Minggu, 08 Mei 2011

Desak Moratorium Studi Banding DPR, Telekonferensi Mudah dan Murah

Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat mendesak penerbitan moratorium studi banding ke luar negeri yang dilakukan alat kelengkapan DPR. Moratorium yang dimaksud bukan sekadar menjadwalkan ulang studi banding keluar negeri namun mengevaluasi kembali perlu tidaknya dilakukan studi banding.

"Kalau mau moratorium, bukan moratorium jadwal ulang, tapi menghentikan, bongkar semua pelaksanaan," ujar Direktur Monitoring, Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Ronald Rofiandri dalam jumpa pers di Jakarta, Minggu (8/5/2011). Dalam jumpa pers tersebut hadir pula Peneliti Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch, Abdullah Dahlan dan peneliti Indonesia Budget Centre, Roy Salam.

Ketika LSM tersebut mendesak agar perencanaan studi banding DPR ke luar negeri dievaluasi. DPR, kata Ronald, harus dapat menentukan mana pembahasan Rancangan Undang-undang yang memerlukan studi banding ke luar negeri dan mana yang tidak.

"Ada tidak RUU yang enggak masuk porlegnas (program legislasi nasional) tapi distudibandingkan, atau misalnya RUU yang mendekati babak akhir pembahasan, tidak relevan lagi studi banding," katanya.

Menurut Ronald, evaluasi studi banding bukan hanya soal pangkas-memangkas anggaran. "Tapi dari aspek perencanaan apa iya setiap RUU butuh studi banding?" ujarnya. Anggaran, kata Ronald, hanya merupakan suatu konsekuensi dari perencanaan. "Kalau desain perencanaannya transaparan, otomatis anggaran bisa direm," lanjutnya.

Abdullah menambahkan, selama ini banyak studi banding DPR yang tidak relevan dengan penguatan legislasi. Banyak lokasi studi banding yang tidak tepat dengan RUU yang tengah dibahas. Ia mencontohkan, kunjungan Komisi X DPR ke Afrika Selatan dalam rangka membahasa RUU Kepramukaan.

"Kenapa pilih Afsel? Dia bilang kita ingin belajar kegagalan. Hal aneh, untuk belajar kegagalan alokasi anggarannya besar. Secara sosilogis Afsel juga berbeda dengan Indonesia. Hasilnya RUU tidak ada yang diambil dari hasil studi bandingnya," paparnya.

Ketiga LSM itu juga menyatakan siap beraudiensi dengan pimpinan DPR, BURT, dan Setjen DPR guna menjajaki berbagai kemungkinan perbaikian terutama dalam mengefektifkan Term of Reference (ToR) sebagai media perencanaan studi banding.

Masih ingat cerita Teguh Iskanto, mahasiswa Indonesia di Australia, yang berbagi cerita jalannya dinamika diskusi dengan delegasi Komisi VIII DPR yang melakukan kunjungan kerja ke Australia? Salah satu hal yang dipertanyakan para mahasiswa adalah, mengapa Dewan tak memilih melakukan telekonferensi dengan pihak yang dibutuhkan? Dengan kemajuan teknologi saat ini, cara ini dinilai sangat mungkin dilakukan

"Salah satu kawan saya (pas saat sesi kacau) sempat berteriak, “Kenapa nggak pakai teleconference aja sih Pak?” Pada saat itu, Bapak Karding menjawab, “Wah, itu kan teknisnya terlalu rumit…."," demikian kutipan tulisan Teguh.

Jawaban yang disampaikan Ketua Komisi VIII DPR Abdul Kadir Karding adalah rumit, sehingga DPR tak memilih telekonferensi sebagai salah satu jalan untuk memeroleh informasi yang dibutuhkan dalam penyusunan rancangan undang-undang. Benar kah telekonferensi rumit?

Mudah dan Lebih Murah

Pakar IT Security Ruby Alamsyah mengungkapkan, penyelenggaraan telekonferensi sesungguhnya tidak serumit yang dibayangkan. Dengan kemajuan teknologi dan ketersediaan perangkat saat ini, hal itu sangat mungkin dilakukan tanpa hambatan dan terjamin keamanannya. Pengadaan perangkatnya juga jauh lebih murah, jika dibandingkan dengan biaya kunjungan kerja ke luar negeri DPR yang berangka miliaran rupiah.

"Masyarat biasa saja, seperti kita bisa video conference. Saya setiap saya di luar negeri pakai video conference, anak saya juga bisa menggunakannya. Minimal pakai Skype. Apalagi, di negara maju, pasti mengerti Skype. Tetapi, untuk telekonferensi pejabat negara mungkin akan aman dan nyaman jika tidak menggunakan jalur publik seperti Skype. Ada alternatif lain, dengan jalur privat" ujar Ruby kepada Kompas.com, Jumat (6/5/2011).

Ia memaparkan, teknologi yang tersedia saat ini adalah IP based, dengan menggunakan jalur internet yang lebih aman. "Ada yang namanya VPN atau virtual private network, dibikin khusus. Walaupun menggunakan jalur publik, tapi jalur umum itu dibikin enkripsi sehingga hanya pihak A dan B yang bisa mendengar. Ada teknologinya. Bukan tekbnologi yang enggak mungkin dibeli. Yang penting kedua belah pihak pakai enkripsi yang sama. VPN itu, jalur di dunia maya, dimana jalur publik dijadikan jalur pribadi," katanya.

Namun, untuk membuat jalur menjadi jalur pribadi, tak perlu repot. Menurut Ruby, perangkat video conference sudah built in dengan enkripsi tersebut. "Enggak perlu sesuatu yang teknologi tinggi," ujarnya.

Untuk mengadakan telekonferensi ini juga tak dibutuhkan prasyarat kedua belah pihak harus memiliki perangkat dengan merek atau kecanggihan yang sama. "Yang penting enkripsinya sama," kata Ruby.

Berapa biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan perangkat telekonferensi ini?

"Kalau mau diadakan di setiap ruang komisi, anggarannya paling di bawah 100 juta. Sudah bisa nyala dan bisa dipakai sampai kapan pun. Kalau mau dibikin murni kayak ruangan khusus, di-setting seperti meeting beneran, dengan banyak layar, saya pikir hanya beberapa ratus juta. Disini (Indonesia) ada kok, dijual. Seperti perangkat yang digunakan Presiden Amerika Obama saat menyaksikan operasi terhadap Osama," papar Ruby.

Menurutnya, cara ini sebaiknya dijadikan pertimbangan oleh Dewan. Apalagi, jika data-data yang diperlukan bisa didapatkan tanpa harus melakukan kunjungan langsung. Ia meyakini, model telekonferensi sudah lazim digunakan di negara-negara maju yang kerap menjadi negara tujuan studi banding.

"Mungkin bisa dilakukan evaluasi terhadap kunjungan kerja selama ini. Misalnya, data seperti apa yang dibutuhkan, klasifikasinya apa. Apakah ada data klasifikasi rahasia yang bisa didapatkan kalau melakukan kunker itu. Kalau hanya data umum yang bisa dijangkau dengan teknologi, pasti akan mengurangi ketidakproduktifan kunjungan kerja yang menghabiskan lebih besar uang negara," ujarnya.

Ruby menambahkan, data-data bersifat public services yang lazim diperoleh anggota Dewan dalam studi banding, sesungguhnya juga bisa didapatkan secara online. "Karena, di negara-negara maju biasanya mereka sudah sistem online semua, entah itu perpustakaan atau sistem pelayanan. Saya pikir juga akan lebih cepat mendapatkan datanya. Bisa lewat e-mail juga. Proses komunikasi paling lima menit. Tidak menghabiskan waktu dan hemat waktu rakyat," kata Ruby.

Rekomendasi PPIA

Sementara itu, Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia (PPIA), M Subhan menegaskan, masukan yang disampaikan pihaknya murni untuk memberikan kontribusi untuk meningkatkan efektivitas kerja Komisi VIII DPR RI. "Hal ini adalah bukti kepedulian kami terhadap Komisi VIII DPR RI dalam upaya tulus kami membantu mewujudkan tatanan pemerintahan yang lebih baik di Indonesia lewat organisasi kami di PPIA," kata Subhan, dalam pernyataan persnya kepada Kompas.com.

Dalam evaluasi dan rekomendasinya, PPIA juga memberikan catatan bahwa sejumlah informasi yang didapatkan Dewan dengan melakukan pertemuan tatap muka, sesungguhnya bisa diperoleh melalui situs yang bisa diakses publik. Salah satu contoh, pertemuan Tim Panja Komisi VIII terkait RUU Fakir Miskin Komisi VIII dengan Mr Stephen Kelly, Manager for Aged Care and International Programs, Department of Health and Services, dan Mr Peter Van Vliet, Assistant Secretary Multicultural Affairs Department of Immigration and Citizenship. Proses penyajian informasi yang dilakukan dengan cara paparan yang disampaikan secara verbal oleh penyaji, dengan metode presentasi Power Point, ceramah, maupun tanya jawab dinilai tidak harus dilakukan di Australia.

"Terlebih lagi, sebagaimana tersaji dalam lampiran 3, data yang diungkapkan oleh Mr Stephen Kelly dalam presentasinya, misalnya, dapat ditelusuri dari situs http://www.humanservices.gov.au/customer/ dan dapat dipelajari dengan baik oleh Komisi VIII DPR RI dari Indonesia," demikian evaluasi PPIA.

Dalam rekomendasinya, PPIA juga mengusulkan agar Dewan bisa mempertimbangkan cara yang lebih efektif dan murah, salah satunya dengan mendatangkan narasumber ke Indonesia. Selain itu, "Mengoptimalkan jalur komunikasi dan informasi elektronik yang formal yang dimiliki DPR RI (www.dpr.go.id) dan dapat dengan mudah diakses publik untuk menyampaikan publikasi hasil kunjungan kerja Komisi VIII DPR RI ke Australia," kata Subhan dalam rilis evaluasi dan rekomendasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Tulis Komentar Anda