Minggu, 23 Oktober 2011

Empat Permasalahan Pemicu Gejolak Papua

Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin menyebut ada empat permasalahan mendasar yang memicu gejolak di Papua. Menurutnya, gejolak itu telah diprediksi sejak beberapa tahun lalu, namun pemerintah terkesan abai menanganinya.

"Ada empat permasalahan mendasar di Papua," kata Hasauddin di Jakarta, Minggu (22/10/2011) malam. Pertama, masih adanya perbedaan persepsi masalah integrasi Papua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Menurut dia, pemerintah menganggap masalah Papua telah final sejak Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969.

Kedua, adanya marjinalisasi terhadap penduduk asli Papua. Sayangnya, Hasanuddin tidak merinci bentuk marjinalisasi tersebut. Ketiga, masih adanya pelanggaran HAM yang terus terjadi kendati memasuki era reformasi.

Keempat, masalah otonomi khusus (Otsus) yang dianggap masyarakat Papua tak jalan. Hasanuddin berpendapat semua masalah tersebut tercermin dalam kehidupan sehari-hari.

"Sementara itu pemerintah pusat lamban menanganinya bahkan cenderung menyalahkan pemerintah daerah," ujar politisi PDI Perjuangan itu.
Anggota Komisi I DPR Max Sopacua menilai munculnya Kongres Rakyat Papua III yang berlangsung di Padang Bulan, Abepura, Jayapura beberapa hari lalu, akibat kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah setempat.

Dari kunjungan kerja Komisi I ke Papua, kata Max, diperoleh fakta perlunya sistem kerja terpadu antara gubernur, bupati, wali kota serta kepala suku untuk mensosialisasikan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

"Sistem informasi atau sosialisasi mengenai Indonesia, itu harus merata dilakukan semua pihak di sana," ujar Max di Gedung DPR Jakarta, Jumat (21/10/2011).

Menurut politikus Partai Demokrat ini, sosialisasi tidak hanya dibebankan kepada pemerintah pusat melainkan pemerintah daerah setempat. Hal itu karena persoalan kultur yang berbeda.

"Persoalannya adalah masalah kultur. Ketika kita bicara mengenai kultur, harus ada sinergi dengan orang daerah. Tidak bisa orang pusat melakukan semua sosialisasi yang tidak mengerti masalah kultur di sana," paparnya.

Jika hal itu dilakukan pemerintah tidak perlu meragukan tingkat kesetiaan masyarakat Papua terhadap NKRI. Max menambahkan, saat terjadi Kongres Rakyat Papua III kemarin, ada kelompok yang tidak setuju antara lain, Operasi Papua Merdeka (OPM), Gerakan Merah Putih, dan Gerakan Mahasiswa Indonesia Papua.

"Karena mereka tetap berprinsip bahwa Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1999 sudah final. Jadi, Papua merupakan bagian integral NKRI," tandasnya. Selain kurangnya sosialisasi, masalah ekonomi juga dinilai menjadi pemicu munculnya gerakan separatis di Papua.

"Masalah ekonomi pembagian lahan yang menyangkut hak hidup. Di sana ada Freeport yang sebagian besar dilihat masyarakat tidak mencerminkan keberadaan lahan hasil bangsa dan negara untuk rakyat. Itu perlu kita sadari sejak awal," ucapnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Tulis Komentar Anda