Kamis, 02 September 2010

Politik Perbatasan ; Malaysia Cerdik Manfaatkan Laut Indonesia

Oleh : Victor PH Nikijuluw

Semporna adalah sebuah kota kecil di pantai timur Sabah, Kalimantan Utara. Berjarak kira-kira 108 kilometer dari Tawau, kota ini dapat dengan mudah dicapai dengan mobil melalui jalan mulus seperti jalan tol. Di Tawau ada lapangan udara yang memudahkan wisatawan mancangera datang ke kota ini, dan, tentu saja ke Semporna. Juga di Tawau, ada banyak orang Indonesia yang hidup dan bekerja. Tersedia kapal feri dari Tawau ke Nunukan. Tetapi di Semporna,, tidak begitu banyak orang Indonesia hidup di sini, kecuali nelayan asal Kalimantan Timur yang sering datang menjual ikan hasil tangkapannya di pelabuhan perikanan di jantung kota itu. Namun, sungguh tidak mudah membedakan antara nelayan Indonesia dan Malaysia di Semporna. Mereka sudah saling membaur.
Apa hebatnya Semporna? Ternyata ini adalah kota tujuan wisata bahari yang cukup bergengsi di Malaysia Timur. Sebagian besar bisnis di Semporna ada kaitannya dengan pariwisata bahari sebagai bisnis inti. Kendati hanya memiliki beberapa hotel berbintang, namun penginapan atau hotel kelas melati cukup banyak tersedia di kota ini. Restoran seafood, money changer, dan travel agent bertebaran di sepanjang jalan kota. Semporna juga memiliki banyak perusahaan yang menawarkan jasa diving, snorkeling, serta wisata eksklusif yaitu berdiam atau menginap di pulau kecil yang terasing atau terpencil letaknya.
Pelancong dunia datang ke Semporna, di antaranya untuk menikmati pulau Sipadan dan Ligitan. Kedua pulau ini, yang dahulu milik Indonesia, sekarang adalah bagian dari teritorial kota Semporna. Kedua pulau ini adalah icon pariwisata Malaysia, mesin utama penggerak ekonomi Semporna.
Sipadan dan Ligitan sudah dipromosi Malaysia sebagai miliknya sejak tahun 1970-an, jauh sebelum Indonesia kalah dalam persidangan perebutan kedua pulau ini di mahkamah internasional. Itulah kepandaian Malaysia yang memanfaatkan ignoransi Indonesia.
Pemberitaan yang luas tentang perebutan atas status pemilikan kedua pulau tersebut ternyata menjadi ajang promosi gratis. Maka wajar, ketika sesudah diputuskan mahkamah internasional sebagai bukan milik Indonesia tetapi Malaysia, pelancong pun antri datang ke kedua pulau kecil ini . Dengan kehendak politik serta keseriusan sektor swastanya, Malaysia kemudian mengelola, mengembangkan dan memanfaatkan kedua pulau ini sebagai tujuan wisata eksklusif yang hanya dapat dinikmati oleh mereka yang berkantong tebal.

Sangalaki
Ternyata bukan Sipadan dan Ligitan saja yang dijual Malaysia melalui promosi sistemik melalui berbagai media komunikasi. Dengan basis di kota Semporna, mereka juga menjual jasa kepada wisatawan asing untuk berkunjung ke pulau-pulau kecil yang dimiliki Indonesia. Sepertinya, kejadian ini tidak dipahami, tidak diketahui, atau bahkan sengaja dibiarkan oleh pihak Indonesia.
Pulau-pulau yang dijual jasanya tersebut adalah Pulau Sangalaki, Pulau Kakaban, Pulau Maratua, dan Kepulauan Derawan yang terletak jauh di selatan Semporna yang merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.
Karena permintaan sektor pariwisata dunia yang terus berkembang serta keterbatasan ruang dan sumberdaya di wilayah Semporna maka Malaysia pun menoleh ke selatan, masuk jauh ke wilayah Indonesia, menjual jasa keindahan luar biasa yang ada di pulau-pulau Indonesia itu. Setiap hari, selalu ada kapal pesiar yang membawa wisatawan mancanegara berkunjung ke pulau-pulau tersebut. Mereka umumnya terbang dari negaranya via Kuala Lumpur atau Singapura kemudian ke Kota Kinibalu, ke Tawau dan melalui darat ke Semporna. Jadi pasti bahwa, wisatawan mancanegara itu tidak tahu tentang kota-kota seperti Jakarta, Balikpapan, Berau, atau Nunukan.
Jasa yang ditawarkan pihak Malaysia ini tentu saja dapat memberi dampak positip bagi perkenomian lokal di Kabupaten Berau. Namun hal ini hanya terjadi bila wisatawan membelanjakan uangnya di pulau-pulau ini. Bila mereka menginap di rumah penduduk maka dampak positip bisa juga dinikmati penduduk. Memang ada beberapa hotel yang berbentuk small island resort di pulau-pulau ini. Entah siapa pemiliknya, pengusaha Indonesia atau Malaysia. Dari harga berbagai paket wisata yang ditawarkan oleh biro perjalanan di Semporna, tampaknya sangat kecil dampak kegiatan pariwisata ini terhadap ekonomi lokal Indonesia.
Di berbagai informasi dalam bentuk brosur, stiker, atau poster yang dibagi-bagikan di Semporna, tidak ada pernyataan atau keterangan bahwa pulau-pulau itu adalah milik atau terletak di wilayah Indonesia. Hanya dikatakan bahwa pulau-pulau tersebut adalah bagian dari Borneo Island. Memang tidak salah informasi tersebut. Sebagian kecil pulau Borneo (Kalimantan) pun adalah milik Malaysia. Tetapi bagi wisatawan asing, mereka mungkin tidak paham dan tidak berpikir, pulau-pulau itu berada di bagian Borneo yang masuk wilayah Indonesia. Jika demikian adanya maka ini adalah suatu kecerdasan Malaysia, sekaligus adalah kebodohan dan ketidaktahuan Indonesia.
Ada satu perusahaan perjalanan di Semporna yang mengoperasikan suatu kapal pesiar mewah dengan menggunakan nama “Celebes”. Kantor pusat perusahaan tersebut terletak di Kota Kinibalu bukan di Celebes (Sulawesi). Ternyata juga tidak ada bisnis perusahaan ini yang berlokasi di pulau Sulawesi. Mungkin perusahaan ini dimiliki oleh orang asal Sulawesi yang kini menjadi warga negara Malaysia dan bermukim di Kota Kinibalu. Mungkin juga karena wilayah bisnis atau operasi kapal pesiar ini adalah di Celebes Sea (laut Sulawesi). Akan tetapi penggunaan kata Celebes ini juga menarik untuk ditafsirkan.
Apakah wisatawan asing masuk ke wilayah pulau-pulau kecil Indonesia itu secara syah? Apakah mereka diwajibkan perusahaan Malaysia untuk memiliki visa Indonesia? Adakah kontrol oleh petugas imigrasi Indonesia di perbatasan, di tengah laut? Tidak ada jawaban pasti. Mungkin saja ada. Mungkin juga tidak.

Kelola Sendiri
Dengan ketidakpastian tentang dampak kegiatan perusahaan-perusahaan Malaysia di pulau-pulau kecil Indonesia ini serta kecenderungan arogansi, agresifitas dan ekspansionis Malaysia memanfaatkan suberdaya alam milik Indonesia maka tidak ada alternatif selain sekarang ini juga pemerintah Indonesia harus menghentikan kegiatan ini.
Di lapangan, aparat harus bertindak tegas, menegakkan hukum nasional dengan visi mempertahankan kedaulatan NKRI. Luka hati karena kekalahan Indonesia atas Sipadan dan Ligitan tidak akan tersembuhkan. Demikian pula, ulah Malaysia di kawasan Ambalat, yang tidak jauh dari pulau-pulau kecil ini, tidak akan terlupakan. Jangan sampai dominasi ekonomi oleh Malaysia di kawasan pulau-pulau kita ini menjadi embrio bagi tumbuhnya dominasi dalam dimensi yang lebih besar dan lebih kompleks di hari kemudian.
Karena itu pemerintah Indonesia harus membuka kesempatan berusaha yang seluas-luasnya bagi pengusaha nasional menanam modalnya di sini. Pemerintah Kalimantan Timur dan Kabupaten Berau patut menyiapkan daerahnya sebagai tujuan dan transit bagi wisatawan mancanegara yang ingin menikmati pulau-pulau kecil ini. Insentif bagi pengusaha lokal harus diberikan. Masyarakat di Berau dan penduduk pulau-pulau kecil ini harus diberdayakan untuk mengembangkan UKM yang ada kaitannya dengan pariwisata bahari sebagai bisnis inti.
Transportasi dan komunikasi yang selalu menjadi kendala tentu saja harus diatasi. Wisatawan mancanegara harus bisa mencapai Berau melalui Jakarta dan Balikpapan, sama mudahnya bila mereka mencapai Semporna melalui Kuala Lumpur dan Kota Kinibalu.
Sementara itu, perbankan patut memberi kredit modal usaha bagi pengusaha lokal untuk memulai dan mengembangkan bisnisnya dalam bidang ini. Dalih bahwa bisnis ini tidak layak didanai perbankan tidak bisa diterima akan sehat. Bila pengusaha dan UKM Malaysia saja bisa meraih dolar melalui bisnisnya dari Semporna, tentu saja bisnis ini akan lebih menguntungkan dilakukan dari Berau. Bila pengusaha Malaysia mampu, tentu saja pengusaha Indonesia tidak kalah kualitasnya. Tinggal bagaimana Indonesia mau sungguh-sungguh memanfaatkan peluang bisnis yang terbuka ini. Apakah Indonesia melihat keberadaan pulau-pulau kecil ini, tidak saja sebagai suatu peluang ekonomi tetapi juga sebagai kepentingan dan kedaulatan NKRI yang harus dilindungi.
Hari ini juga, Indonesia harus berbuat sesuatu. Ignoransi akan hal ini adalah bom waktu yang berpotensi menggoyangkan martabat dan kedaulatan NKRI. Karena dengan kecerdikannya, Malaysia akan terus memanfaatkan kelalaian dan kealpaan Indonesia . Ini tidak boleh terus terjadi.

Penulis adalah Resource Economist Alumni Lemhannas KSA-16, Tahun 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Tulis Komentar Anda