Minggu, 05 Juli 2009

Mitos Karebosi Dalam Arus Modernisasi

Malam belum larut benar ketika kepanikan terjadi di sebuah pusat perbelanjaan di basement Karebosi beberapa bulan lalu. Tirai hujan yang deras mengguyur Makassar belum pula usai. Bak bencana tsunami, Basement Karebosi yang terbilang belia malam itu terkisruh oleh banjir yang tiba-tiba mengoyak segalanya. Warga pemilik toko terpaku, pasrah oleh amukan air bah yang melahap lantai dasar di Karebosi tanpa dapat berbuat apa-apa.
Polemik bergulir. Karebosi yang terlanjur dikeramatkan oleh sebagian warga dan puak terpandang Makassar menetaskan keyakinan baru bahwa apa yang terjadi atas Karebosi merupakan tuah akibat keagulan segelintir pejabat yang ingin mendapatkan sesuatu dari proyek besar revitalisasi ini.
Menyoal misteri keberadaan Lapangan Karebosi di tengah jantung Kota Makassar, memang senantiasa menguak berbagai kisah: Antara mitos, dan sejarah. Sebagai generasi yang masih diberi kesempatan hidup di abad 21 ini, polemik menyoal muasal tanah lapang yang terletak di tengah Kota Makassar ini bak menuai tanya tak berjawab. Apakah hanya sekedar tanah kosong atau memiliki makna berunut sejarah baheula yang secara tidak langsung berbaur dengan epos rakyat?
Selama ini tidak ada sejarawan maupun budayawan yang dapat mengartikulasi Karebosi dengan tepat. Saat lahirnya Kota Makassar, lapangan yang merupakan lahan relaksasi warga Makassar ini telah ada dan melegenda dalam mitos yang dimafhumi turun-temurun dalam masyarakat Bugis-Makassar.
Kini setelah Karebosi mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan tetua dan puak Makassar akibat revitalisasi frontalis yang mengubah wajah lahan kosong itu, maka kisah Karebosi meriak dalam beragam versi. Dan untuk itulah Pecinan Terkini berusaha menelusuri lapak masa muasal Karebosi.

Apa Sebenarnya Karebosi?

Memang terasa benar tak ada koaksal kisah yang benar-benar memfondasir keberadaan Karebosoi. Kisah membola dari bibir ke bibir yang pada akhirnya mengubah klasikis menjadi totemis. Dan bukan hal salah bila Karebosi bak api dalam sekam ketika Pemkot Makassar berupaya mengubah wajah Karebosi menjadi sebuah konsep kota modernis.
Mengaitkan kisah Lapangan Karebosi dengan eposis rakyat memang memerlukan ranting berakar kuat. Baburitas cerita memang akan terasa irasional jika tak disikapi dengan bijak.
Syahdan, awal Karebosi tak terpisahkan dari lahirnya Kota Makassar. Pada zaman pendudukan Belanda (VOC), Makassar bernama Jumpandang. Nama ini merupakan pemberian kolonialisme yang diambil dari harafiah ‘ujung pandangan’ atau ‘batas penglihatan’. Pemberian nama tersebut bukan tanpa sebab. Sewaktu hendak menginvasi Makassar kuno, pihak VOC terbentur kendala dalam spionasis atau pengintaian. Tersebutlah Karebosi yang merupakan hutan nenas dan pandan, yang notabene merupakan penghalang pengintaian mereka terhadap benteng Gowa yang menjadi prioritas penaklukan
Lalu VOC pun menjalankan siasat licik dengan menggunakan strategi lihai yang tak pernah terpikirkan oleh Kerajaan Gowa, yakni menembakkan meriam-meriam yang berisi amunisi ‘gulden’ atau uang emas Belanda. Penduduk sekitar hutan terhipnotis oleh strategi ‘iming’ dan menebas pohon-pohon lebat yang berada di kawasan ‘Karebosi’ untuk mencari dan mengumpulkan ‘gulden’ yang telah menebar di sana. Alhasil, dalam sekejap hutan-hutan pandan menjadi gundul dan memudahkan Belanda mengintai Kota Jumpandang.
Setelah leluasa mengintai Kota Jumpandang, maka terlihatlah sehamparan sawah yang dilintasi anak sungai yang menyambung ke benteng Fort Roterdam dan kemudian bermuara ke laut di depan benteng. Menurut narasumber yang berinisial Syaf (62), Karebosi dulunya disebut ‘parang lampe’, dalam bahasa Indonesia dapat diartikan ‘lapangan panjang dan lebar’. Saat Lapangan Karebosi di revitalisasi dan diadakan galian untuk pondasi bangunan, air yang berasal dari dalam tanah bukanlah air endapan hujan, melainkan air yang menyambung ke laut.

Karebosi sebagai Pasamuan Para Raja

Menurut Syaf, salah satu penduduk yang memiliki temurun yang pernah bermukim di pinggir Karebosi, kisah muasal Lapangan Karebosi ia peroleh dari kakeknya yang telah meninggal dalam usia 100 tahun lebih. Ia juga mengungkapkan bahwa Karebosi dulunya dijadikan alun-alun pasamuan para raja se-Sulawesi Selatan sebagai tempat berkumpul untuk bermusyawarah dalam mengambil suatu kebijakan maupun keputusan, atau melakukan acara besar tertentu.
Kerajaan Tallo merupakan cikal bakal Makassar disinyalir merupakan kerajaan yang pertama kali di ranah Anging Mammiri, karena kerajaan Tallo-lah yang mengundang kerajaan-kerajaan lainnya untuk berkumpul di alun-alun seperti Somba ri Gowa, Mangkau ri Bone, dan Payungnga di Luwu. Semua kerajaan tersebut juga disinyalir ada hubungan pertalian darah dan persaudaraan dengan Kerajaan Tallo pertama.

Karaeng Bunga Rosina Tallo

Merunut epos masyarakat Makassar, konon dalam Kerajaan Tallo pernah lahir seorang gadis aristokrat dari keturunan Raja Tallo yang sangat cantik, pintar, bijak bertutur, serta santun dan ramah. Gadis tersebut bergelar Karaeng Bunga Rosina Tallo atau Raja Bunga Mawar Tallo.
Berkat kecerdasannya, Karaeng Bunga Rosina Tallo-lah yang senantiasa memimpin musyawarah antarpuak dan raja. Ia sigap dan tanggap terhadap permasalahan rakyat. Keputusannya selalu dilandasi kearifan sehingga ia dikenang sebagai tokoh panutan. Setelah mangkat, namanya terus dikenang. Dan Lapangan Karebosi yang dulunya merupakan alun-alun kerajaan Tallo merupakan singkatan dari namanya, Karaeng Bunga Rosina sebagai aplikasi penghargaan terhadap jasa dan kebijaksanaannya.
Menurut duga Syaf pula, pohon besar yang ada di dalam Lapangang Karebosi, dulunya adalah pohon kecil yang ditanam sebagai tanda tempat dikuburkannya Karaeng Bunga Rosina Tallo. Penanda tersebut menguat sebagai bukti jika menilik penyebab hanya ada satu pohon besar di sana.
“Kalau kita berpikir secara logika, kenapa cuma satu pohon besar yang tumbuh di sana? Kenapa tidak dua atau tiga dan seterusnya selayaknya sebuah taman?” ungkap Syaf diplomatis.
Senada dengan pengungkapan Syaf, saat ini juga sering didapati kuburan dimana kuburan tersebut sengaja ditanami pohon pelindung oleh keluarga yang ditinggalkan. Jadi benarlah adanya jika Karebosi merupakan singkatan dari Karaeng Bunga Rosina Tallo.
Seiring perjalanan waktu, kemungkinan kuburan Karaeng Bunga Rosina Tallo telah sirna karena rusak oleh pertumbuhan pohon tersebut dari abad ke abad.

Revitalisasi Karebosi

Melihat pengembangan Karebosi yang melalui proyek revitalisasi oleh Pemerintah Kota Makassar di bawah kepemimpinan Ilham Arief Sirajuddin, maka Karebosi pun berubah bentuk ke wajah baru dengan format sentra bisnis metropolitan.
Namun demikian, polemik bergulir di antara mitos dan sejarah. Pembangunan yang terasa terburu-buru, yang baur bersama hakam masyarakat tentang ‘keramat’ Karebosi telah menetaskan sebuah kesimpulan baru. Bahwa banjir akibat jebolnya tanggul gedung bawah tanah di pusat niaga Karebosi akibat tuah cuai ‘pelanggaran’ orang-orang yang berpihak pada salah satu mega proyek Pemkot Makassar.
Kisruh yang mencuat dalam kontradiksi Karebosi tersebut, dirasionalisasi akibat lemah dan belum kuatnya pondasi tanggul menahan beban endapan air hujan. Menurut Syaf, penyebabnya tak lain lantaran di kedalaman Karebosi sebenarnya merupakan bekas arus sungai dan terowongan air, yang pada zaman dulu dilalui kapal-kapal kecil maupun perahu sebagai transportasi air menuju Ford Rotterdam yang bermuara ke laut. Itulah sebabnya di samping Poldair (Polisi Perairan Makassar) terdapat sejenis bekas kanal yang terputus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Tulis Komentar Anda