Jumat, 03 September 2010

Diskusi Karebosi sebagai Meeting Point Berlangsung Brutal

Revitalisasi Karebosi sudah lama menjadi pro-kontra. Perlu ada solusi. Tetapi mesti dicari dengan cara-cara intelek. Bukan mengedepankan emosi.
Makassar Selasa, 31 Agustus lalu, suhu di ruang redaksi Fajar cukup sejuk. Pendingin ruangan di semua sisi berfungsi dengan baik. Di panggung kecil berlapiskan karpet cokelat, empat orang duduk mengitari sebuah meja bundar.

Abdul Razak Djalle, Binsar Samosir, Abdul Mutthalib, dan Ilham Arief Sirajuddin bersandar di sofa. Mereka jadi pembicara pada diskusi publik bertajuk Karebosi sebagai Meeting Point. Wakil Pemimpin Redaksi Fajar, Muhammad Yusuf AR, menjadi moderator.

Ilham dapat kesempatan pertama. Wali kota Makassar itu membawa dokumen yang tebalnya kira-kira 10 sentimeter. Ditaruh di meja. "Dulu Karebosi itu banjir kalau musim hujan, berdebu saat kemarau," katanya. Alasan itulah yang menurut Ilham menjadi awal munculnya ide revitalisasi Karebosi. Sayembara pun digelar. Melibatkan banyak orang dari beragam latar belakang. Pria 44 tahun itu pun menjamin tidak ada yang keluar dari konsep awal revitalisasi.

Ilham yang kemarin memakai setelan jas dan berpeci hitam pun mengklaim, kini Karebosi makin nyaman. Orang-orang bisa berolahraga dengan bebas. "Saya heran kalau ada yang bilang sulit masuk lapangan Karebosi," akunya. Wali kota juga menyebut, tender revitalisasi Karebosi dilakukan terbuka. Diiklankan di koran. Kala itu, katanya, pengumuman dilakukan dua kali. Tapi hanya PT Tosan Prima Lestari yang mendaftar. Penunjukan langsung pun jadi pilihan.

Forum mulai hangat. Yusuf kemudian mempersilakan Binsar berbicara. Direktur PT Tosan itu memberi statemen singkat. Tidak sampai lima menit. "Kami terlibat di sini karena ada peluang bisnis sekaligus membantu membangun kota Makassar," ucapnya. Soal pembangunan fujasera di atas lapangan Karebosi yang kini jadi pro kontra, Binsar juga punya alibi. Kata dia, fujasera itu baru dikerjakan karena pihak investor terlebih dahulu menyelesaikan terowongan yang menjadi penghubung.

Mutthalib yang Direktur LBH Makassar, duduk di samping Binsar. Dia pakai kemeja putih. Kacamata menempel di batang hidung. "Saya tidak merasa Karebosi sebagai public space lagi. Ada pagar tinggi dan satpam di sana," ujarnya. Mutthalib juga menyebut bahwa Memorandum of Understanding (MoU) antara PT Tosan dan Pemkot Makassar tidak berkekuatan hukum. Hak Pengelolaan Lahan (HPL) belum ada. "Makanya PT Tosan sekarang mendesak agar HPL-nya dikeluarkan," ungkap Mutthalib.

Jebolan Fakultas Hukum UMI pun berharap, Citizen Law Suit yang diajukan LBH tak kalah lagi di Mahkamah Agung. Maklum, pada proses peradilan di dua level pengadilan, LBH dinyatakan kalah. "Pokoknya, Karebosi harus kembali jadi public space." imbuh dia. Ilham buru-buru ambil mikrofon. Dia langsung memberi respons atas pernyataan Mutthalib. "Mudah-mudahan Karebosi tidak kembali seperti dulu. Banjir. Di sana juga sarang maksiat. Nah, sekarang kan sudah bagus," katanya.

Tibalah giliran Razak Djalle. Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sulsel yang terkenal vokal atas komersialisasi Karebosi itu, tetap berdiri pada pendiriannya. "Karebosi bagaikan Palestina yang diobok-obok Israel," tegasnya.

Razak masih bicara. Tetapi dari barisan belakang peserta diskusi mulai terdengar celetukan-celutukan. Mereka meneriaki Razak. Keadaan pun mulai berubah. Sebagian peserta diskusi sudah tidak sabar memberikan pernyataan.

Moderator belum membuka sesi tanya jawab, tapi sudah banyak peserta diskusi yang berdiri. Mengacungkan jari. Jeda iklan Fajar FM membuat suasana sedikit tenang. Calon penanya mendaftar dengan tertib.

Dua penanya pertama, Bobi Patompo (putra mantan wali kota Makassar, Daeng Patompo) dan Asmin Amin (seniman, pengamat sosial budaya) memberikan statemennya tentang penataan Karebosi yang sudah dianggap bagus.

Forum makin hangat. Sampai tibalah giliran seorang lelaki berpakaian funky, Mayzir Yulanwar mengeluarkan pernyataan. Dia mengaku pemimpin redaksi majalahversi.net, sebuah media online. Ada hasil investigasinya.

"Wartawan saya melakukan investigasi. Katanya, Bang Hasan (pemilik PT Tosan, red), sempat curhat bahwa HPL belum dimiliki. Dia juga bilang kalau semua kegiatan di Karebosi harus minta izin ke Pak Wali dan PT Tosan," kata Mayzir.

Sebagian peserta diskusi mulai berdiri. Ada juga yang berteriak meminta Mayzir diam. Tetapi pria yang rumahnya berdekatan dengan rumah jabatan wali kota itu terus bicara. "Kami berharap, Pak Wali tak hanya berorientasi menyelamatkan jabatan."

Keadaan jadi kasip. Seorang pria berkemeja putih yang diketahui bernama Sugali Halim menghampiri Mayzir. Sugali yang dikenal sebagai tangan kanan Ilham itu, meraih paksa mikrofon. "Tidak benar ini. Pernyataannya sudah melenceng," teriak dia.

Beberapa detik setelah Sugali memegang mikrofon, seorang pria juga maju. Dia terlihat menyentuh wajah Mayzir. Lumayan keras. Aksi itulah yang memancing beberapa orang lainnya untuk menyerang Mayzir.

Mayzir terdesak ke sudut ruangan. Tetapi para loyalis Ilham terus mengejar. Suasana makin tak terkendali. Ada yang mengangkat kursi. Keributan terjadi selama beberapa menit di depan seorang wali kota.

Sekelompok mahasiswa yang tidak jelas asal muasalnya pun juga ikut terlibat dalam kericuhan ini. Beberapa di antara mereka terlihat mengangkat kursi dan berteriak secara brutal. Pihak sekuriti mesti bekerja keras mengamankan mereka.

Setelah beberapa saat, kondisi mulai mereda. Para pengacau diusir. Ilham diberi mikrofon. "Saya sangat menyesalkan kejadian ini. Ini kan diskusi. Boleh beda pendapat, tapi jangan main fisik," tegas Ilham sambil berdiri.

Diskusi pun harus terhenti. Suasana memang perlahan reda, tak lagi kondusif. Anggota Kadin Sulsel, Ilham Aliem Bachri yang juga jadi pembicara tapi datang agak terlambat, bahkan belum sempat berbicara di forum.

Ilham masih memegang mikrofon. Dia mengaku sudah lama menanti forum seperti ini. Sebab dia bisa leluasa memberi penjelasan soal revitalisasi Karebosi. Tetapi momen ini dirusak sejumlah oknum. "Lain kali kita diskusi lagi, tapi pesertanya disaring," usul dia.

Sementara itu, Mutthalib sangat menyesalkan insiden ini. Menurut dia, dalam sebuah diskusi, beda pendapat itu biasa. Sangat disayangkan kalau ada yang anarkis. "Kejadian itu sangat memalukan," ujar dia.

Masih menurut Mutthalib, statemen-statemen dalam diskusi itu masih wajar. Semua yang hadir di forum pun adalah komunitas intelek yang berani berdebat. "Bukan berani menyerang, mengeroyok. Peristiwa ini adalah brutalisme," kuncinya. Meski sempat ternoda, diskusi membahas Karebosi sebagai Meeting Point, dengan audiens yang lebih terbatas, akan tetap digelar. Wali Kota Ilham Arief dan Binsar dari PT Tosan, menyatakan siap kembali hadir. "Forum ini bagus sekali. Saya sangat senang. Bahkan forum semacam ini sudah saya nantikan selama tiga tahun. Karena itu, kita rancang lagi diskusi berikutnya," ujar Ilham. Mendengar kesiapan Ilham, Binsar yang berada tak jauh dari Wali Kota, juga menyatakan hal senada. "Saya juga siap hadir lagi," janjinya sebelum meninggalkan Graha Pena.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Tulis Komentar Anda