Minggu, 05 Juni 2011

Perdana Menteri Malaysia, Keturunan Bugis Makassar

“Buka sepatu atau tidak, ya?” Begitu Syahrul Yasin Limpo bertanya kepada kolega dan staf protokoler Pemprov Sulsel di tangga rumah pribadi Perdana Menteri Malaysia, Datuk Mohd Najib, di pinggiran kota Kuala Lumpur, Sabtu (4/6) petang.

Di tangga rumah terlihat beberapa sepatu. Itu pertanda tamu yang masuk harus membuka sepatu. “Tidak usah mi (buka sepatu), Pak,” terdengar suara staf protokel.

Syahrul tampak bingung. Pejabat muspida yang menyertainya pun juga tak bisa memberikan jawaban. Syahrul memutuskan: buka sepatu, ah!

Sepatu warna hitam dibuka. Yang terlihat adalah kaos kaki warna gelap yang tampak kotor di bagian bawahnya. Syahrul, yang melakukan kunjungan ke Singapura dan Kuala Lumpur sejak 1 Juni lalu, kelihatannya tidak sempat mengganti kaos kaki.

Setelah Gubernur Sulsel itu mencopot sepatunya, pejabat muspida lainnya –yang kompak mengenakan batik-- pun ikut: Pangdam VII Wirabuana Mayjen Amril Amir, Kapolda Sulsel Irjen Johny Waenal Usman, Pangkoopsau Marsekal Muda (Marsda) TNI R Agus Munandar, Danlantamal Brigjen TNI Marinir Chaidier Patonnory, dan Ketua Pengadilan Tinggi Sulsel Muhammad Ramli.

Semua mengenakan kaos kaki. Saya, satu-satunya wartawan yang ikut ke kediaman PM Najib, agak kikuk. Kemudian tersadar, saya tidak memakai kaos kaki. Hmm!

Untunglah Syahrul membuka sepatu. Di ruang tamu rumah, Najib –yang mengenakan pakaian tradisional Malaysia lengkap dengan lilitan sarung di pinggang—ternyata tidak memakai sepatu. Kakinya dibungkus kaos kaki warna hitam. Bayangkanlah kalau rombongan pejabat itu tidak mencopot sepatunya di tangga rumah!

***

Kediaman pribadi Nadjib di Jl Taman Duta dicapai sekitar 40 menit dengan mobil dari Hotel JW Marriot, dekat Menara Petronas, pusat kota Kuala Lumpur.

Dari jalan besar, mobil bus Mitsubishi tua warna putih yang mengantar Syahrul dan rombongan memasuki sebuah gang, yang hanya cukup berpapasan dua mobil. Di sebuah bukit, tampak rumah dua lantai. Ramai motor patroli pengawal di halaman rumah.

Untuk ukuran perdana menteri, rumah itu sangat sederhana. Pergilah ke Kompleks Azalea, Panakkukang Mas, Makassar, dan Anda akan menemukan banyak rumah yang jauh lebih megah dan mewah.

Tamu yang masuk melewati satu pos di samping pintu pagar warna putih. Setelah itu, naik ke tangga, dan langsung masuk ke ruang tamu. Di sanalah Najib dan Datin Rose, istrinya yang keturunan Bukit Tinggi, Sumatera Barat, menunggu.

Ruang tamunya kira-kira berukuran 8x12 meter. Ada satu set kursi tamu utama dan tiga set kursi di belakangnya untuk para staf.

Dinding ruang tamu dihiasi sejumlah gambar bunga dan foto keluarga. Terlihat foto Tun Abdul Razak, ayah Najib yang keturunan Bugis-Makassar, terpampang di dinding. Mengenakan kopiah dan nampak berwibawa. Tubuhnya terlihat lebih kecil dari Najib yang tinggi besar.

Pertemuan berlangsung dalam suasana santai. Najib berbicara jauh dari kesan formil, beberapa kali tertawa dan tersenyum.

“Bagaimana kabar di sana (Makassar)?” ia memulai pembicaraan. Cerita-cerita ringan mengalir, disertai diskusi beberapa isu seperti impor beras dan sapi asal Sulsel, penerbangan Makassar-Kuala Lumpur, dan kerja sama riset Malaysia-Universitas Hasanuddin (Unhas).

Najib bercerita, tiga pekan lalu ia ke Jakarta dan bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). “Pertemuan dengan Es Be Way (SBY) berlangsung hangat. Kepada beliau saya bilang, saya orang Bugis-Makassar,” kata Nadjib sambil tertawa.

***

Setelah menerima pejabat Sulsel di ruang tamu, Datuk Najib mengajak tamunya ke meja makan. Di sana, antara lain, tersaji rujak, putu, gogos, dan koci-koci.

“Pak Najib hebat,” komentar Mayjen Amril Amir. “Beliau menyajikan makanan ke piring semua tamunya, barulah beliau mengambil untuk dirinya sendiri.”

“Kalau kita, wah, kita ambil semua yang enak-enak dulu, baru anak buah,” kelakar Kapolda Johny Waenal Usman.

Sambil makan, Datuk Najib bercerita mengenai filosofi “tiga ujung” di kalangan Bugis-Makassar. Ini model “diplomasi” yang mengedepankan pendekatan “ujung lidah”, “ujung badik”, dan “ujung kemaluan”.

Di mana saja orang Bugis-Makassar merantau, pedekatan “ujung lidah” pertama-tama dikedepankan. Kalau bicara tidak menpan, coba pendekatan perkawinan (ujung kemaluan). Kalau pun tetap tidak bisa, ya sudah, badik yang bicara.

“Datuk Najib tampak sangat memahami budaya Bugis-Makassar,” komentar Syahrul.

Ketika pejabat muspida dijamu makan, seorang anak muda berpakaian putih menghampiri staf gubernur. Ia menawarkan minum.

“Mau kopi sabah, teh, atau air suam,” anak muda itu, Dino Akbar, menawarkan. Pembantu di kediaman pribadi PM Najib itu berasal dari Pangkalan Brandan, Sumatera Utara, yang dekat dengan perbatasan Aceh.

Untunglah tidak pesan air suam. Sebab air suam ternyata hanya air putih. Kopi Sabah, yang disajikan dengan gula batu, lumayan enak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Tulis Komentar Anda