Rabu, 26 Januari 2011

Pers Perjuangan Ke Globalisasi ; Jelang Masuknya Modal Asing ke Industri Pers

Berbicara mengenai kehidupan pers, tidak dapat terlepas dari konteks masa (lingkungan, kondisi, dsb) kehadirannya. Menilik sejarah, kehidupan pers pada masa kolonial dapat dibedakan menjadi 3; pers kolonial, pers komersial (umumnya dikelola oleh etnis Cina pada saat itu) dan pers perjuangan. Pers perjuangan atau disebut sebagai pers nasional, lahir dengan etos perjuangan dan motivasi ide politik. Ia merupakan bagian dari institusi politik dan bagian organik dari suatu dinamika sosial, yang pada saat itu bersifat opponen (bertentangan) dengan sistem kolonial. Sifat oponen dari pers perjuangan turut membangun etos jurnalisme yang khas.

Kehadiran pers perjuangan yang ditempatkan sebagai alat politik membawa konsekuensi jurnalis dan aktivitas politik dalam dua sisi dari mata koin yang sama. Etos sendiri merupakan sebuah idealisme kehidupan, yang pasti dapat berbeda dengan dinamika kenyataan empiris. Tentunya dengan demikian format pers nasional pada saat ini akan berbeda dengan format pers nasional pada zaman kolonial meskipun keduanya boleh bertalian dengan etos pers perjuangan. Perkembangan teknologi, informasi dan kehidupan sosial yang kian industrial turut berperab dalam mengubah sosok pers.

Pers perjuangan dapat lahir dengan berbagai cara dan fungsi, namun setiap pers akan menjalankan fungsi imperatif sesuai dengan ekspektasi pihak penguasa pers atau ‘tuan’nya. Misalnya pers yang lahir sebagai institusi dalam kehidupan masyarakat, yang berfungsi merefleksikan kehidupan masyarakat, atau pers yang lahir untuk menyampaikan ideologi tertentu. Ideologi dapat berkonteks pada cita-cita luhur kerakyatan atau bahkan berorientasi pada kekuasaan ekonomi dan politis kaum elit. Hal inilah mungkin yang menjadi salah satu faktor pemicu kontroversi berkaitan dengan peraturan pemerintah mengenai modal asing di perusahaan media, selain azas ekonomi kerakyatan dan nasib modal domestik yang dijadikan alasan. Peraturan Pemerintah (PP) No. 20/1994 yang mencantumkan bahwa media massa dapat dimasuki oleh penanam modal asing bertolak dengan Undang-undang Pers, yang mencatumkan bahwa seluruh modal perusahaan pers harus seluruhnya modal nasional dan pendiri serta pengurus harus seluruhnya Warga Negara Indonesia.

Sedangkan pengelolaan perusahaan media pun membutuhkan modal yang tidak sedikit. Namun terlepas dari kontroversi yang berlangsung, dan mencapai konsensus bahwa perusahaan media dapat menerima modal asing dengan persetujuan pemerintah, pembahasan mengenai sejauh mana modal asing/domestik berdampak pada isi pers Indonesia tidak pernah ada. Atau mungkin yang lebih relevan mengenai bagaimana menyikapi modal asing tidak pernah dipertimbangkan. Ashadi Siregar dalam artikelnya, mempertanyakan ada kontroversi PP No.21/1994 bertolak dengan UU Pers, dengan menyampaikan perdebatan bahwa media massa pun membutuhkan banyak modal; ‘siapa yang bisa menjelaskan dengan hukum ekonomi, bahwa media massa menyangkut hajat hidup rakyat banyak?’. Namun penguraian Ashadi Siregar dalam arikel ini tidak sesuai dengan realitas empiris jalur hukum. Permasalahannya, Peraturan Pemerintah yang bertolak dengan Undang-Undang, secara hirarkis hukum PP tidak kuat untuk menggeser UU, sehingga keberadaan PP itu sendiri tetap tidak bisa berlaku karena adanya UU yang sudah ditetapkan. Maka kontroversi yang terjadi tidak relevan. Dewasa ini, kompetisi eksistensi pers tidak dapat terelakkan. Banyaknya variasi media pers yang tersedia dipasar mengharuskan pers jeli mencari celah untuk dapat hidup dan merebut pasar. Etos dan mitos-mitos perjuangan tidaklah cukup untuk melahirkan media pers. Hal ini hanya dapat dijadikan acuan pribadi.

Realitas empiris saat ini menuntut ‘modal’ sebagai titik tolak menerbitkan media pers. Formula editorial mix, manajemen dan strategi pemasaran merupakan hal yang essensial dalam menerbitkan media. Politik keredaksian kiankompleks saat ini. Bahkan posisi jurnalis sebagai ‘primadona’ pers dapat ditelan oleh manajemen editorial dan permodalan saat para wartawan tidak dapat menempatkan secara proposional komponen keredaksian sebagai sub-sistem dari sistem keseluruhan. Perkembangan pers yang berkaitan erat dengan dinamika sosial mengharuskan kaum professional jurnalisime untuk senantiasa merumuskan etika dalam perspektif baru, menempa pribadi untuk menempatkan diri dalam panggilan profesinya dalam menghadapi khalayak, pemodal media, kekuasaan ekonomi dan kekuasaan Negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Tulis Komentar Anda