberkan apa itu ngecer atau paket. Ngecer biasa menunjuk pada jumlah per orang saja. Sementara paket sudah terima beres, dari biaya per-kepala, transportasi, mobil pengeras suara, hingga nasi bungkus. Namun untuk spanduk atau poster tidak mereka menyediakan.

“Posternya situ yang buatlah. Kan situ yang tahu targetnya,” kelit Joni–begitu penggerak massa itu memperkenalkan diri.

Mengenai harga, semua bisa dimusyawarahkan. Saat ini, biaya per kepala Rp 20.000-25.000, tergantung kemampuan menawar. Nilai itu juga ditentukan skala isu, yakni lokal atau nasional. Sementara untuk biaya mobil pengeras suara dan transportasi lebih fluktuatif, tergantung ukuran dan besaran. Tidak hanya di Rawa Buaya tentu. Banyak tempat yang menawarkan massa bayaran dengan mudah. Saat detikcom menelusuri tempat-tempat di atas, hampir selalu dihampiri ‘Joni-Joni’ yang lain. Biasanya mereka langsung “to the point”, namun terkadang tidak jarang dengan basa-basi terlebih dahulu.

“Orang-orang seperti itu yang mencoreng dunia pergerakan. Kasihan yang murni berjuang dinodai segelintir massa bayaran,” sesal Hardi Baktiantoro.

Sayangnya penyesalan itu seperti angin lalu. Massa bayaran telah menjadi komoditas di era demokrasi modern. Caranyapun makin cepat dan mudah didapat. Bila sudah kenal dengan ‘Joni-Joni’ penggerak massa, tinggal angkat telepon, semudah memesan makanan cepat saji. “Halo Boss..Bisa pesan massa 100 orang? Pake ibu-ibu dan anak kecil ya..Enggak usah pakai mobil sound, kita sudah ada. Terima kasih,” barangkali kira-kira begitulah sang pemesan mengontak Joni.

Dagelan “Demonstrasi” untuk Kebenaran!

Ciri khas negara demokrasi adanya kebebasan untuk bersuara dan berpendapat yang sering diterjemahkan oleh masyarakat saat ini dengan istilah demonstrasi atau unjukrasa. Untuk menyampaikan aspirasi, tentu ada tahap-tahapannya, mulai dari musyawarah, usulan, aksi turun ke jalan hingga gerakan mosi tidak percaya menyeluruh. Sebagai manusia yang beradab, sudah semestinya kita menggunakan cara yang elegan untuk bersuara dan berpendapat.

Namun, setelah gerakan Mahasiswa 1997-1998 yang berhasil menumbangkan rezim otoriter dan sarat KKN di era orde baru, gerakan mahasiswa selanjutnya diterjemahkan sejumlah kelompok sebagai alat efektif untuk melakukan protes. Dan tidak jarang aksi unjukrasa saat ini hanya menjadi alat untuk melegitimasi kepentingan politik tertentu. Para oknum tidak tanggung-tanggung menyewa para preman untuk melakukan teror dengan meminjam istilah demonstration for democracy. Bahkan, ada juga unit mahasiswa saat ini melakukan demonstrasi dimotori oleh kepentingan tertentu. Demonstrasi berubah fungsi, tidak sekedar sebagai alat kontrol demokrasi, namun lebih pada komoditas ekonomi belaka. Mereka (para demonstran) mendapat bayaran, sehingga tidak jarang demonstrasi dilakukan bak orang kerasukan setan. Sehingga nilai demonstrasi pada demokrasi menjadi democrazy, orang yang dipenuhi nafsu kegilaan (setan).

Free Trade Agreement dan Ancaman Neo Imperialisme Asia

Oleh : Herdiansyah Hamzah

Pasas bebas (free market) merupakan sejarah panjang dari politik Perdagangan bebas (free trade), yang tidak lain merupakan antitesa (baca : bertolakbelakang) dari politik ekonomi merkantilisme. Sebuah paham yang meyakini bahwa kesejahteraan suatu negara hanya ditentukan oleh banyaknya aset atau modal yang disimpan oleh negara yang bersangkutan. Aset ekonomi atau modal negara dapat digambarkan secara nyata dengan jumlah kapital (mineral berharga, terutama emas maupun komoditas lainnya) yang dimiliki oleh Negara. Dan modal ini bisa diperbesar jumlahnya dengan meningkatkan ekspor dan mencegah impor sebisa mungkin, sehingga neraca perdagangan dengan negara lain akan selalu positif. Merkantilisme mengajarkan bahwa pemerintahan suatu negara harus mencapai tujuan ini dengan melakukan proteksi terhadap perekonomiannya, dengan mendorong eksport (dengan banyak insentif) dan mengurangi import (biasanya dengan pemberlakuan tarif dan pajak yang besar). Kebijakan ekonomi yang bekerja dengan mekanisme seperti inilah yang dinamakan dengan sistem ekonomi merkantilisme.

Namun dalam perkembangannya, politik merkantilisme ini dianggap menjadi suatu skema sistem ekonomi yang tidak efektif. Hal tersebut disebabkan oleh campur tangan Negara yang dianggap terlalu besar, sehingga membuat sistem perdagangan mengalami stagnasi. Salah satu kritikus terhadap politik merkantilisme ini adalah Adam Smith. Smith mengatakan bahwa hukum pasar tidak boleh dikekang, oleh karna itu, pasar harus dibuka seluas-luasnya dengan meminggirkan peran Negara, yang cenderung membatasi individu (private). Dalam karyanya yang berjudul “An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations” yang kemudian disingkat “The Wealth of Nations”. Smith yang menggambarkan sejarah perkembangan industri dan perdagangan di Eropa serta dasar-dasar perkembangan perdagangan bebas dan kapitalisme. Adam Smith sendiri dikenal sebagai salah satu pelopor sistem ekonomi Kapitalisme.

Satu dari poin utama dari karya The Wealth of Nations tersebut adalah pasar bebas. Smith percaya kalau motif manusia akan mengikuti watak dasarnya yang cenderung egois dan tamak, kompetisi dalam pasar bebas akan bertujuan menguntungkan masyarakat seluruhnya dengan memaksa harga tetap rendah, dimana tetap membangun dalam insentif untuk bermacam barang dan jasa. Smith sangat mengkritik keras upaya monopoli Negara yang justru membatasi ekspansi industri. Negara bagi Smith terlalu jauh melakukan intervensi dalam proses ekonomi, salah satunya dalam hal penentuan tarif. Intervensi tariff ini dianggap membuat inefisiensi dan harga tinggi pada jangka panjang. Teori ini kemudian dikenal dengan “laissez-faire”, yang berarti “biarkan mereka lakukan”, tanpa pembatasan serta intervensi dari Negara.

Konsepsi awal mengenai pasar dan perdangan bebas Adam Smith, kemudian dekembangkan oleh David Ricardo pada tahun 1887. Ricardo adalah salah satu ekonom yang tidak menyepakati kebijakan Negara melalui Pemerintah dalam hal pembatasan perdagangan. Menurut Ricardo, salah satu alasan mendasar yang mendorong keharusan perdagangan internasional menuju pasar bebas adalah, perbedaan keunggulan komparatif (comparative advantage) antar Negara dalam menghasilkan komoditas tertentu. Suatu Negara akan melakukan ekspor komoditas yang dihasilkan lebih murah, dan melakukan impor komoditas yang lebih mahal dalam penggunaan sumber daya.

Pertayaan mendasar kemudian muncul, “Benarkah pasar bebas akan melahirkan kemakmuran bagi ummat manusia, khususnya bagi Negara-negara berkembang?”. Bagi Negara maju yang tidak lain merupakan penganjur pasar bebas, tentu saja akan memberikan jawaban yang sepenuhnya mengamini teori Smith dan Ricardo. Inilah jalan terbaik bagi kemakmuran manusia, begitulah kira-kira klaim Negara-negara induk kapitalisme. Dengan pasar bebas, maka ekspansi (perluasan) modal dan distribusi koomoditas, akan berjalan dengan baik. Dengan pasar bebas, maka industri raksasa internasional (MNC/TNC) yang berada di bawah kendali mereka, akan lebih leluasa melakukan take-off kekayaan alam dunia ketiga. Namun sebaliknya, indsutri Negara berkembang, termasuk Indonesia, justru akan mengalami kemunduran dan colaps akibat kalah bersaingnya komoditas produk luar yang tentu saja jauh lebih murah.

Mitos Pasar Bebas

Pasar bebas, kini tengah mengancam industri Indonesia. Perjanjian dan kesepakatan internasional terkait perdagangan bebas, kini gencar dilakukan, oleh Pemerintah tanpa pernah mencoba melihat dampak yang akan ditimbulkan. Indonesia sendiri telah menyepakati areal perdagangan bebas, diantaranya : Asean Free Trade Agrement (AFTA), Indonesia - Jepang EPA, Asean – China FTA, Asean – Korea FTA. Sedangkan yang masih dalam tahap perundingan adalah Asean – India FTA, Asean – EU FTA, Asean – Australia – New Zealand FTA. Sementara zona perdagangan bebas antara Indonesia – AS FTA dan Indonesia – EFTA (Swis, Leichestein, Norwegia dan Islandia), masih dalam proses Pra-negosiasi dan joint study gro. Dan salah satu yang menyita banyak perhatian hari ini adalah kesepakan zona perdagangan bebas antara persekutuan Negara-negara Asean (termasuk Indonesia), dengan Cina.

Pemerintah telah membangun kesepakatan internasional dengan cina terkait dengan area perdangan bebas antara Cina dan Negara-negara ASEAN, atau yang kita sering sebut dengan China-Asean Free Trade Aggrement (CAFTA). Kesepakatan tersebut dilakasanakan oleh Pemerintah di Bandar Seri Begawan, Brunei, pada tanggal 6 November Tahun 2001 silam. Logika kesepakatan perdagangan bebas yang dibangun dengan Cina tersebut, tidak lebih dari upaya Negara-negara maju dalam memperluas pangsa pasar produknya, yang mana disisi lain justru mematikan indsutri domestic Negara berkembang. Pemerintah ketika itu melontarkan 3 (tiga) alasan utama mengapa kesepakatan CAFTA ini diambil, yakni : Pertama, penurunan dan penghapusan tarif serta hambatan nontarif di China membuka peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan volume dan nilai perdagangan ke negara yang penduduknya terbesar dan memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia. Kedua, penciptaan rezim investasi yang kompetitif dan terbuka membuka peluang bagi Indonesia untuk menarik lebih banyak investasi dari China. Dan Ketiga, peningkatan kerja sama ekonomi dalam lingkup yang lebih luas membantu Indonesia melakukan peningkatan capacity building, technology transfer,dan managerial capability.

Namun apa yang diharapkan oleh Pemerintah dari kesepakatan pasar bebas ini, justru menjadi mimpi di siang bolong. Harapan kesejahteraan tak ubahnya seperti mitos yang hanya terdengar manis ditelinga. Alih teknologi misalnya, perusahaan asing yang menjarah kekayaan alam kita, justru hanya meninggalkan setumpuk persoalan. Tingkat penggunaan teknologi industry kita tetap jauh tertinggal dengan Negara-negara maju. Negara kita memang telah terbuai mimpi Neo-liberalisme yang berkedok pasar bebas. Neo-liberalisme telah melempar mitos kesejahteraan yang justru kontradiktif dengan fakta yang ada. Menurut Mansour Fakih, mitos-mitos Neo-liberalisme tersebut dapat dilihat dari beberapa skema, antara lain : Pertama, perdagangan bebas akan menjamin pangan murah dan kelaparan tidak akan terjadi. Kenyataan yang terjadi bahwa perdagangan bebas justru meningkatkan harga pangan. Kedua. WTO dan TNC akan memproduksi pangan yang aman. Kenyataannya dengan penggunaan pestisida secara berlebih dan pangan hasil rekayasa genetik justru membahayakan kesehatan manusia dan juga keseimbangan ekologis. Ketiga, kaum permpuan akan diuntungkan dengan pasar bebas pangan. Kenyataannya, perempuan petani semakin tersingkir baik sebagai produsen maupun konsumen.Keempat, bahwa paten dan hak kekayaan intelektual akan melindungi inovasi dan pengetahuan. Kenyataannya, paten justru memperlambat alih teknologi dan membuat teknologi menjadi mahal. Dan Kelima, perdagangan bebas di bidang pangan akan menguntungkan konsumen karena harga murah dan banyak pilihan. Kenyataannya justru hal itu mengancam ketahanan pangan di negara-negara dunia ketiga.

Namun alasan-alasan tersebut, tidaklah berbanding secara linear dengan tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia. Pun demikian dengan indsutri domestik, yang justri kian rapuh dan tersingkirkan akibat praktek ekonomi biaya tinggi. Industri domestic kita juga kalah bersaing dengan industry luar negeri. Berdasarkan catatan International Instititute for Management Development dalam World Competitiveness Yearbook 2006-2008 menyebut daya saing Indonesia semakin merosot hingga ke peringkat 52 dari 55 negara. Sumber lain versi World Economic Forum menunjukkan daya saing Indonesia berada di posisi 54 atau lebih rendah dibandingkan Singapura, Malaysia, dan Thailand. Namun yang menjadi permasalahan bukanlah pada aspek siap atau tidaknya Indonesia menghadapi pasar bebas tersebut. Memang sangat mengherankan, diskursus perdagangan bebas atau Free Trade Aggrement antara Asean dan Cina (CAFTA) yang akan berlaku mulai 1 Januari 2010 nanti, telah tergiring pada pokok pembahasan soal ketidaksiapan itu. Sungguh sangat naïf. Sebab melihat perdaganan bebas ini, harus dipandang dari kacamata, untuk dan kepentingan siapa areal perdaganan bebas ini dibuka seluas-luasnya?.

Siapa Yang Diuntungkan?

Selama ini, perdagangan lintas teritori dianggap belum berjalan secara maksimal sebagaimana hukum-hukum pasar (law market) yang berlaku. Hambatan-hambatan ekonomi yang dimaksud antara lain : Tarif atau bea cukai, Kuota, Subsidi, Muatan lokal, Peraturan administrasi dan Peraturan antidumping. Pembatasan inilah yang selama ini dianggap benalu bagi perkembangan ekonomi dunia. Suatu skema perekonomian global, yang diyakini akan mampu memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi Negara berkembang. Namun benarkah pasar bebas akan memberikan keuntungan bagi Negara berkembang?. Jika melihat fakta hari ini, maka skema pasar bebas yang konon akan membangun pemerataan ekonomi dunia adalah pernyataan yang omong kosong belaka. Pasar bebas hanya menguntungkan Negara maju, di atas penderitaan Negara berkembang yang kian dimiskinkan. Sebagai contoh, pada tahun 2008 impor produk China mengambil alih 70 persen pangsa pasar domestik Indonesia yang semula dikuasai sektor UMKM. Banjir produk murah dari China menyebabkan pangsa pasar usaha tekstil dan produk terkait (TPT) domestik menurun dari 57 persen pada 2005 menjadi 23 persen pada 2008. Di bidang ekspor, produk nonmigas Indonesia seperti tekstil dan mainan anak-anak juga makin disaingi produk-produk sejenis dari China. Meningkatnya proteksionisme di AS,Eropa,dan banyak negara di belahan bumi lain sejak era krisis global membuat kita khawatir, produk-produk China justru akan mengalir ke pasar Indonesia. Apakah ini yang kita sebut dengan pemerataan ekonomi?. Yang ada hanya perampokan dan penjarahan besar-besaran terhadap kekayaan alam kita, bagi dari hulu ke hilir system perdangangan. Dan bisa dibayangkan, jika kesepakatan Cina-Asean Free Trade Aggrement (CAFTA) telah mulai diberlakukan, maka tingkat monopoli-pun akan berlangsung tanpa terkontrol. Komoditas Cina dipastikan akan membanjiri Negara kita, jauh lebih hebat dibanding sebelum kesepakatan tersebut tercapai.

Berbagai sector industry, khususnya manufaktur, dipastikan akan terpukul mundur dengan kesepakatan area pasar bebas tersebut. Menurut Dirjen Bea dan Cukai Departemen Keuangan Anwar Suprijadi, pelaksanaan perjanjian perdagangan bebas (FTA) berpotensi menurunkan penerimaan negara (potential loss) dari kepabeanan hingga mencapai sekitar Rp 15 triliun. Ini tentu akan memaksa penyesuaian anggaran APBN, dengan mencarai pos anggaran lain. Dan bisa dipastikan, bahwa pos anggaran baru ini, sekali lagi akan mengorbankan rakyat Indonesia. Di sector tekstil, juga bernasib sama. Menurut Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ernovian G Ismy, penerapan FTA dengan Ciba ini berpotensi menurunkan penerimaan negara. Bahkan, pada tahun 2010 potensi defisit perdagangan tekstil dan garmen diperkirakan mencapai lebih dari 1,2 miliar dollar AS. Terlebih lagi, bahwa pemberlakuan CAFTA tersebut, mulai efektif diberlakukan di saat krisis energy dasar melanda Indonesia. Salah satunya adalah krisis listrik, yang hingga saat ini tak kunjung terselesaikan. Sektor manufaktur jelas akan semakin sulit bernafas dari gempuran industry Cina. Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel) menilai perjanjian area perdagangan bebas (Free Trade Agreement) antara ASEAN-dan China akan menuai masalah mengkhawatirkan dan akan mengancam untuk sektor industry manufaktur. Wakil sekjen Gabel, Yeane Keet menyatakan bahwa permasalahan klasik di sektor industri saja belum terselesaikan, yaitu biaya ekonomi tinggi disertai kendala infrastruktur seperti tersedianya jalan yang memadai dan pasokan listrik yang cukup. Bagaimana mungkin kita bisa bertahan jika perjanjian pasar bebas tersebut diberlakukan. Kesepakatan pasar bebas Cina-Asean tersebut akan menghapuskan 6.682 pos tarif (bea masuk-BM). Dari sejumlah tersebut ada sekira 700 produk manufaktur yang terindikasi akan menghadapi problem daya saing dalam FTA ASEAN-China itu.

Menurut Ketua Assosiasi Pengusaha Indonesia, Sofyan Wanandi, terdapat sekira 16 sektor usaha menyatakan, belum siap memasuki pasar bebas yang dijadwalkan mulai 1 Januari 2010. Sektor yang keberatan dibukanya pasar bebas ASEAN-China tersebut antara lain tekstil, baja, ban, mebel, pengolahan kakao, industri alat kesehatan, kosmetik, aluminium, elektronika, petrokimia hulu, kaca lembaran, sepatu, mesin perkakas, dan kendaraan bermotor. “Saya bertemu dengan sejumlah asosiasi, dan mereka betul-betul menyatakan kesulitan,” katanya. Bahkan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) membeberkan proyeksi bahwa pangsa pasar TPT lokal pada 2010 mulai tergerus 12% dibandingkan denga kondisi pada tahun ini dari Rp52 triliun (67%) menjadi Rp47 triliun (55%). Pada tahun ini, total penjualan TPT domestik diprediksi mencapai Rp77,612 triliun dan pada 2010 menembus Rp85,45 triliun. Menurut catatan API, sebagian besar penjualan TPT domestik didominasi produk-produk jadi seperti garmen (pakaian jadi) dan aksesori lain. Pada 2011, total nilai pasar TPT domestik yang diprediksi menembus Rp95,55 triliun justru semakin diisi produk-produk China dengan proyeksi nilai mencapai Rp52,56 triliun atau 55%, sedangkan porsi nilai penjualan TPT lokal menyusut jadi Rp43 triliun (45%). Dan pada 2014, nilai penjualan produk TPT lokal bahkan diprediksi tinggal 39% atau setara Rp39 triliun dari total penjualan TPT domestik sebesar Rp130 triliun. Artinya, produk TPT China menguasai 70% pasar lokal dengan nilai sekitar Rp91 triliun.

Dampak dari pemberlakuan CAFTA sebagaimana yang telah diuraikan di atas, tentu saja akan berpengaruh besar terhadap sektor ketenagakerjaan, khusunya serapan kerja (employment effect) yang selama ini sudah terbilang rendah. Bisa dipastikan bahwa, keterpurukan industry akibat pemberlakuan kesepakatan CAFTA, akan memaksa perusahaan domestik yang gagal bersaing, dengan melakukan efisiensi perusahaan. Dampak buruknya sudah bisa kita tebak bersama, PHK dan pengangguran besar-besaran tengah mengancam di depan mata kita. Berdasarkan data akhir tahun 2009 ini, jumlajh angka PHK sebesar 68.204, dan perumahan karyawan terdapat sekitar 27.860[16]. Dan angka ini diperkirakan akan melonjak berlipat-lipat sejak pemberlakuan CAFTA di awal tahun 2010 nanti. Jadi terlihat jelaslah bahwa pasar bebas hanya akan membuat Negara berkembang semakin terpuruk dan dimiskinkan. Namun yang sangat mengherankan adalah sikap Pemerintah yang cenderung melihat permasalah pasar bebas tersebut hanya sebatas kepada aspek ketidaksiapan. Ini terlihat dari usulan untuk melakukan upaya renegosiasi terkait dengan pemberlakukan CAFTA. Padahal sejatinya, bukan penundaan yang kita inginkan, tapi sikap tegas untuk menolak pemberlakuan zona pasar bebas yang nyata hanya menguntungkan Cina dan Negara maju lainnya.

Catatan Kaki :

Penulis adalah Staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (UNMUL) dan Anggota Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) Samarinda