Kamis, 26 Agustus 2010

Menjerat Koruptor Dengan Sistem Pembuktian Terbalik

Pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik, khususnya dalam kasus korupsi, telah lama menjadi perdebatan publik. Menurut catatan, perdebatan ini pernah terjadi pada 1971 ketika pemerintah menyusun UU pemberantasan korupsi. Kemudian, gagasan ini senantiasa muncul mengiringi setiap momentum yang terkait dengan pemberantasan korupsi.

Sistem pembuktian terbalik adalah cara jitu untuk “mematikan” pelaku korupsi. Dalam pembuktian terbalik, orang yang dituduh melakukan tindak pidana korupsi yang harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Berbeda dengan pembuktian biasa, di mana jaksa yang harus membuktikan seseorang bersalah atau tidak.

Sistem pembuktian terbalik merupakan gagasan untuk menyikapi hambatan dalam proses pembuktian korupsi. Banyak negara maju yang sukses memberantas korupsi menerapkan sistem ini. Hong Kong misalnya, sukses memberantas korupsi melalui badan antikorupsi Independent Commission Againts Corruption (ICAC). Diceritakan oleh Robert Klitgaard (2001) mengapa dan bagaimana ICAC didirikan dan bagaimana ICAC mencapai sukses dalam membersihkan korupsi khususnya di jajaran kepolisian Hong Kong.

Malaysia juga menerapkan hal serupa. Malaysia mempunyai badan yang khusus memeriksa kekayaan pejabat yang dicurigai korup, yakni Prevention of Corruption Agency atau di Malaysia dikenal dengan Badan Pencegah Resuah. Badan ini berada di bawah raja dan berwenang memeriksa pejabat sampai perdana menteri. Dalam melaksanakan tugasnya, badan ini dilengkapi dengan sistem pembuktian terbalik. Pihak terperiksa harus dapat membuktikan bahwa kekayaannya diperoleh dengan jalan halal (bukan korupsi).

Secara internasional, sistem pembuktian terbalik telah diakui dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Tepatnya diatur dalam Pasal 31 Ayat 8. Sementara di Indonesia, sistem pembuktian terbalik sudah diadopsi dalam UU, yakni dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun, penerapannya masih amat terbatas Keterbatasan itu karena jaksa penuntut umum masih berkewajiban membuktikan tindak pidana yang dilakukan terdakwa, sekalipun terdakwa telah gagal menjelaskan asal kekayaannya.

Sistem pembuktian terbalik sangat erat kaitannya dengan laporan harta kekayaan. Ibarat dua sisi keping mata uang yang saling melengkapi. Laporan harta kekayaan tanpa sistem pembuktian terbalik akan sia-sia. Sistem pembuktian terbalik tanpa adanya laporan harta kekayaan, tidak akan efektif. Dapat dikatakan laporan harta kekayaan merupakan pintu masuk penerapan sistem pembuktian terbalik. Perpaduan kedua hal inilah yang diadopsi beberapa negara maju yang sukses memberantas korupsi.

Saat ini, kita telah mempunyai peraturan yang mewajibkan pejabat negara melaporkan kekayaannya. Berdasarkan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN, setiap pejabat negara harus melaporkan harta kekayaannya. Pasal 13 UU KPK menegaskan bahwa KPK merupakan institusi yang bertugas untuk memeriksa laporan tersebut. Pemeriksaan harta kekayaan pejabat negara dilakukan, sebelum menjabat, selama menjabat, dan setelah menjabat. Yang menjadi persoalan adalah KPK belum bisa membuat tuntutan jika ada pejabat yang harta kekayaannya terindikasi tidak wajar. Itu kelemahan dalam sistem hukum kita. Pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara diakomodasi, tetapi tidak fungsional. Bahkan, terhadap penyelengara negara yang tidak melaporkan harta kekayaan, KPK tidak bisa berbuat apa-apa.

Landasan Hukum

Oleh karena itu, kepada KPK mestinya diberikan landasan hukum lex specialis untuk menerapkan pembuktian terbalik agar KPK dapat menggunakan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) sebagai pintu masuk pengusutan kasus korupsi,
sehingga tidak hanya menjadi komisi penerima dan pengumpul laporan.

Beberapa alternatif mekanisme legislasi dapat ditempuh, yakni melalui amendemen UU Pemberantasan Korupsi, penyusunan RUU Pembuktian Terbalik atau dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Mengingat banyaknya ketidakpuasan terhadap upaya pemberantasan korupsi selama ini ditambah merajalelanya mafia hukum, maka perppu layak dipertimbangkan sebagai salah satu terobosan hukum.

Wacana perppu ini bukan hal baru. Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, perppu pembuktian terbalik pernah akan diterapkan. Tapi, gagal karena Presiden Abdurrahman Wahid dimakzulkan oleh DPR. Pada masa Presiden SBY, KPK pernah meminta perppu. Namun, SBY tidak mewujudkannya. Saat ini, tuntutan perppu kembali muncul seiring maraknya upaya pelemahan KPK dan semakin rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap upaya pemerintah dalam penegakan hukum antikorupsi. Salah satu keunggulan perppu adalah langsung berlaku, sehingga bisa mengiringi kejahatan korupsi yang seakan sudah seperti day-to-day crime.

Perppu bukan hal baru pada masa pemerintahan SBY. Ada beberapa perppu yang telah ditetapkan di bidang ekonomi dan politik (pemilu). Juga perppu yang terkait dengan KPK, yakni Perppu Pelaksana Tugas Sementara Pimpinan KPK yang terkesan sangat mendadak dan dipaksakan. Sehingga tidak ada alasan untuk menolak menetapkan perppu pembuktian terbalik demi memperkuat KPK dan mempercepat pemberantasan korupsi.

Oce Madril
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM,
Kandidat Master of Law and Governance, Nagoya University, Jepang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Tulis Komentar Anda