Kamis, 31 Maret 2011

Memilah Kapitalisme

Lebih dari dua abad sejak terbitnya buku Kekayaan Negara Bangsa karya Adam Smith dan berbarengan dengan runtuhnya Tembok Berlin pada 1989, sistem ekonomi kapitalisme berhasil menggusur semua pesaingnya.

Karena nyaris tanpa pilihan, kita boleh bertanya, apakah sistem ini cocok untuk menyelesaikan berbagai masalah nasional dan global? Banyak pengamat yang ragu, mereka mensinyalir bahwa setelah mengalahkan semua lawannya, kapitalisme bakal berpuas-puas dengan dirinya sendiri. Sikap diri yang menurut Rudolf Hickel (2000) akibat tiadanya “tangan pengatur keadilan dalam kapitalisme”.

Memilah Kapitalisme

Robert Heilbroner, seorang sosialis Jerman, melihat peran oposisi sosialistis di masa depan tidak lagi dalam mengupayakan rancangan perlawanan baru atas kapitalisme, tetapi mengupayakan agar sistem yang “unggul” ini berwajah lebih manusiawi. Satu-satunya “kesempatan perbaikan” yang masih terbuka, menurut Michael Albert, adalah terus mencoba dengan sistem kapitalisme dan berbagai cabangnya seperti individual capitalism negaranegara Anglosaxon (AS dan Inggris) yang saat ini dikenal dengan julukan neoliberal dan social capitalismnegara-negara Eropa daratan.

Dua cabang kapitalisme itu telah memengaruhi perjalanan abad ke-20. Setelah itu, muncul corporative capitalism sebagai cabang kapitalisme ketiga dari Jepang yang pernah dinobatkan sebagai sistem ekonomi abad ke-21 meski tampaknya belakangan mengalami kemunduran. Yang tak terduga adalah kemunculan “kapitalisme” China yang berada di bawah payung sistem komunisme.

Pada masanya, secara simplisistis Reagan dan Thatcher (sebagai personifikasi kapitalisme Anglosaxon) pernah mengungkapkan rumusan pemikiran yang sempat membius warga dua negara tersebut: “Turunkan pajak bagi orang kaya, maka kehidupan orang miskin akan membaik.” Pemikiran kontroversial yang dirumuskan oleh para intelektual kanan dari Hoover Foundation di California ini mungkin bisa berfungsi seandainya orang kaya yang banyak menghemat pajak itu mengiventasikan keuntungannya pada sektor produktif.

Tapi, karena tak seorang pun bisa memaksa mereka, tidak juga negara, kebanyakan uang mereka diinvestasikan pada bisnis spekulasi properti dan beberapa bidang kontraproduktif. Kapitalisme Eropa (daratan) cenderung mengikuti “model Jerman“ yang juga disebut soziale Markwirtschaft yang kurang lebih berarti ekonomi pasar yang sosial. Eropa telah mengembangkan bingkai persyaratan yang disepakati umum tanpa terlalu melemahkan mekanisme pasar, berupa sistem sosial terpadu mulai dari perlindungan kesehatan, pengangguran hingga pengamanan hari tua dan tempat tinggal.

Pajak yang tinggi telah memungkinkan pendanaan pendidikan dan pengajaran serta berbagai infrastruktur dasar. Serikat buruh yang relatif kuat juga telah mewarnai “kapitalisme solider” model Eropa. Konsep Eropa berhasil melahirkan kelompok menengah yang kuat dan membawa kemakmuran bagi mayoritas. Bahkan para pakar ekonomi AS yang menjadi penasihat Presiden Clinton dan Obama melirik kapitalisme model Eropa untuk diterapkan di AS.

Ekspansi agresif kapitalsime Jepang berhasil di pasar internasional. Meskipun demikian, rakyatnya relatif lebih sedikit diberi kesempatan mencicipi kue hasil keuntungan yang berlimpah. Harga barang di Kepulauan Matahari Terbit ini misalnya, akibat kebijakan subsidi pertanian, rata-rata 40% lebih tinggi dibandingkan dengan AS. Mempunyai rumah sendiri di Jepang nyaris tak mungkin akibat spekulasi tanah yang mendapat sokongan negara.

Produktivitas sistem perekonomian Jepang tidak hanya bertumpu pada teknik produksinya yang jenius (Der Spiegel), tetapi terutama berkat pemasok murah dari strata masyarakat terbawah dalam “masyarakat tiga kelas” Jepang. Saat ini, posisi Jepang sebagai kekuatan ekonomi nomor dua dunia mulai digantikan China. Bobot ekonomi negara berpenduduk terbesar di dunia ini berpengaruh signifikan pada konstelasi kekuatan politik global. Kaplinsky melihat China bukan sekadar emerging economies, melainkan Asian drivers of global change (2006).

Memilih Kapitalisme

Bagi Joseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi, fundamentalisme pasar memiliki keterkaitan sangat erat dengan neoliberalisme–– aliran dominan yang menjadi dasar berbagai kebijakan G-8, IMF, dan Bank Dunia. Fundamentalisme pasar sebagai perwujudan neoliberalisme dalam bidang ekonomi yang meminggirkan peran negara sebagai penyeimbang ini gagal memenuhi janjinya.

Tiga contoh berikut memperjelas keterbatasan dari berbagai solusi yang melulu bertumpu pada premis ekonomi pasar. Pertama, asumsi fundamentalisme pasar bahwa pasar uang tidak hanya membantu penggunaan kapital secara optimal, tetapi juga menjamin pertumbuhan dan pengadaan lapangan kerja, ternyata, tidak terbukti. Penyebabnya, pasar modal menjadi pasar spekulatif yang digelembungkan. Kedua, kekuatan pasar tidak mampu mencegah krisis lingkungan global.

Meski harus pula diakui, kegagalan yang sama dialami oleh negara, terutama berkaitan dengan maraknya monopoli dan oligopoli. Ketiga, penelitian Prittchett (1996) membuktikan bahwa dalam proses globalisasi terjadi kesenjangan yang meluas. Pemenangnya adalah negara-negara kaya anggota OECD, termasuk korporasi yang mengeruk kekayaan alam negara berkembang.

Dalam memilih, kita berharap negara berperan sebagai “penjaga” konstitusi dengan mengacu pada Pasal 33 UUD 1945 yang dengan sangat jelas menyebut pemanfaatan sumber daya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam kasus seperti ini, sosial demokrasi yang menawarkan jalan ketiga bisa menjadi opsi dengan mendorong negara untuk berpihak pada kepentingan mayoritas rakyat ketimbang condong kepada segelintir perusahaan yang memakmurkan segelintir penikmat di atas penderitaan mayoritas rakyat.

IVAN A HADAR
Wakil Pemimpin Redaksi
Jurnal Sosial Demokrasi (Indonesia dan Asia),
Anggota Pokja Forum Kawasan Timur Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Tulis Komentar Anda