Kamis, 02 Februari 2012

Gemuruh Aspirasi Buruh

Aksi pemblokiran jalan tol oleh buruh Bekasi merefleksikan bahwa persoalan klasik di Indonesia tak kunjung tuntas, kejadian sengketa buruh dan pengusaha sebenarnya bukan isu baru di Tanah Air, hanya lokasinya saja yang berbeda-beda.

Pada kasus di Bekasi, para buruh menuntut adanya perbaikan Upah minimum Kota (UMK). Tidak hanya itu, menurut Koordinator Serikat Buruh Bergerak Obon Tabroni, mereka juga meminta jaminan hidup layak, seperti kipas angin, air minum dan alat komunikasi. Bagi sebagian kalangan tuntutan itu adalah hal yang sangat sepele. Namun, bagi para buruh itu adalah barang "wah" yang tidak mereka miliki.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa sistem pengupahan belumlah adil. Banyak pengusaha yang mementingkan ekspansi ketimbang menghargai para buruh.

Hal itu diakui oleh Sekretaris Umum Apindo Suryadi Sasmita. "Lulusan S1 terima upah minimum provinsi (UMP) sama dengan orang yang membersihkan toilet. Orang kerja baru dan kerja lama gajinya sama saja. Sistem yang baik adalah dapat gaji atau bonus sesuai kemampuan dan kontribusi," cerita dia.

Belajar dari Pengalaman

Untungnya, tragedi buruh Bekasi berhasil ditutup dengan happy ending dan tidak terjadi chaos. Pekerja dan pengusaha sepakat adanya perbaikan UMK, yakni untuk golongan I sebesar Rp1,491 juta. Kelompok II sebesar Rp1,715 juta dan kelompok III sebesar Rp1,849 juta.

Bak mati satu tumbuh seribu, persoalan di Bekasi sudah selesai, pekerja di Tangerang pun bergejolak. Ribuan buruh dari berbagai aliansi kompak menuntut disamakannya antara UMK Tangerang dengan DKI Jakarta. Seharusnya peristiwa buruh Bekasi bisa menjadi pengalaman mahal, sehingga tidak terjadi gejolak sama yang meresahkan banyak pihak.

Solusi utamanya terletak pada revisi Undang-Undang nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Perlu adanya perbaikan struktur gaji dan sistem pengupahan yang selama ini belum adil.

Selain merivisi payung hukum, solusi pamungkas lainnya adalah pengusaha selayaknya mendengarkan dan berdialog mengenai aspirasi pekerja. Perlu adanya perundingan yang menghasilkan win-win solution, baik pengusaha dan pekerja.

Lucunya, persoalan bernafaskan para kapital juga bergema dalam Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) pada akhir pekan lalu. Sebuah pertemuan tingkat dunia yang digelar di Davos, Swiss, itu pun didominasi cercaan terhadap kapitalisme (pada kesempatan itu dibahas kapitalisme liberal Barat).

Bahwa sistem yang menganut pro kapitalis dinilai sudah tidak relevan lagi dengan kondisi zaman. Bahkan, konsep kapitalis dinilai menindas dan mecampakkan kaum marginal.

Sudah saatnya kalangan kapitalis mendengarkan dan memperhatikan para pekerjanya. Khususnya perosalan gaji yang sangat sensitif.

Seandainya dua pendekatan itu dilakukan, gelombang unjuk rasa di Bekasi maupun Tangerang, mungkin bisa dihindari.

Sialnya, gemuruh emosi pekerja sudah tidak terbendung. Bukti nyata tidak didengarkannya aspirasi buruh adalah kaburnya investor Korea yang sudah berminat menanamkan modal di Indonesia. Mereka memilih Thailand, dengan pertimbangan bisnis mereka akan aman karena minimnya isu buruh. Kalau sudah begini, siapa yang dirugikan?

Rani Hardjanti

Paradoks, Rangsang Ledakan Konflik

Beberapa waktu yang lalu, Indonesia menjadi sorotan dunia internasional. Kali ini bukan karena prestasinya meraih peringkat investasi (investment grade) dari Fitch’s Rating Ltd. dan Moody’s Investor Service. Akan tetapi karena ada kejadian heroik yang dilakoni anak-anak Sekolah Dasar (SD). Mereka yang menggantung asa dan karenanya, bertaruh nyawa menyeberangi (penulis istilahkan) “jembatan pendidikan” yang oleh media ternama dari Inggris, Dailymail disebut bak sepotong adegan film anyar Indiana Jones.

Aksi nekat anak-anak SD di di Sang Hiang, Lebak, Banten yang meniti jembatan isa terjangan banjir tersebut, tentunya menampar wajah pejabat publik. Dimana akhir-akhir ini baik eksekutif terlebih lagi legislatif menjadi bulan-bulanan akibat laku paradoksnya terhadap realitas kehidupan rakyat.

Lihatlah, hanya berjarak 77 kilometer dari lokasi “jembatan pendidikan” Indiana Jones, berdiri megah gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang hari-hari ini penghuninya menuai badai cercaan akibat dugaan mark up anggaran yang dilakukan untuk memenuhi sejumlah proyek bagi fasilitas wakil rakyat yang kinerjanya nyaris tak dirasakan itu.

Publik terperanjat ketika tahu, untuk toilet berukuran 3x2 meter persegi, kocek negara dirogoh hingga dua miliar rupiah. Pun dengan anggaran kalender yang mencapai 1,3 miliar rupiah. Lain pula soal renovasi ruang rapat badan anggaran yang angkanya lebih fantastis. 20 miliar rupiah. Kursinya, kursi impor berharga 24 juta rupiah per unit.

Masih ada ironi lain dari DPR. Kali ini soal parfum pengharum ruang seharga 1,59 miliar rupiah, kemudian mesin fotocopy dan satu Toyota Camry seharga 6,5 miliar rupiah, dua unit Welcome Screen di gerbang DPR seharga 4 miliar rupiah dan bahkan untuk gorden pun angkanya betul-betul membengkak. Dihargai 6 juta rupiah per meter. Jika tidak ada niat picik kongkalikong mark up anggaran, tidak mungkin dana yang dihabiskan sebesar itu. Maka wajar jika erosi kepercayaan kepada lembaga perwakilan rakyat itu kian meruncing.

Ternyata bukan hanya lembaga legislatif menggerogoti anggaran negara. Lembaga eksekutif pun tak mau kalah ikut renovasi. Ya, mungkin memang sedang musim renovasi. Bayangkan saja, untuk anggaran peningkatan sarana dan prasarana aparatur (meliputi beberapa istana negara) yang dihandle oleh Sekretarian Negara, telah dianggarkan 80,4 miliar rupiah di dalam APBN 2012 ini.

Tiga kenyataan di atas, yaitu kisah “jembatan pendidikan”, renovasi gedung DPR dan sejumlah anggarannya yang irasional dalam kalkulasi moral kita, serta renovasi beberapa istana negara hingga menghabiskan lebih dari 80 miliar rupiah, merupakan potret buram wajah republik yang saban hari digelayuti paradoks. Wajah yang terbelah. Lalu lantak berkeping menjadi puing-puing.

Pejabat Predator

Penulis jadi teringat petuah Arnold Toynbee di dalam bukunya yang diterjemahkan, “Sejarah Umat Manusia”. Sejarawan kenamaan asal Inggris tersebut mengatakan bahwa kemajuan kehidupan pada dasarnya akan menghantar pelaku-pelakunya bersifat seperti parasit. Hanya bisa hidup dengan mengerogoti induk/inangnya. Lebih lanjut, kata Toynbee, pada titik ekstriimnya sifat parasitik tadi bahkan sering berubah menjadi predatoris. Memangsa, mengorbankan siapa saja demi mencapai hasratnya.

Ibarat parasit, para politikus dan pejabat negara menggerogoti anggaran yang seharusnya diperuntukkan bagi rakyat tersebut. Mereka hanya mampu hidup dengan korupsi. Alhasil, rakyat pun jadi korban. Anggaran yang seharusnya diperuntukkan bagi kepentingan bersama, untuk membangun prasarana pendidikan, infrastruktur pertanian, dan sarana publik, semua terkuras ke kas-kas koruptor. Dikanalisasi untuk kepentingan individu atau kelompok. Parahnya, sudah korupsi, mereka tak juga berkinerja.

Lebih parah lagi ketika sifat predatorisnya yang berlaku. Tak segan menghabisi orang lain. Seperti mafia (atau memang sudah menjadi mafia), mereka memiliki jaringan yang rapi dan terorganisir. Pada titik ini, pimpinan puncak dalam satu lembaga atau organisasi seharusnya memiliki kecakapan mereduksi praktek-praktek kotor bawahannya.

Tapi apa daya jika ternyata pemimpin yang diharapkan tak bisa berbuat banyak. Kepemimpinan lemah. Tersandera oleh berbagai kepentingan. Atau barangkali memiliki belang yang sama sehingga enggan sama-sama teridentifikasi sebagai pemimpin predatoris.

Maka jangan salahkan rakyat, jika frustasi menyaksikan tontonan yang dilakonkan para pejabat. Ledakan anarkisme, konflik horizontal dan berbagai bentuk letupan-letupan sosial hanyalah efek samping dari kerusakan terstruktur yang mendera bangsa kita. Jika begini, lalu mau apa?

Jusman Dalle
Analis Ekonomi-Politik FE Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar