Kamis, 31 Maret 2011

Munir, Diapresiasi Belanda, Dilupakan Indonesia

Janji pemerintah kota Den Haag, Belanda, kepada Suciwati untuk mengabadikan suaminya, aktivis Hak Asasi Manusia (Alm) Munir menjadi nama Jalan Munir atau Munirstraat di kota tersebut disambut baik rekan-rekan Munir semasa hidupnya di Jakarta.

Bagi mereka, janji itu merupakan satu apresiasi dan pengakuan penting terhadap komitmen dan perjuangan Munir dalam menegakkan HAM di Indonesia. Sesuatu yang ironisnya justru tidak pernah diperolehnya dari pemerintah dimana dia bekerja.

Ketua SETARA Institute Hendardi, salah satu teman dekat Munir, menuturkan bagaimana proses hukum pembunuhan Munir yang tak kunjung tuntas hingga kini. Padahal yang berjanji sudah sekaliber Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan menyebut kasus ini sebagai “the test of our history”.

“Pemberian nama jalan ini apresiasi tapi juga ironis karena datang dari luar negeri. Sementara di dalam negeri, kasusnya tidak diselesaikan bukan semata-mata soal hukum tapi lebih karena politik,” katanya ketika dihubungi di Jakarta, Rabu (30/3/2011).

Munir tewas dalam perjalanan dari Jakarta menuju Belanda pada September 2004 silam. Dia diduga diracun saat berada di pesawat Garuda Indonesia. Hendardi menjelaskan, baik pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla maupun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono takut mengungkap kasus Munir. Karena itu, dia pesimistis apresiasi pemerintah Den Haag akan dijadikan momentum oleh pemerintah untuk kembali melanjutkan pengusutan kasus tersebut.

“Belum ada yang berani membongkar kasus dia secara sungguh-sungguh. Bukan kasus Munir saja tapi juga kasus HAM yang lain. Ini ironi yang menyedihkan,” ujarnya. “Selama pemerintahan SBY, dia sendiri waktu membentuk Tim Pencari Fakta Munir, pernah menjanjikan bahwa negara tidak boleh kalah dengan kekerasan, menjanjikan mengumumkan laporan TPF kepada publik, tapi sampai hari ini juga dibuka pun enggak, enggak pernah diumumkan. Ada keengganan politik menyelesaikan kasus ini.”

Walau begitu, Hendardi berharap, penghargaan pemerintah Den Haag bisa dimanfaatkan publik untuk mendesak lebih kuat agar pemerintah menyelesaikan kasus Munir.

Saat ditanya apakah kebijakan pemerintah kota Den Haag sebagai sindiran kepada pemerintahan Yudhoyono, Hendardi mengatakan sebagai negara demokratis, Belanda pasti tidak memiliki cara pandang politik yang sinis seperti itu.

“Tapi dengan jujur bahwa dia melihat sosok Munir memang pahlawan yang perlu diapresiasi. Kalau merasa tersindir ya selesaikan kasusnya. Dengan apresiasi ini kita malu juga sebenarnya bahwa kasusnya belum selesai,” katanya.

Berdasarkan laporan Aboeprijadi Santoso dari Radio Nederland, Munir merupakan orang Indonesia keempat yang namanya diabadikan menjadi nama jalan di Belanda. Sebelumnya tiga pejuang Indonesia, yaitu Irawan Sujono di Amsterdam, Mohammad Hatta dan Raden Ajeng Kartini di Haarlem, sudah terlebuh dahulu menerima kehormatan itu.

1 komentar:

  1. Terima kasih Anda telah memuat berita tentang penghargaan kepada Munir, dengan korek dan tepat (Tidak semua media demikian). Sekaligus maaf dari pihak saya ada kesalahan: sebenarnya juga ada Sutan Sjahrirstraat di Haarlem. Jadi alm. Munir adalah pejuang Indonesia kelima, bukan keempat, yang menjadi nama jalan di Belanda.

    Wassalam,
    Aboeprijadi Santoso

    BalasHapus

Silakan Tulis Komentar Anda