Rabu, 09 Februari 2011

Kasus SARA atau Kepentingan Memanfaatkan Reviktimisasi?

Masih segar dalam ingatan kita kasus Situbondo, kasus Poso, kasus Ambon yang dipersepsikan mengangkat muatan SARA beberapa tahun silam. Lalu tahun 2010 ada lagi kasus penusukan pendeta di Bekasi dan dilanjutkan dengan awal 2011 dengan kasus pembunuhan jamaah Ahmadiyah di Pandeglang Banten dan pengrusakan tempat ibadah di Temanggung Jawa Tengah.

Tindakan-tindakan yang dilakukan secara sporadis oleh kelompok tertentu yang tercatat dalam sejarah 'Indonesia –negara beragama dan cinta damai' ini sungguh memilukan hati. Kalau kejadian-kejadian seperti itu kita sebut sebuah keisengan, nampaknya kurang tepat.

Lalu bagaimana dengan alasan kondisi ekonomi sebagian masyarakat yang corat-marit, apa iya? Bagaimana dengan negara lain yang belum merasakan kemajuan seperti yang dirasakan di Indonesia?

Secara sepihak pendapat bermunculan mengatakan bahwa semua itu terjadi karena adanya sekelompok orang tertentu yang menghina, menghujat, menghakimi keyakinan lain dan mengumandangkan kebenaran keyakinannya diletakkan di level yang paling tinggi – alias satu-satunya keyakinan yang benar. Namun itupun masih debatable (bisa diperdebatkan)

Nampaknya dibutuhkan kajian yang lebih dalam tentang masalah-masalah sosial yang super sensitif seperti ini. Dimulai dengan berusaha menggunakan kaca mata lain, saya berpendapat masih banyak faktor-faktor yang harusnya dimasukkan menjadi pertimbangan dalam menyusun cetak biru program kerukunan masyarakat (tidak terbatas masalah kerukunan umat beragama) di Indonesia.

Pertama, peran unsur ulama yang menjadi gerbang pengajaran keyakinan menjadi semakin penting dan kritis. Penyampaian dogma yang kabur apalagi berseberangan dengan nilai-nilai kemanusiaan harus mendapat sorotan dari pemerintah, karena ruang syiar/ruang ibadah adalah ruang belajar dan menerima pengajaran dengan segala kepolosan dari setiap diri kita.

Kedua, Kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap lamanya proses dalam menangani banyak kasus yang terjadi. Dalam hal ini proses penanganan kasus-kasus di Indonesia tidak sebanding dengan kesabaran masyarakat Indonesia pada umumnya.

Kita mengenal masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang tidak senang dengan proses pencapaian, tetapi lebih senang dengan proses hasil yang cepat. Dalam sisi lain hal itu pula yang membuat mengapa korupsi terjadi di semua lini dan tersebar dimana-mana, semata-mata keinginan untuk cepat kaya.

Ketiga, masyarakat nampaknya berkurang kepercayaannya terhadap legitimasi dan supremasi (wibawa) pemerintah. Hal ini sangat berbahaya sebab inilah yang menjadikan masyarakat tidak menghargai hukum dan pemerintahnya sendiri.

Akibatnya akan terjadi standar keadilan yang tercipta di masing-masing individu. Berdasarkan itu pula seseorang memprovokasi sekelompok orang bertindak main hakim sendiri terhadap keadilan yang tidak sesuai dengan pikirannya.

Bagi orang-orang semacam ini, masalah SARA adalah ruang yang paling mudah untuk dijadikan sebagai ajang expresi diri membuktikan kebenarannya sendiri. Celakanya orang-orang semacam ini sering mengatas-namakan agama agar proses expresi dirinya berjalan lebih mudah.

Didorong oleh kepentingan lain yang tersembunyi, hasutan atau semacam provokasi membuat kekacauan ternyata sebegitu mudah masuk ke hati sebagian masyarakat Indonesia terutama terhadap manusia-manusia yang tidak ditanamkan nilai-nilai kemanusiaan.

Sebab hanya orang yang mengaku beragama namun kehilangan nilai agamalah yang yang meneriakkan nama Allah sembari dia membunuh dan menghujamkan pisau dan menghilangkan nyawa orang lain.

Secara khusus dari dua kasus (Ahmadiyah dan Temanggung) saat ini kita melihat telah terjadi lagi kasus dimana oknum-oknum tertentu berhasil menghasut dan membuat tirani mayoritas menindas minoritas.

Sementara dalam kedua kasus ini, dapat pula kita saksikan bahwa aparat bertindak reaktif (bukan tindakan preventif yang seharusnya). Kembali lagi reviktimisasi dimana minoritas kembali lagi dikorbankan untuk tujuan-tujuan lain yang ad ada otak para sutradaranya.

Melihat berbagai fenomena ini, supremasi hukum harus lebih ditegakkan lagi lebih serius. Otak berbagai skenario dan para pelaku peristiwa itu harus digulung sesuai dengan hukum yang berlaku dan dilakukan dengan cepat.

Selain itu ketegasan pemerintah (terutama aparat) semakin dituntut jika pemerintah tidak ingin rakyatnya melakukan demokrasi tanpa batas atau kebablasan. Upaya-upaya aparat yang terkesan kuratif dan tidak antisipatif maupun preventif, apalagi pembiaran terhadap kejadian semacam ini bukan lagi saatnya.

Sebab disadari atau tidak, stabilitas dan ketahanan Nasional Indonesia mulai dirongrong dari dalam – oleh masyarakatnya sendiri dari berbagai sisi sehingga kapasitas kita terkuras habis untuk mengurus masalah internal dan tidak mengotimalkan waktu untuk menciptakan kemajuan-kemajuan yang bisa meningkatkan harkat dan martabat bangsa.

Perangkat-perangkat hukum yang mengawalnya sudah cukup banyak untuk digunakan sebagai dasar bertindak lebih tegas. Ayo pemerintahku, kamu BISA menangani sebagian masyarakat yang sedang sakit!

Demikian, semoga bermanfaat. Salam damai bagi Indonesiaku

Lintong
Jl Rejosari IV no 5 Semarang
lintongs@gmail.com
02474088887

*penulis adalah Penulis buku Bread for Friends dan Pengamat nilai-nilai sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Tulis Komentar Anda