Selasa, 23 Agustus 2011

Dilema Kebebasan Berbicara di Belanda

"Tofik membuka lahan persemaian baru bagi tindak kekerasan terhadap Geert Wilders. Musnahkan hama Maroko tersebut!"

Demikian bunyi tweet dari seorang aktivis anonim, dengan menggunakan nama samaran 'Stop Left' atau Hentikan Kiri. Makian tersebut merupakan tanggapan atas seruan Tofik Dibi, anggota parlemen dari partai Kiri Hijau (GroenLinks), untuk menggelar debat di parlemen mengenai dampak serangan teror di Norwegia bulan lalu.

Pelaku serangan teror, Anders Behring Breivik, menyatakan bahwa politikus Belanda Geert Wilders, adalah salah seorang tokoh yang menjadi sumber inspirasi baginya. Tofik Dibi membuat laporan pengaduan, Stop Left telah mengajak orang melakukan tindak kekerasan terhadap dirinya.

Batasan

Radio Nederland, akhir pekan lalu melaporkan, ancaman melalui jejaring sosial Twitter seperti itu menggambarkan betapa panasnya suasana debat mengenai hak kebebasan berbicara, menyusul serangan teror di Norwegia tersebut. Kebebasan mengajukan pendapat dianggap sebagai salah satu pilar penting demokrasi modern.

Namun, sebagaimana yang terjadi di Norwegia, di Belanda pun orang mulai mempertanyakan keseimbangan antara kekhawatiran atas pernyataan yang bisa mendorong tindak kekerasan dan hak untuk mengemukakan pendapat, termasuk dalam hal-hal yang sangat kontroversial.

Sebenarnya, debat mengenai batas-batas kebebasan berpendapat juga sudah memanas sebelum terjadinya serangan teror di Norwegia. Juni lalu, pengadilan telah membebaskan Geert Wilders dari tuduhan menyebarkan kebencian.

Vonis tersebut mengubah landskap hukum Belanda. Dan membuat, tuntutan hukum dengan tuduhan menyebarkan kebencian, atas dasar perundang-undangan sekarang ini semakin sulit.

Selain itu, Geert Wilders, sebagai pemimpin Partai Untuk Kebebasan, PVV, dan pendukung kabinet minoritas sekarang ini, bahkan ingin menghapus undang-undang yang melarang menyebar kebencian tersebut. Saat ini ia sedang mempersiapkan usul amandemen konstitusi, sebagaimana the US Free Speech First Amendment, yang menjamin hak kekebasan mengemukakan pendapat.

'Istana Kebencian'

Menyusul serangan teror di Norwegia, Geert Wilders tidak berusaha memperlunak ucapan-ucapannya. Ia memang mengecam serangan tersebut dan menilainya sebagai tamparan bagi gerakan anti-Islam. Namun, setelah itu, ia kembali mengulang pernyataan untuk memerangi islamifikasi.

"Kita sudah terlalu banyak menampung imigran dari negeri-negeri Muslim. Sekarang ini, di negeri kita sudah terlalu banyak dibangun istana kebencian. Dan kalau tidak salah, pemimpin Partai Buruh, Job Cohen, menamakan bangunan tersebut mesjid. Dalam berbagai statistik pelaku kejahatan, persentase kaum imigran sangat tinggi. Itu semua, sudah lebih dari cukup," kata Wilders seperti dikutip Radio Nederland.

Geert Wilders memang tidak membuat seruan untuk melakukan tindak kekerasan. Namun, banyak orang mempertanyakan, sejauh mana perannya dalam pembentukan iklim yang mendorong terjadinya tindak kekerasan terhadap kaum muslimin atau imigran.

Karena, selama musim panas ini terjadi dua hantaman telak. Pertama, vonis pengadilan membebaskan Geert Wilders dari segala tuduhan. Walaupun majelis hakim menilai Geert Wilders menggunakan kata-kata sangat kasar dan penuh penghinaan.

Selanjutnya, empat pekan kemudian, Anders Behring Breivik membantai 77 orang di Norwegia. Dalam manifesto yang ia tulis, Anders Breivik memuji-muji Belanda dan merujuk beberapa kali pada Geert Wilders. Dengan demikian, banyak orang mulai berpikir, mungkin kini tiba saatnya untuk meninjau ulang ketentuan mengenai kebebasan mengemukakan pendapat.

Ancaman Pembunuhan

Namun, kekhawatiran akan munculnya tindak kekerasan, tidak hanya datang dari satu sisi. Geert Wilders harus mendapat pengawalan ketat selama 24 jam. Tindakan pengamanan ini diambil menyusul peristiwa pembunuhan atas seorang tokoh lain, yang juga mengangkat topik kebebasan mengemukakan pendapat.

Yaitu, pembunuhan cineas Theo van Gogh pada tahun 2004. Mendiang merupakan salah seorang tokoh publik anti-Islam yang paling lantang berbicara. Ia dibunuh oleh seorang remaja Muslim, yang mengaku melakukan hal tersebut demi agama. Dan pembunuhan Theo van Gogh oleh banyak kalangan dianggap sebagai serangan terhadap azas kebebasan berbicara.

Dan sejak saat itu, Geert Wilders dan mantan anggota parlemen Belanda, Ayaan Hirsi Ali, juga seorang tokoh anti-Iislam, tetap menyuarakan pendapat anti islam mereka. Mempertaruhkan nyawa mereka sendiri.

Sejak kasus pembunuhan Theo van Gogh, Geert Wilders bersama para pengikutnya terus-menerus berusaha memperluas batasan hak kebebasan berbicara. Hal itu antara lain berdampak pada pandangan publik Belanda, yang mulai menganggap kebebasan berbicara sebagai hak azasi paling utama.

Dengan demikian mengorbankan azas kebebasan beragama dan hak kaum minoritas. Dua azas penting lain, yang selama ini juga dinilai sebagai pilar penting bagi tradisi toleran masyarakat Belanda.

Beberapa pekan lagi, kalender kegiatan parlemen tahun mendatang sudah akan mulai digelar kembali. Geert Wilders akan berusaha memperluas batasan hak kebebasan berbicara. Sementara Tofik Dibi dan banyak orang lainnya justru mempersoalkan kebebasan berbicara yang tampaknya sudah tanpa kendali.

Dengan latar belakang peristiwa di Norwegia yang menggantung di udara sebagai awan hitam, debat mengenai hak kebebasan berbicara, tampaknya malah akan menjadi sumber pemecah belah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Tulis Komentar Anda