Senin, 06 September 2010

Tradisi Mudik, Ada Spektakuleritas Makna Didalamnya

Tradisi mudik Lebaran dalam masyarakat Indonesia dari tahun ke tahun sangat mengesankan, mencengangkan, sekaligus sangat merepotkan terutama bagi pemerintah dan aparat keamanan. Setiap tahun menjelang Lebaran (Idul Fitri), orang dalam jumlah jutaan manusia seakan ‘digerakkan’ oleh suatu kekuatan luar-biasa dari satu tempat—metropolis—yang dianggap sebagai tempat mancari nafkah ke suatu tempat—kampung halaman lain yang disebut sebagai tempat asal-muasalnya.

Menjelang Lebaran, masyarakat Indonesia bergerak dalam jumlah yang sangat menajubkan sehingga budayawan terkemuka Indonesia, Umar Kayam (1993), pernah mengatakan bahwa mudik Lebaran itu sebagai “menjalani suatu ritus yang tidak jelas apakah itu suatu keajaiban fenomena agama, fenomena sosial, atau fenomena budaya”. Fenomena mudik Lebaran ini nyaris merupakan suatu keajaiban karena agaknya, tidak ada satu ritus lain pun di Indonesia yang dapat menandinginya dalam skala dinamika gerak massa manusia.

Ritus mudik Lebaran ini telah memindahkan massa manusia dalam jutaan orang dari suatu kota ke kota yang lain atau dari suatu kota ke daerah pedesaan (migrasi kota desa)—terutama di Jawa, Bali, dan Sumatera—dalam waktu seminggu atau dua minggu secara ulang-alik. Dalam gerak perpindahan ulang-alik ini, jutaan manusia ambil bagian dalam ritus mudik Lebaran tersebut. Tentu saja jumlah orang yang akan diangkut kendaraan (bus, kereta api, pesawat terbang, dan kapal laut) tidak sebanding sehingga bepergian dalam rangka ritus mudik Lebaran ini merupakan suatu pergulatan atau perjuangan tersendiri.

Menurut perkiraan Departemen Perhubungan, jumlah arus mudik tahun ini (2006) akan mencapai 20,82 juta orang, atau naik 11 persen dibandingkan dengan tahun lalu (2005). Dari jumlah ini, 10 juta orang akan menggunakan angkutan jalan raya, 4,37 juta memanfaatkan kereta api, 2,27 juta memakai angkutan penyeberangan (feri), 1,13 juta dengan kapal laut, dan 2,59 juta akan menumpang pesawat terbang. Tidak mudah mengatur mobilitas orang dalam jumlah demikian banyaknya, terutama pada saat puncak arus mudik Lebaran, yakni pada H-2.

Mudik Lebaran yang telah menjadi sebuah fenomena bagi masyarakat Indonesia ini telah mengerahkan dana yang sangat besar. Orang yang hidup dan bekerja di suatu kota besar akan menggerakkan sejumlah dana yang cukup signifikan ke suatu kota lain—kampung halamannya. Tentu saja, mobilitas finansial ini juga merupakan fenomena tersendiri bagi geliat ekonomi dan roda pembangunan di daerah pedesaan atau di kota lainnya.

Ritus ini telah mengumpulkan keluarga inti yang berserakan di kota-kota besar di Pulau Jawa atau di luar Pulau Jawa, di Bali atau Sumatera, yang tidak sempat reriungan dengan keluarga besar mereka sehingga ritus ini merupakan ritus untuk menegakkan kembali kesetiaan yang terhampar dan menyebar di mana-mana.





Ritus nasional

Ritus mudik Lebaran ini adalah ritus “manajerial nasional” atau proyek nasional yang melibatkan keseriusan pemerintah, lembaga (bisnis) swasta, dan masyarakat itu sendiri. Ritus mudik Lebaran ini melibatkan dana bukan hanya dalam skala keluarga pribadi, melainkan dana negara dan swasta serta fasilitas dan angkatan bersenjata negara. Bukankah ini merupakan ritus nasional karena keterlibatan fasilitas nasional yang harus dikelola?

Di negara industri maju seperti Amerika Serikat (AS) misalnya, yang mempunyai ritus Christmas day dan Thanksgiving day, dimana pada ritus tersebut mereka jadikan sebagai ajang untuk berkumpulnya seluruh keluarga inti mereka. Tetapi, apakah mudik Christmas dan Thanksgiving bagi masyarakat AS sefenomenal atau sekompak “mudik Lebaran” di Indonesia yang melibatkan orang, sumber daya, dan fasilitas negara dalam skala besar?

Dalam peristiwa berikut—Christmas dan Thanksgiving—agaknya presiden dan para menteri di AS tidak terlibat secara langsung, institusi militer mereka tidak dikerahkan untuk mendirikan posko serta disiagakan, perusahaan angkutan umum tidak dikomandoi oleh menteri Perhubungan, atau Kepolisian mereka tidak perlu disiagakan dengan sandi “Operasi Ketupat” atau “Operasi Lilin” seperti di Indonesia. Ritus mudik Christmas dan Thanksgiving merupakan arena berkumpul dalam skala keluarga inti, tidak dalam skala keluaga jaringan.

Apakah ketika negara maju seperti AS tersebut belum menjadi negara industri maju yang terpecah dalam kota-kota dan masih menjadi negara agraris, mudik Christmas dan Thanksgiving mereka seheboh ritus mudik Lebaran? Bisakah ritus mudik Christmas dan Thanksgiving menjadi sebuah fenomena agama, fenomena sosial, atau fenomena budaya? Mungkin bagi masyarakat Indonesia, mudik Lebaran adalah sebuah ritus yang lebih hangat, lebih emosional, dan lebih romantis; meskipun sangat merepotkan. Tetapi, apakah fenomena ritus seperti ini masih dapat dipertahankan dalam waktu yang lama di masa-masa mendatang?



Perubahan total

Bagi kaum agamis yang menitikberatkan pandangannya dari sudut penghayatan agama, berpendapat bahwa kondisi seperti ini dapat dipertahankan apabila akar penghayatan agama dalam masyarakat masih kuat. Para sosiolog mungkin berpendapat sebaliknya, bahwa kondisi tersebut akan berubah bila kita telah berubah menjadi masyarakat kota (metropolitan), dan tidak lagi menjadi masyarakat desa (rural society)—dimana hubungan antara keluarga jaringan dan keluarga inti menjadi semakin renggang.

Bagi kaum determinis budaya, mudik Lebaran adalah fenomena budaya yang paling mendasar dan mentradisi. Apabila kita tidak dapat mempertahakan tradisi ini, maka kita akan kehilangan akar budaya. Bila suatu masyarakat kehilangan akar budayanya, maka masyarakat tersebut akan kehilangan pegangan hidup dan kehilangan segalanya.

Barangkali secara terpisah, setiap sudut pandang tersebut memiliki kekuatan argumentasinya sendiri. Tetapi, ritus mudik Lebaran ini adalah sebuah fenomena ritus yang total. Fenomena ini bukan potret terpisah dari Islam, masyarakat Indonesia, orang Jawa, orang Sumatera, kota atau desa di Indonesia; kereta api atau bus-bus yang penuh sesak, berhimpitan, dan loket-loket penjualan tiket penumpang dengan pemandangan antrian panjang yang membosankan. Kondisi ini mengesankan tiadanya penghargaan atas hakikat manusia dan seolah-olah memperlakukan manusia ibarat binatang ternak (kambing congek) dalam suatu pengangkutan menuju penjagalan atau tempat pemotongan hewan.

Maka, membayangkan suatu perkembangan di masa mendatang dalam konteks fenomena ritus mudik Lebaran, seyogianya membayangkan perubahan ritus tersebut secara total. Membayangkan perubahan tersebut mungkin sebaiknya optimis. Yakni membayangkan suatu tatanan masyarakat berbudaya, dimana toleransi beragama berjalan dengan damai di sebuah negeri yang mengakui pluralisme dan heterogenitas struktural.

Akhirnya, membayangkan suatu perubahan budaya yang mentradisi adalah membayangkan suatu masyarakat yang hidup dalam tatanan yang berkeadilan sosial dan sejahtera. Hidup dalam pemerintahan yang bersih dan jujur, yang senantiasa memperjuangkan kepentingan dan nasib rakyatnya dan tidak mementingkan diri sendiri atau kelompok. Kemudian membayangkan vitalitas budaya bangsanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Tulis Komentar Anda