Rabu, 17 Februari 2010

Perjuangan Kebudayaan Dibawah Neo-Liberalisme

Tejo Priyono
Ketua Jaker & Kabid Budaya PAPERNAS.

Sebelum masuk ke tahap apa yang harus dilakukan dalam perjuangan kebudayaan di alam neoliberalisme ini, pertama, yang harus dipahami adalah kebudayaan tidak bisa lepas dari sistem ekonomi politik yang sedang berkuasa di satu negeri. Keduanya tak bisa terpisahkan. Untuk bisa memahami budaya massa yang terjadi sekarang ini, kita harus masuk dalam sejarah tiga era kepemimpinan politik yang ada di Indonesia.

Era Soekarno

Soekarno menerapkan politik Demokrasi Liberal dalam artian semua ideologi diperbolehkan tumbuh berkembang. Berdirinya banyak partai dan ormas (Pemilu thn 1955 diikuti 100an partai) membuktikan hal itu. Soekarno bahkan mampu memetakan tiga spektrum kekuatan besar di Indonesia, yakni yang disebutnya dengan Nasionalis, Agama dan Komunis (NASAKOM). Tiga kekuatan itulah yang coba disatukan Soekarno dalam sebuah cita-cita menjadikan Indonesia negeri yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan berkepribadian di bidang budaya.

Ekonomi Tertutup yang dianut Soekarno terwujud dengan menolak bantuan dari negeri-negeri kolonialist Barat. Penolakan terhadap intervensi kekuatan asing (dalam hal ini dominasi modal) pernah pula ditegaskan oleh salah satu pimpinan teras Partai Komunis Indonesia (PKI) MH. Lukman pada tahun 1959 dalam artikel berjudul ‘Penanaman Modal Asing Memperkuat Kedudukan Imperialisme di Negeri Kita’. MH. Lukman berkata: “ ….. Kami anti penanaman modal asing karena keyakinan kami bahwa dengan penanaman modal asing atau dengan imperialisme bukan saja tidak bisa memperbaiki tingkat penghidupan rakyat dan mengembangkan ekonomi nasional, tetapi malahan menghancurkan kedua-duanya. Tidak ada kaum imperialis di dunia ini yang menanamkan kapitalnya di manapun juga berdasarkan perikemanusiaan untuk menolong sesama manusia”.

Kita tentu ingat seruan mahsyur Soekarno saat itu: ”Go To Hell With Your Aid..!”

Politik liberal Soekarno justru menjadikan dinamis di lapangan kebudayaan. Lahirnya Surat Kepercayaan Gelanggang (yang ditandatangani di Jakarta tanggal 18 Februari 1950, menyatakan “Revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai”), berlanjut dengan polemik budaya antara Lekra – Manikebu. Selain Lekra (yang lahir pada 17 Agustus 1950) juga terbangun wadah kebudayaan seperti Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) yang didirikan warga Nahdatul Ulama (NU).

Aura politik Soekarno yang anti penjajahan asing saat itu merembes ke kerja-kerja kebudayaan. Misalnya mobilisasi massa untuk ganyang Malaysia (karena konsolidasi Malaysia akan menambah kontrol Inggris di kawasan ini, sehingga jadi ancaman terhadap kemerdekaan Indonesia) dan aksi boikot film-film import oleh Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS) karena dinilai berisi propaganda yang berbahaya bagi kesadaran massa.

Era Soeharto

Politik Otoriter Orde Baru terwujud dalam pemasungan: pembatasan hak‑hak dasar partisipasi rakyat dalam berorganisasi – berpolitik. Itu pun masih ditambah dengan penerapan 5 paket UU Politik (Pemilihan Umum, Susunan dan Kedudukan MPR/DPR, Partai Politik dan Golkar, Referendum dan Organisasi Kemasyarakatan), juga dwi fungsi ABRI (militerIndonesia/TNI memiliki dua tugas, yaitu menjaga keamanan – ketertiban negara serta memegang kekuasaan mengatur negara). Ini semua semakin mengukuhkan kontrol dan dominasi kekuasaan Orde Baru Soeharto kepada rakyat. Hanya ada 3 partai politik (PPP – PDI – Golkar); pembredelan koran, majalah dan pelarangan buku‑buku merupakan ”kebijakan” politik Soeharto atas nama ”stabilitas” keamanan negara.

Soeharto menganut sistem Ekonomi Liberal/liberalisasi ekonomi (terbalik 180 derajat dari era Soekarno) dengan membuka lebar pintu bagi modal-modal luar negeri. Tahun 1967 keluar UU No 1 tentang Penanaman Modal Asing/PMA. PMA bebas dari pajak negara, PMA berkuasa penuh atas sumber daya alam dan sumber daya manusia Indonesia. Koorporasi raksasa macam Freeport, Newmont, ExxonMobil, ConocoPhilips, Chevron, British Petrolium, HalliBurton dan seterusnya silahkan masuk. Pemerintah juga mulai berhutang pada IGGI, IMF, Bank Dunia, Paris Club.

Politik otoriter Soeharto melahirkan budaya bisu di rakyat. Tak ada budaya kritis, tak berani beda pendapat dengan pemerintah karena negara begitu bengis dan tak segan menghantam siapapun yang mencoba tak ikut aturan. Bahkan bisa-bisa, 5 orang berkumpul tanpa seizin keamanan setempat bisa jadi masalah besar.

Liberalisasi ekonomi (yang kemudian diistilahkan pemerintah dengan globalisasi) praktis membawa masuk produk-produk budaya dari peradaban barat ke Indonesia, mengubah budaya masyarakat kita. Yang tadinya hanya mengenal budaya kerakyatan dan sisa-sisa feodal, sejak adanya gelombang neoliberalisme kita pun tahu: diskotik, Coca Cola, MTV, mode/fashion yang bisa membuat penampilan para remaja kita seragam.

Kita tentu masih ingat film Ghost di tahun 1991, trend saat itu adalah seluruh remaja putri kita meniru plek gaya rambut Demi Moore si pemeran utama film tersebut. Atau ikut pencitraan (seperti sang model dalam produk di iklan di TV) bahwa kulit yang baik itu harus putih, rambut yang bagus itu harus lurus, perut yang sehat itu harus rata (dulu orang ingin jadi gemuk seperti Patih Gajah Mada, Tunggul Ametung, Ken Arok, Napoleon Bonaparte, Alfred Hitchcock karena gemuk adalah simbol kemakmuran dan kesuksesan). Maka berbondonglah orang di seluruh negeri membeli kosmetik pemutih kulit, salon diantri orang yang ingin Ribounding (proses pelurusan rambut secara permanen), gymnasium – fitness centre digeruduk guna pelangsingan perut,makanan, minuman, jamu, obat-obatan dan alat-alat (yang menjanjikan penurunan berat badan dan mengencangkah perut dalam waktu singkat) ramai dibeli orang.

Era Reformasi/Neoliberalisme

Era sekarang (yang orang biasa menyebut dengan era reformasi) pemerintahan kita menerapkan liberalisasi politik dan ekonomi.

Organisasi dan partai politik berdiri, kebebasan berpendapat – kebebasan pers dijamin undang undang (walau demokrasi belum sepenuhnya, karena ajaran Marxisme – Leninisme, Ahmaddiyah masih jadi larangan).

Liberalisasi Ekonomi yang merupakan kelanjutan era Soeharto dulu semakin membuat rakus imperialisme mencaplok sumber daya alam negeri kita (minyak, gas, nikel, emas, timah, baja,

bijih besi dst). Mereka terus berpindah – terus ”browsing” ladang-ladang mana lagi yang bisa dieksploitasi. Ladang lama tergerus habis, tersisa tinggal limbah dan lingkungan rusak.

Runtuh – bangkrutnya industri nasional karena memang tidak mampu bersaing dengan korporasi – korporasi asing dalam hal modal juga SDM/penguasaan technologi.

Karena pembangunan ekonomi/cari modalnya dengan ngutang ke IMF, Bank Dunia, Paris Club maka harus bayar ke para lembaga donor internasional tersebut. Ini menyedot banyak APBN negara yang seharusnya digunakan untuk maximum program – program sosial.

Neoliberalisme dalam budaya menjadikan kita terbiasa belanja ke Mall (yang tumbuh subur menggusur pasar-pasar tradisionil yang dulu becek, bau, plus juga melenyapkan interaksi positif antar sesama pembeli/pembeli dengan pedagang). Tidaklah buruk kalau kita ikut budaya maju peradaban barat, mengkonsumsi makanan capat saji di Mc Donald’s, menikmati musik di Hard Rock Cafe, trance bersama DJ favourite, nonton film terbaru produk Hollywood di Mega Blitz, ngopi di Starbucks sambil online atau mendatangi pameran komputer terbesar untuk update informasi terkini dunia technologi komputer – IT dsb. Hanya saja itu belum jadi budaya yang juga bisa dinikmati seluruh rakyat negeri ini. Mahalnya biaya sekolah berpengaruh pada sumber daya manusia Indonesia. Pada akhirnya kita hanya terus mengkonsumsi tanpa mampu mencipta bahkan menandingi produk-produk maju budaya barat.

Neoliberalisme dalam makna globalisasi juga telah menghilangkan batas-batas negara dan bangsa dalam menaikkan berbagai genre kesenian kita ke tingkat dunia. Sepertinya tak ada sekat dalam menilai bentuk-bentuk kesenian yang berkembang.

Inul bisa saja ditolak di sini, tapi di belahan dunia lain justru diminati.Gamelan dan wayang sekarang jadi milik dunia tak hanya Jawa & Bali. Karya Sastra Pram yang berbahasa Indonesia bisa dibaca warga dunia dengan melalui proses penterjemahan ke 41 bahasa asing. Si ’Laskar Pelangi’ Andrea Hirata diantri dan dikejar ratusan orang yang minta tanda tangannya, tidak hanya di Indonesia tapi juga di Malaysia dan Singapura.

Lalu Bagaimana Perjuangan Kebudayaan Di bawah Neoliberalisme?

Lapangan budaya era neoliberalisme sekarang ini memungkinkan kita menggunakan demonstrasi, organisasi, teater, film, vergadering, rapat, kongres, diskusi, selebaran, pamflet sebagai tehnik dan ekspresi dalam berjuang.

Dan suatu perjuangan kebudayaan harus memiliki landasan ideologi, yakni harus punya cita-cita membangun masyarakat sejahtera, modern, berpemerintahan bersih dan pro rakyat/kerakyatan. Akhirnya gerakan kebudayaan bermakna politik. Dalam bentuk kongkritnya, membangun organisasi supaya bisa berbicara seluas-luasnya perihal problem-problem rakyat berikut jalan keluarnya.

Sebagai referensi bolehlah kita belajar dari negeri – negeri yang bisa begitu berdaulat karena berhasil membangun gerakan kebudayaan dan semangat nasionalisme progressif untuk kemajuan

bangsanya.

Spirit Swadesi-nya India

Mereka bangun Bollywood untuk melawan dominasi Hollywood, mereka buat merk minuman Cola Cola sebagai tandingan Coca Cola. Di awal 2008 ini Tata Motors Ltd. produsen mobil dan kendaraan komersial terbesar di India meluncurkan mobil termurah di dunia dan berseru: “People’s Car”. Cara berpakaian banyak orang India (bahkan oleh warganya yang tinggal di luar India) tidak melulu ikut trend mode eropa – amerika. Selain sebagai budaya identitas juga berkaitan erat dengan industri dalam negeri mereka, hasil produk textile dalam negeri mendahulukan kebutuhan dalam negeri India sebelum diexport. India maju dalam hal IT dan perkembangan teknologi, punya banyak jagoan-jagoan software, sampai super komputer tercepat pun tidak kalah dengan negeri-negeri barat.

Spirit Kamikaze-nya Jepang

Siapa sangka negeri sekecil Jepang yang miskin sumber daya alamnya justru mampu menjajah Indonesia (bahkan dunia) yang super besar ini. Industri otomotif mereka begitu digdaya, mobil-mobil buatan Jepang mengisi garasi-garasi rumah rakyat, dan kalau jalan-jalan protokol di seluruh negeri ini sedang macet, dapat dipastikan 100 % kendaraan yang sedang memenuhi jalanan itu pasti produksi Jepang. Icon-icon kebudayaan mereka macam komik Manga, Harajuku Style – J Rock/Japanese Rock mendominasi dunia. Jepang juga mampu mengembangkan tehnik bertani modern/tehnik bertani hidrolik, membangun lahan pertanian secara indoor bahkan di lantai atas sebuah gedung pencakar langit.

Spirit kemandirian China

Kebijakan tegas politik pemerintahan China (kasus Tiananmen, Falun Gong, konflik dengan Taiwan dan Tibet) di satu sisi memang menuai banyak kecaman, tapi sisi lainnya China berhasil dalam menjaga keutuhan dan kemajuan negerinya. Kebijakan tegas lain adalah hukuman berat (potong jari dsb) bagi pelaku korupsi, bahkan berlaku sampai ke keluarga inti; si ayah korupsi, ibu dan anak juga terkena hukuman. Pemerintah China (lewatDepartemen Keamanan Publik dan Departemen Publikasi Komite Sentral Partai Komunis China) juga memerangi pornografi yang dikongkritkan dengan penutupan ribuan situs porno. Alasannya tentu bukan karena pemerintah takut terhadap kaum oposan berpropaganda menyerang pemerintah lewat internet, atau bersiap jadi tuan rumah olimpiade 2008, tapi China memproteksi rakyatnya agar tidak jadi “sumber nafkah” bagi situs-situs porno yang banyak datang dari luar China. Dengan jumlah penduduk terbesar di dunia dan ada sekitar 210 juta orang yang aktif mengunakan internet tentunya akan jadi pasar menggiurkan bagi bisnis situs porno mencari pelanggan. Kungfu China yang tak pernah mati, terus bermetamorfosis, menerobos Hollywood, improvisasi cerita tanpa membuang identitas budaya asal. Kungfu China mengalahkan legenda Highlander dari Scotland.

Lalu kita sendiri harus gimana..?

Kita sudah menyimpulkan bahwa Indonesia sekarang adalah negeri yang terjajah oleh imperialisme modern. Kongkritnya dengan dikuasainya kekayaan energi dan tambang kita oleh koorporasi-koorporasi asing, juga kewajiban bayar utang luar negeri adalah bentuk penjajahan yang lain.

Untuk bisa maju menjadi negeri-negeri hebat seperti diulas di atas maka kita harus kembali ke semangat Soekarno. Semangat yang dalam istilah pimpinan politik kita waktu itu sebagai TRISAKTI; menjadikan Indonesia Mandiri secara ekonomi, Berdaulat secara politik dan berkepribadian di bidang Budaya.

Sekaranglah keharusan kita membangun gerakan Pembebasan Nasional; lewat demonstrasi, lewat organisasi, dengan teater, film, seni musik, seni sastra, vergadering, rapat, kongres, diskusi, selebaran, pamflet, internet dan berseru: ”Hapus Hutang Luar Negeri, Nasionalisasi Industri Tambang Asing, Bangun Pabrik (Industri) Nasional untuk Kesejahteraan Rakyat.

Meluaskan gerakan pembebasan nasional, menjadikannya budaya bahkan kesadaran luas di rakyat,itulah tugas para pekerja budaya sekarang ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Tulis Komentar Anda