Jumat, 18 Maret 2011

Cacat Bawaan Sistem Presidensial

Peringatan keras Presiden SBY terhadap partai-partai koalisi yang dianggap menyalahi komitmen, membuat elite Partai Golkar (PG) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), blingsatan. Secara verbal, khususnya di hadapan media massa, baik orang PG maupun PKS menunjukkan diri siap dikeluarkan dari koalisi. Namun secara internal, mereka gerah, dan mulai saling menyalahkan.

Apalagi sejak mengeluarkan pernyataan itu, SBY tidak lagi mengundang elite PG dan PKS untuk membahas masalah dan masa depan koalisi pendukung pemerintahan SBY-Boediono. Sementara, di sisi lain, SBY semakin serius meyakinkan PDIP dan Partai Gerindra untuk masuk dalam koalisi. Partai Gerindra sudah siap sedia, sedang PDIP masih menunggu apa kata Megawati.

Tentu tidak mudah buat SBY untuk mendepak PG dan PKS, selagi tidak mendapatkan kepastian dari PDIP. Sebab jika Partai Gerindra saja yang bergabung, sementara PG dan PKS didepak, secara matematis, posisi koalisi pemerintah di DPR sangat rawan.

Memang, gabungan kursi PD, PPP, PAN, PKB dan Partai Gerindra adalah 283, lebih banyak daripada gabungan kursi PG, PDIP, PKS dan Partai Hanura, yang berjumlah 277. Akan tetapi selisih yang hanya 6 kursi tersebut, menjadikan situasi serba sulit. Beberapa anggota DPR tidak masuk saja, baik karena disengaja atau tidak disengaja, peta politik berubah.

Makanya, bagi SBY menarik PDIP adalah keharusan, jika ingin mendepak PG dan PKS. Pilihan lainnya, jika PDIP tidak mau, PKS dikorbankan karena jumlah kursinya lebih sedikit daripada PG. Tentu saja dengan catatan, PG dan PDIP benar-benar komit terhadap pemerintahan SBY. Namun untuk menjaga komitmen itu, SBY juga harus memberikan konsesi yang tidak sedikit.

Demikianlah, sistem pemerintahan presidensial memiliki kelemahan dalam dirinya. Sistem presidensial memang menjamin masa kerja pemerintahan, karena periodesasi pasti, atu fix system: 4 tahun di Amerika Serikat, 5 tahun di Indonesia dan 6 tahun di Filipina. Ini berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer, yang sewaktu-waktu pemerintahan bisa bubar di tengah jalan.

Sebaliknya, sistem parlementer memiliki kelebihan yang tidak dimiliki sistem presidensial, yakni jaminan efektivitas pemerintahan karena pemerintah atau eksekutif selalu mendapat dukungan penuh parlemen. Sebab, eksekutif dibentuk oleh partai atau koalisi partai mayoritas parlemen.

Tiadanya jaminan dukungan dari parlemen itulah kelemahan utama sekaligus menjadi problem efektivitas pemerintahan presidensial. Sebab, meskipun presiden dipilih langsung, dia tetap tidak bisa membuat kebijakan (dalam bentuk undang-undang) sendirian. Dia harus membuat kebijakan bersama parlemen, dan karenanya dukungan parlemen mutlak dibutuhkan presiden.

Jika tidak, maka pemerintahannya tidak efektif, karena sewaktu-waktu bisa dijegal parlemen. Ini terjadi karena presiden terpilih berasal dari partai berbeda, yang menguasai kursi parlemen. Inilah yang disebut dengan divided government, pemerintahan terpilah karena penguasa eksekutif dan legislatif berasal dari partai yang berbeda.

Karena kelemahan bawaan itu, banyak ahli politik menyimpulkan bahwa sistem multipartai tidak kompatibel dengan sistem presidensial. Sistem ini dianggap cocok dengan sistem dwipartai, seperti halnya di AS. Oleh karenanya mereka menyarankan agar sistem pemilu diubah dari sistem proporsional ke sistem mayoritarian (di sini disebut sistem distrik) agar sistem dwipartai tercipta.

Namun pandangan yang dianut banyak ahli Indonesia itu sesungguhnya meloncat. Sebab, pokok masalahnya bukan dwipartai atau multipartai, melainkan seberapa besar presiden mendapat dukungan parlemen. Presiden AS Barack Obama misalnya, saat ini menghadapi situasi pelik, sebab partainya, Partai Demokrat, tidak lagi menguasai mayoritas DPR, sehingga dia harus bekerja keras meyakinkan kubu Republik setiap kali mau mengambil kebijakan.

Untungnya, Partai Demokrat masih menguasai Senat, sehingga Obama hanya capai berurusan dengan DPR. Hal buruk akan terjadi bila Senat juga dikuasai Partai Republik. Dengan peta politik berbeda, situasi ini pernah terjadi saat pemerintahan Ronald Reagen. Sebagai presiden dari Partai Republik, Reagan harus banyak berkompromi dengan DPR dan Senat yang dikuasai Partai Demokrat dalam pengambilan kebijakan.

Tentu saja sejarah dan struktur politik yang berbeda, menyebabkan perpolitikan "terbelah" di AS itu tidak sampai menimbulkan ontran-ontran seperti di Indonesia. Posisi kelompok bisnis dan masyarakat sipil, suara pemilih dan opini media massa, serta etika politik yang terjaga, membuat para politisi tidak bisa bermain seenaknya, sebagaiman terjadi di sini.

Jadi, menghadapi cacat bawaan sistem presidensial, masalahnya bukan mengubah sistem multipartai menjadi dwipartai melalui pemilu mayoritarian, tetapi bagaimana menciptakan sistem dan format pemilu yang mendorong terjadinya penguasaan mayoritas parlemen oleh presiden terpilih. Ilmu rekayasa sistem pemilu memberikan jawabannya, dan Brasil adalah contohnya.

*) Didik Supriyanto adalah wartawan detikcom.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Tulis Komentar Anda