Sepanjang hidup kita mendengar berbagai macam fakta yang sudah diterima orang banyak sebagai suatu kebenaran. Namun terkadang fakta-fakta tersebut sering tidak benar namun (seperti bahasan kemarin) sering diulang-ulang dalam kebudayaan kita sehingga terasa benar. Daftar ini berisi 7 buah mitos yang dipercaya sebagai suatu fakta.
Bunglon Berubah Warna Untuk Kamuflase
Mitosnya: Bunglon merubah warna kulitnya sama dengan daerah di sekelilingnya sehingga predator tidak akan dapat melihat bunglon itu. Intinya sang bunglon melakukan kamuflase untuk menyelamatkan dirinya.
Faktanya: Bunglon memang bisa merubah warna kulitnya namun hal itu lebih disebabkan karena kondisi emosi si Bunglon. Ketika Bunglon bertemu lawan jenis, ia akan berubah warna menjadi kebiruan. Jika Bunglon sedang agresif ia akan berubah warna menjadi hitam. Tidak ada hubungannya dengan kamuflase.
Kalau Rambut/Kumis Dicukur Akan Tumbuh Kembali Lebih Tebal
Mitosnya: Saat hendak bercukur atau menggunduli rambut kita sering diberitahu orang bahwa bulu kita akan tumbuh jauh lebih tebal setelah dicukur.
Faktanya: Tidak ada bukti ilmiah yang memastikan hal tersebut, hal ini lebih dikarenakan orang-tua menginginkan anaknya klimis dan bersih sehingga agar anak-anak/remaja mau digunting rambut/cukur kumis mereka menasehatkan hal seperti itu, yang akhirnya menjadi mitos yang diterima masyarakat.
Cuaca Dingin Menyebabkan Flu
Mitosnya: Cuaca dingin akan menurunkan daya tahan tubuh sehingga kita mudah terkena flu. Untuk alasan yang sama juga kita menghindari udara dingin ketika sedang musim flu.
Faktanya: Khusus untuk penyakit flu, daya tahan tubuh yang menurun memang menyebabkan tubuh lebih mudah terserang penyakit. Namun cuaca apapun tidak ada korelasinya dengan daya tahan tubuh. Malahan pada cuaca panas bibit penyakit lebih aktif. Banyak orang terserang flu saat cuaca dingin karena orang menjadi sering berkumpul bersama di dalam ruangan yang mempermudah penyebaran penyakit itu.
Tembok China Adalah Satu-satunya Struktur Buatan Manusia Yang Bisa Dilihat Dari Luar Angkasa
Mitosnya: Sangking panjangnya tembok cina, bangunan ini bisa dilihat dari luar angkasa ketika para astronot mengalihkan pandangan mereka ke China.
Faktanya: Pada jarak yang sama tembok China bisa terlihat dari luar angkasa, jalan raya, kota-kota, bandar udara, dan banyak struktur lain juga bisa dilihat dari atas sana. Lihat saja sebuah hasil foto satelit.
Indonesia Dijajah 350 Tahun Oleh Belanda
Mitosnya: Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun mulai dari tahun 1592 sampai 1942 ketika Jepang datang.
Faktanya: Sampai tahun 1900 pun masih banyak daerah di Indonesia yang merdeka. Ingat perang Sisingamangaraja? (1887-1907). Intinya mungkin lebih tepat dikatankan kalau Belanda perlu 300 tahun-an untuk menaklukan seluruh Indonesia. Itupun sebenarnya masih banyak wilayah yang semi-otonom. Belanda menguasai Indonesia dengan bangsanya sendiri.
Maria Magdalena Seorang Pelacur
Mitosnya: Maria Magdalena, seorang murid Yesus merupakan seorang pelacur yang bertobat. Dalam berbagai literatur sering dikatikan menjadi kekasih Yesus, dipolulerkan ke khalayak ramai oleh Dan Brown.
Faktanya: Tidak pernah ada bukti Maria Magdalena itu seorang pelacur, baik dalam Injil, Injil Apokripha maupun catatan sejarah. Bahkan dalam Injil ia hanya disebut dua kali.
Darwin Mengatakan Bahwa Manusia Berevolusi Dari Kera
Mitosnya: Charles Darwin yang menelurkan Teori Evolusi (Inipun masih bisa diperdebatkan apa dia menjiplak atau hasil buah tangannya sendiri), mengatakan bahwa manusia berevolusi dari kera.
Faktanya: Dia tidak pernah mengatakan hal ini. Tidak ada ilmuwan pula yang akan mengatakan hal demikian. Para penolak teori evolusi yang menyebarkan hal ini untuk menjatuhkan pamor Teori Evolusi. Menurut Teori Evolusi manusia tidak berevolusi dari kera namun memiliki nenek moyang yang sama.
Minggu, 19 September 2010
Senin, 06 September 2010
Tradisi Mudik, Ada Spektakuleritas Makna Didalamnya
Tradisi mudik Lebaran dalam masyarakat Indonesia dari tahun ke tahun sangat mengesankan, mencengangkan, sekaligus sangat merepotkan terutama bagi pemerintah dan aparat keamanan. Setiap tahun menjelang Lebaran (Idul Fitri), orang dalam jumlah jutaan manusia seakan ‘digerakkan’ oleh suatu kekuatan luar-biasa dari satu tempat—metropolis—yang dianggap sebagai tempat mancari nafkah ke suatu tempat—kampung halaman lain yang disebut sebagai tempat asal-muasalnya.
Menjelang Lebaran, masyarakat Indonesia bergerak dalam jumlah yang sangat menajubkan sehingga budayawan terkemuka Indonesia, Umar Kayam (1993), pernah mengatakan bahwa mudik Lebaran itu sebagai “menjalani suatu ritus yang tidak jelas apakah itu suatu keajaiban fenomena agama, fenomena sosial, atau fenomena budaya”. Fenomena mudik Lebaran ini nyaris merupakan suatu keajaiban karena agaknya, tidak ada satu ritus lain pun di Indonesia yang dapat menandinginya dalam skala dinamika gerak massa manusia.
Ritus mudik Lebaran ini telah memindahkan massa manusia dalam jutaan orang dari suatu kota ke kota yang lain atau dari suatu kota ke daerah pedesaan (migrasi kota desa)—terutama di Jawa, Bali, dan Sumatera—dalam waktu seminggu atau dua minggu secara ulang-alik. Dalam gerak perpindahan ulang-alik ini, jutaan manusia ambil bagian dalam ritus mudik Lebaran tersebut. Tentu saja jumlah orang yang akan diangkut kendaraan (bus, kereta api, pesawat terbang, dan kapal laut) tidak sebanding sehingga bepergian dalam rangka ritus mudik Lebaran ini merupakan suatu pergulatan atau perjuangan tersendiri.
Menurut perkiraan Departemen Perhubungan, jumlah arus mudik tahun ini (2006) akan mencapai 20,82 juta orang, atau naik 11 persen dibandingkan dengan tahun lalu (2005). Dari jumlah ini, 10 juta orang akan menggunakan angkutan jalan raya, 4,37 juta memanfaatkan kereta api, 2,27 juta memakai angkutan penyeberangan (feri), 1,13 juta dengan kapal laut, dan 2,59 juta akan menumpang pesawat terbang. Tidak mudah mengatur mobilitas orang dalam jumlah demikian banyaknya, terutama pada saat puncak arus mudik Lebaran, yakni pada H-2.
Mudik Lebaran yang telah menjadi sebuah fenomena bagi masyarakat Indonesia ini telah mengerahkan dana yang sangat besar. Orang yang hidup dan bekerja di suatu kota besar akan menggerakkan sejumlah dana yang cukup signifikan ke suatu kota lain—kampung halamannya. Tentu saja, mobilitas finansial ini juga merupakan fenomena tersendiri bagi geliat ekonomi dan roda pembangunan di daerah pedesaan atau di kota lainnya.
Ritus ini telah mengumpulkan keluarga inti yang berserakan di kota-kota besar di Pulau Jawa atau di luar Pulau Jawa, di Bali atau Sumatera, yang tidak sempat reriungan dengan keluarga besar mereka sehingga ritus ini merupakan ritus untuk menegakkan kembali kesetiaan yang terhampar dan menyebar di mana-mana.
Ritus nasional
Ritus mudik Lebaran ini adalah ritus “manajerial nasional” atau proyek nasional yang melibatkan keseriusan pemerintah, lembaga (bisnis) swasta, dan masyarakat itu sendiri. Ritus mudik Lebaran ini melibatkan dana bukan hanya dalam skala keluarga pribadi, melainkan dana negara dan swasta serta fasilitas dan angkatan bersenjata negara. Bukankah ini merupakan ritus nasional karena keterlibatan fasilitas nasional yang harus dikelola?
Di negara industri maju seperti Amerika Serikat (AS) misalnya, yang mempunyai ritus Christmas day dan Thanksgiving day, dimana pada ritus tersebut mereka jadikan sebagai ajang untuk berkumpulnya seluruh keluarga inti mereka. Tetapi, apakah mudik Christmas dan Thanksgiving bagi masyarakat AS sefenomenal atau sekompak “mudik Lebaran” di Indonesia yang melibatkan orang, sumber daya, dan fasilitas negara dalam skala besar?
Dalam peristiwa berikut—Christmas dan Thanksgiving—agaknya presiden dan para menteri di AS tidak terlibat secara langsung, institusi militer mereka tidak dikerahkan untuk mendirikan posko serta disiagakan, perusahaan angkutan umum tidak dikomandoi oleh menteri Perhubungan, atau Kepolisian mereka tidak perlu disiagakan dengan sandi “Operasi Ketupat” atau “Operasi Lilin” seperti di Indonesia. Ritus mudik Christmas dan Thanksgiving merupakan arena berkumpul dalam skala keluarga inti, tidak dalam skala keluaga jaringan.
Apakah ketika negara maju seperti AS tersebut belum menjadi negara industri maju yang terpecah dalam kota-kota dan masih menjadi negara agraris, mudik Christmas dan Thanksgiving mereka seheboh ritus mudik Lebaran? Bisakah ritus mudik Christmas dan Thanksgiving menjadi sebuah fenomena agama, fenomena sosial, atau fenomena budaya? Mungkin bagi masyarakat Indonesia, mudik Lebaran adalah sebuah ritus yang lebih hangat, lebih emosional, dan lebih romantis; meskipun sangat merepotkan. Tetapi, apakah fenomena ritus seperti ini masih dapat dipertahankan dalam waktu yang lama di masa-masa mendatang?
Perubahan total
Bagi kaum agamis yang menitikberatkan pandangannya dari sudut penghayatan agama, berpendapat bahwa kondisi seperti ini dapat dipertahankan apabila akar penghayatan agama dalam masyarakat masih kuat. Para sosiolog mungkin berpendapat sebaliknya, bahwa kondisi tersebut akan berubah bila kita telah berubah menjadi masyarakat kota (metropolitan), dan tidak lagi menjadi masyarakat desa (rural society)—dimana hubungan antara keluarga jaringan dan keluarga inti menjadi semakin renggang.
Bagi kaum determinis budaya, mudik Lebaran adalah fenomena budaya yang paling mendasar dan mentradisi. Apabila kita tidak dapat mempertahakan tradisi ini, maka kita akan kehilangan akar budaya. Bila suatu masyarakat kehilangan akar budayanya, maka masyarakat tersebut akan kehilangan pegangan hidup dan kehilangan segalanya.
Barangkali secara terpisah, setiap sudut pandang tersebut memiliki kekuatan argumentasinya sendiri. Tetapi, ritus mudik Lebaran ini adalah sebuah fenomena ritus yang total. Fenomena ini bukan potret terpisah dari Islam, masyarakat Indonesia, orang Jawa, orang Sumatera, kota atau desa di Indonesia; kereta api atau bus-bus yang penuh sesak, berhimpitan, dan loket-loket penjualan tiket penumpang dengan pemandangan antrian panjang yang membosankan. Kondisi ini mengesankan tiadanya penghargaan atas hakikat manusia dan seolah-olah memperlakukan manusia ibarat binatang ternak (kambing congek) dalam suatu pengangkutan menuju penjagalan atau tempat pemotongan hewan.
Maka, membayangkan suatu perkembangan di masa mendatang dalam konteks fenomena ritus mudik Lebaran, seyogianya membayangkan perubahan ritus tersebut secara total. Membayangkan perubahan tersebut mungkin sebaiknya optimis. Yakni membayangkan suatu tatanan masyarakat berbudaya, dimana toleransi beragama berjalan dengan damai di sebuah negeri yang mengakui pluralisme dan heterogenitas struktural.
Akhirnya, membayangkan suatu perubahan budaya yang mentradisi adalah membayangkan suatu masyarakat yang hidup dalam tatanan yang berkeadilan sosial dan sejahtera. Hidup dalam pemerintahan yang bersih dan jujur, yang senantiasa memperjuangkan kepentingan dan nasib rakyatnya dan tidak mementingkan diri sendiri atau kelompok. Kemudian membayangkan vitalitas budaya bangsanya.
Menjelang Lebaran, masyarakat Indonesia bergerak dalam jumlah yang sangat menajubkan sehingga budayawan terkemuka Indonesia, Umar Kayam (1993), pernah mengatakan bahwa mudik Lebaran itu sebagai “menjalani suatu ritus yang tidak jelas apakah itu suatu keajaiban fenomena agama, fenomena sosial, atau fenomena budaya”. Fenomena mudik Lebaran ini nyaris merupakan suatu keajaiban karena agaknya, tidak ada satu ritus lain pun di Indonesia yang dapat menandinginya dalam skala dinamika gerak massa manusia.
Ritus mudik Lebaran ini telah memindahkan massa manusia dalam jutaan orang dari suatu kota ke kota yang lain atau dari suatu kota ke daerah pedesaan (migrasi kota desa)—terutama di Jawa, Bali, dan Sumatera—dalam waktu seminggu atau dua minggu secara ulang-alik. Dalam gerak perpindahan ulang-alik ini, jutaan manusia ambil bagian dalam ritus mudik Lebaran tersebut. Tentu saja jumlah orang yang akan diangkut kendaraan (bus, kereta api, pesawat terbang, dan kapal laut) tidak sebanding sehingga bepergian dalam rangka ritus mudik Lebaran ini merupakan suatu pergulatan atau perjuangan tersendiri.
Menurut perkiraan Departemen Perhubungan, jumlah arus mudik tahun ini (2006) akan mencapai 20,82 juta orang, atau naik 11 persen dibandingkan dengan tahun lalu (2005). Dari jumlah ini, 10 juta orang akan menggunakan angkutan jalan raya, 4,37 juta memanfaatkan kereta api, 2,27 juta memakai angkutan penyeberangan (feri), 1,13 juta dengan kapal laut, dan 2,59 juta akan menumpang pesawat terbang. Tidak mudah mengatur mobilitas orang dalam jumlah demikian banyaknya, terutama pada saat puncak arus mudik Lebaran, yakni pada H-2.
Mudik Lebaran yang telah menjadi sebuah fenomena bagi masyarakat Indonesia ini telah mengerahkan dana yang sangat besar. Orang yang hidup dan bekerja di suatu kota besar akan menggerakkan sejumlah dana yang cukup signifikan ke suatu kota lain—kampung halamannya. Tentu saja, mobilitas finansial ini juga merupakan fenomena tersendiri bagi geliat ekonomi dan roda pembangunan di daerah pedesaan atau di kota lainnya.
Ritus ini telah mengumpulkan keluarga inti yang berserakan di kota-kota besar di Pulau Jawa atau di luar Pulau Jawa, di Bali atau Sumatera, yang tidak sempat reriungan dengan keluarga besar mereka sehingga ritus ini merupakan ritus untuk menegakkan kembali kesetiaan yang terhampar dan menyebar di mana-mana.
Ritus nasional
Ritus mudik Lebaran ini adalah ritus “manajerial nasional” atau proyek nasional yang melibatkan keseriusan pemerintah, lembaga (bisnis) swasta, dan masyarakat itu sendiri. Ritus mudik Lebaran ini melibatkan dana bukan hanya dalam skala keluarga pribadi, melainkan dana negara dan swasta serta fasilitas dan angkatan bersenjata negara. Bukankah ini merupakan ritus nasional karena keterlibatan fasilitas nasional yang harus dikelola?
Di negara industri maju seperti Amerika Serikat (AS) misalnya, yang mempunyai ritus Christmas day dan Thanksgiving day, dimana pada ritus tersebut mereka jadikan sebagai ajang untuk berkumpulnya seluruh keluarga inti mereka. Tetapi, apakah mudik Christmas dan Thanksgiving bagi masyarakat AS sefenomenal atau sekompak “mudik Lebaran” di Indonesia yang melibatkan orang, sumber daya, dan fasilitas negara dalam skala besar?
Dalam peristiwa berikut—Christmas dan Thanksgiving—agaknya presiden dan para menteri di AS tidak terlibat secara langsung, institusi militer mereka tidak dikerahkan untuk mendirikan posko serta disiagakan, perusahaan angkutan umum tidak dikomandoi oleh menteri Perhubungan, atau Kepolisian mereka tidak perlu disiagakan dengan sandi “Operasi Ketupat” atau “Operasi Lilin” seperti di Indonesia. Ritus mudik Christmas dan Thanksgiving merupakan arena berkumpul dalam skala keluarga inti, tidak dalam skala keluaga jaringan.
Apakah ketika negara maju seperti AS tersebut belum menjadi negara industri maju yang terpecah dalam kota-kota dan masih menjadi negara agraris, mudik Christmas dan Thanksgiving mereka seheboh ritus mudik Lebaran? Bisakah ritus mudik Christmas dan Thanksgiving menjadi sebuah fenomena agama, fenomena sosial, atau fenomena budaya? Mungkin bagi masyarakat Indonesia, mudik Lebaran adalah sebuah ritus yang lebih hangat, lebih emosional, dan lebih romantis; meskipun sangat merepotkan. Tetapi, apakah fenomena ritus seperti ini masih dapat dipertahankan dalam waktu yang lama di masa-masa mendatang?
Perubahan total
Bagi kaum agamis yang menitikberatkan pandangannya dari sudut penghayatan agama, berpendapat bahwa kondisi seperti ini dapat dipertahankan apabila akar penghayatan agama dalam masyarakat masih kuat. Para sosiolog mungkin berpendapat sebaliknya, bahwa kondisi tersebut akan berubah bila kita telah berubah menjadi masyarakat kota (metropolitan), dan tidak lagi menjadi masyarakat desa (rural society)—dimana hubungan antara keluarga jaringan dan keluarga inti menjadi semakin renggang.
Bagi kaum determinis budaya, mudik Lebaran adalah fenomena budaya yang paling mendasar dan mentradisi. Apabila kita tidak dapat mempertahakan tradisi ini, maka kita akan kehilangan akar budaya. Bila suatu masyarakat kehilangan akar budayanya, maka masyarakat tersebut akan kehilangan pegangan hidup dan kehilangan segalanya.
Barangkali secara terpisah, setiap sudut pandang tersebut memiliki kekuatan argumentasinya sendiri. Tetapi, ritus mudik Lebaran ini adalah sebuah fenomena ritus yang total. Fenomena ini bukan potret terpisah dari Islam, masyarakat Indonesia, orang Jawa, orang Sumatera, kota atau desa di Indonesia; kereta api atau bus-bus yang penuh sesak, berhimpitan, dan loket-loket penjualan tiket penumpang dengan pemandangan antrian panjang yang membosankan. Kondisi ini mengesankan tiadanya penghargaan atas hakikat manusia dan seolah-olah memperlakukan manusia ibarat binatang ternak (kambing congek) dalam suatu pengangkutan menuju penjagalan atau tempat pemotongan hewan.
Maka, membayangkan suatu perkembangan di masa mendatang dalam konteks fenomena ritus mudik Lebaran, seyogianya membayangkan perubahan ritus tersebut secara total. Membayangkan perubahan tersebut mungkin sebaiknya optimis. Yakni membayangkan suatu tatanan masyarakat berbudaya, dimana toleransi beragama berjalan dengan damai di sebuah negeri yang mengakui pluralisme dan heterogenitas struktural.
Akhirnya, membayangkan suatu perubahan budaya yang mentradisi adalah membayangkan suatu masyarakat yang hidup dalam tatanan yang berkeadilan sosial dan sejahtera. Hidup dalam pemerintahan yang bersih dan jujur, yang senantiasa memperjuangkan kepentingan dan nasib rakyatnya dan tidak mementingkan diri sendiri atau kelompok. Kemudian membayangkan vitalitas budaya bangsanya.
Menteri Perhubungan Selingkuh, Percaya??
Dugaan kasus selingkuh Menteri Perhubungan (Menhub) Freddy Numberi dengan presenter televisi Risty Rustarto berawal dari investigasi yang dilakukan istri Freddy, Ny Annie Numberi.
Annie mulai curiga dengan suaminya saat acara Kementerian Perhubungan RI di Belanda yang mengikutkan Risty yang bersamaan dengan penerbangan perdana Garuda Indonesia ke Negeri Kincir Angin tersebut, Juni lalu. Annie sedianya ikut mendampingi suaminya. Namun, tiket keberangkatan Annie tiba-tiba dibatalkan sendiri oleh sang suami dengan berbagai alasan. Namun menurut sumber, penerbangan Annie dibatalkan karena karena Risty telah lebih dulu didaftar dengan alasan tugas peliputan.
"Melihat gelagat mencurigakan suaminya, Ibu Annie memerintahkan orang dekatnya untuk membentuk tim investigasi mencari tahu soal suaminya. Ibu juga meminta mencari tahu siapa Risty" Freddy dan Risty sudah membantah tudingan tersebut. Freddy yang juga anggota Dewan Pembina DPP Partai Demokrat tak bersedia berkomentar panjang seputar tuduhan selingkuh tersebut. Annie yang awalnya mengakui perselingkuhan suaminya dan melaporkan hal tersebut ke Ibu Negara, Ny Any Yudhoyono, juga sudah tak bersedia lagi berkomentar.
Kucing-kucingan
Annie tak bisa menerima ketika dilarang ikut suami ke Belanda. Wanita ini pun bergegas mengurus tiket pesawat sehingga bisa satu pesawat dengan suaminya. Aksi main kucing-kucingan pun terjadi. Freddy kemudian akhirnya membatalkan keberangkatan Risty. Hasil invenstigasi yang didapat "tim Annie" menunjukkan, wanita yang ikut ke Belanda bernama lengkap Bernedad Risty Rustarto, yang berprofesi sebagai reporter televisi dan bertempat tinggal di daerah Tebet, Jakarta. "Lalu, dilaporkanlah bahwa Risty juga tinggal tidak jauh dengan rumah ibunya," tambah sumber itu.
Kecurigaan Annie numberi makin terang saat mengetahui suaminya juga tak mengajaknya bertugas ke Singapura. Informasi yang didapat tim invetigasi Annie, suaminya akan kembali menemui Risty di satu tempat di Singapura di sela-sela tugas.
Awalnya, Annie berniat memergoki pertemuan keduanya. Namun, rencana itu batal terlaksana karena sang suami yang purnawirawan laksanama TNI AL ini mengetahui jika dirinya dibuntuti.
Terakhir, tim investisgasi Annie Numberi mendapat informasi tambahan bahwa Risty mendapat kucuran dana dari Freddy untuk biaya pengobatan ayah Risty yang tengah sakit jantung.
Serangan
Ketua DPP Partai Demokrat Bidang Infokom Ruhut Sitompul memastikan tidak ada reshuffle kabinet yang akan dilakukan oleh Presiden SBY terkait berembusnya isu pergantian Freddy akibat kasus selingkuh.
Ruhut menyatakan, para kader Demokrat yang kini sedang duduk di kabinet membantu SBY terus mendapatkan serangan dari berbagai penjuru, termasuk Freddy.
Ruhut menduga isu menhub punya wanita simpanan sengaja dihembuskan oleh tokoh politik yang ingin mengincar posisi menteri.
"Kemarin (isu selingkuh) Menteri ESDM, sekarang Pak Menhub. Memangnya, tidak boleh berkawan dengan perempuan? Tidak benar menhub selingkuh dan tidak benar istrinya sudah mengadu ke Ibu Ani Yudhoyono. Ini grand design. Jadi, saya tegas membantah kalau Pak Menhub Freddy Numberi, selingkuh dan akan di-reshuffle," tegas Ruhut.
Isu tersebut kata Ruhut untuk menurunkan citra Presiden SBY dan mengganggu jalannya pemerintahan sehingga makin tidak dipercayai rakyat. Usaha ini tak akan berpengaruh apapun karena justru tingkat kepercayaan publik kepada Presiden SBY makin tinggi.
"Yang ada, Demokrat makin tinggi popularitasnya. Isu ini hanya dihembuskan oleh badut-badut politik yang mengincar posisi menteri. Bahkan, kemarin, ada partai yang minta interpelasi, sekarang malah ketakutan. Buntut dari isu yang dihembuskan ini dilakukan oleh mereka-mereka yang tidak siap kalah," Ruhut menegaskan.
Annie mulai curiga dengan suaminya saat acara Kementerian Perhubungan RI di Belanda yang mengikutkan Risty yang bersamaan dengan penerbangan perdana Garuda Indonesia ke Negeri Kincir Angin tersebut, Juni lalu. Annie sedianya ikut mendampingi suaminya. Namun, tiket keberangkatan Annie tiba-tiba dibatalkan sendiri oleh sang suami dengan berbagai alasan. Namun menurut sumber, penerbangan Annie dibatalkan karena karena Risty telah lebih dulu didaftar dengan alasan tugas peliputan.
"Melihat gelagat mencurigakan suaminya, Ibu Annie memerintahkan orang dekatnya untuk membentuk tim investigasi mencari tahu soal suaminya. Ibu juga meminta mencari tahu siapa Risty" Freddy dan Risty sudah membantah tudingan tersebut. Freddy yang juga anggota Dewan Pembina DPP Partai Demokrat tak bersedia berkomentar panjang seputar tuduhan selingkuh tersebut. Annie yang awalnya mengakui perselingkuhan suaminya dan melaporkan hal tersebut ke Ibu Negara, Ny Any Yudhoyono, juga sudah tak bersedia lagi berkomentar.
Kucing-kucingan
Annie tak bisa menerima ketika dilarang ikut suami ke Belanda. Wanita ini pun bergegas mengurus tiket pesawat sehingga bisa satu pesawat dengan suaminya. Aksi main kucing-kucingan pun terjadi. Freddy kemudian akhirnya membatalkan keberangkatan Risty. Hasil invenstigasi yang didapat "tim Annie" menunjukkan, wanita yang ikut ke Belanda bernama lengkap Bernedad Risty Rustarto, yang berprofesi sebagai reporter televisi dan bertempat tinggal di daerah Tebet, Jakarta. "Lalu, dilaporkanlah bahwa Risty juga tinggal tidak jauh dengan rumah ibunya," tambah sumber itu.
Kecurigaan Annie numberi makin terang saat mengetahui suaminya juga tak mengajaknya bertugas ke Singapura. Informasi yang didapat tim invetigasi Annie, suaminya akan kembali menemui Risty di satu tempat di Singapura di sela-sela tugas.
Awalnya, Annie berniat memergoki pertemuan keduanya. Namun, rencana itu batal terlaksana karena sang suami yang purnawirawan laksanama TNI AL ini mengetahui jika dirinya dibuntuti.
Terakhir, tim investisgasi Annie Numberi mendapat informasi tambahan bahwa Risty mendapat kucuran dana dari Freddy untuk biaya pengobatan ayah Risty yang tengah sakit jantung.
Serangan
Ketua DPP Partai Demokrat Bidang Infokom Ruhut Sitompul memastikan tidak ada reshuffle kabinet yang akan dilakukan oleh Presiden SBY terkait berembusnya isu pergantian Freddy akibat kasus selingkuh.
Ruhut menyatakan, para kader Demokrat yang kini sedang duduk di kabinet membantu SBY terus mendapatkan serangan dari berbagai penjuru, termasuk Freddy.
Ruhut menduga isu menhub punya wanita simpanan sengaja dihembuskan oleh tokoh politik yang ingin mengincar posisi menteri.
"Kemarin (isu selingkuh) Menteri ESDM, sekarang Pak Menhub. Memangnya, tidak boleh berkawan dengan perempuan? Tidak benar menhub selingkuh dan tidak benar istrinya sudah mengadu ke Ibu Ani Yudhoyono. Ini grand design. Jadi, saya tegas membantah kalau Pak Menhub Freddy Numberi, selingkuh dan akan di-reshuffle," tegas Ruhut.
Isu tersebut kata Ruhut untuk menurunkan citra Presiden SBY dan mengganggu jalannya pemerintahan sehingga makin tidak dipercayai rakyat. Usaha ini tak akan berpengaruh apapun karena justru tingkat kepercayaan publik kepada Presiden SBY makin tinggi.
"Yang ada, Demokrat makin tinggi popularitasnya. Isu ini hanya dihembuskan oleh badut-badut politik yang mengincar posisi menteri. Bahkan, kemarin, ada partai yang minta interpelasi, sekarang malah ketakutan. Buntut dari isu yang dihembuskan ini dilakukan oleh mereka-mereka yang tidak siap kalah," Ruhut menegaskan.
Sahur On The Road di Makassar Telan Korban Jiwa
Kegiatan membangunkan warga dengan menggunakan musik secara berkelompok, atau populer sahur on the road yang diikuti ribuan massa disetiap sabtu malam selama ramadhan di Makassar, menelan Jiwa.
Suandi (24), mahasiswa universitas swasta di Makassar, meregang nyawa setelah ditikam di Jl Urip Sumoharjo, Minggu (5/9), dini hari. Selain Suandi, adik kandung korban yang bernama Arfandi (21) juga masih menjalani perawatan di Rumah Sakit Akademis setelah mengalami pendarahan hebat. Ia ditikam sebanyak tiga kali, di antaranya pada bagian dada, perut, dan lengan. Perisriwa terjadi saat itu korban yang juga warga Kompleks Puri Mutiara, Jl Monginsidi Baru, Kecamatan Makassar, sedang mengikuti kegiatan tersebut bersama adiknya dan sejumlah rekannya.
Saat melintas di Jl Urip Sumiharjo, tepatnya di depan lembaga kursus mengumudi Aliah, tiba - tiba kelompok tersebut dilempari dengan batu oleh sekelompok pemuda di wilayah tersebut. Lalu terjadi keributan dan adu mulut antara peserta sahur on the road dengan sejumlah pemuda yang nongkrong di tempat tersebut. Menurut sejumlah saksi, Arfandi mendatangi gerombolan pemuda tersebut. Katanya dia bermaksud dan meminta agar gerombolan itu tidak melempar lagi, jelas Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) Makassar, AKP Saiful, saat ditemui di ruang kerjanya, Minggu kemarin.
Namun pemuda-pemuda yang ditegur tersebut malah marah. Arfandi dianiaya. Ia ditikam dibagian perut sebelah kanan. Arfandi yang bersimbuh darah kemudian tersungkur.
Sejumlah rekan Arfandi, termasuk kakak kandungnya, Suandi, kemudian datang memberikan pertolongan. Beberapa rekannya melarikan Arfandi ke RS Akademis.
Sementara Suandi menetap dan berusaha mencari siapa yang menikam adiknya. Naasnya Suandi kemudian mengalami hal yang sama. Ia ditikam sebanyak tiga kali. Suandi akhirnya mengembuskan nafas terakhir saat dilarikan ke rumah sakit.
"Kami sudah mengamankan enam pemuda. Mereka adalah warga Karuwisi. Salah satu diantaranya bernama Abd Rahman sudah mengakui perbuatannya," jelas Saiful
Masih menurut Saiful, untuk sementara ini pihaknya masih melakukan pengembangan untuk mencari sejumlah pelaku lainnya.
Kapolres Datangi TKP
Beberapa saat setelah aparat kepolisian berhasil mengamankan sejumlah pemudam tiba-tiba beredar kabar jika Polsek Makassar akan diserbu oleh sejumlah rekan dan sahabat korban. Akibatnya sejumlah perwira kepolisian seperti Kasat Reskrim Polrestabes Makassar, AKBP Fajaruddin, dan Kapolrestabes, Kombes Polisi Muhammad Nur Samsul, segera mendatangi Polsek Makassar.
Seminggu sebelumnya, Kepala Kepolisian Sektor Panakkukang AKP Wahyu Bram, dianiaya oleh sejumlah pemuda dari organisasi Laskar Merah Putih. Wahyu dipukul hingga berkali kali dibagian kepalanya saat berusaha menertibkan gelombang massa yang mengikuti kegiatan sahur on the road. Pasalnya saat itu aksi peserta sahur ini membuat sejumlah ruas jalan di Makassar mengalami kemacetan.
Sirait, salah seorang warga Kota Makassar, meminta tahun depan agar kegiatan serupa yang tidak memiliki tujuan tersebut dibubarkan. Seharusnya pemerintah Kota Makassar dan pihak kepolisian agar tidak lagi mengeluarkan izin untuk kegiatan seperti ini. Ini lebih banyak mudarat-nya dibanding manfaatnya.
Suandi (24), mahasiswa universitas swasta di Makassar, meregang nyawa setelah ditikam di Jl Urip Sumoharjo, Minggu (5/9), dini hari. Selain Suandi, adik kandung korban yang bernama Arfandi (21) juga masih menjalani perawatan di Rumah Sakit Akademis setelah mengalami pendarahan hebat. Ia ditikam sebanyak tiga kali, di antaranya pada bagian dada, perut, dan lengan. Perisriwa terjadi saat itu korban yang juga warga Kompleks Puri Mutiara, Jl Monginsidi Baru, Kecamatan Makassar, sedang mengikuti kegiatan tersebut bersama adiknya dan sejumlah rekannya.
Saat melintas di Jl Urip Sumiharjo, tepatnya di depan lembaga kursus mengumudi Aliah, tiba - tiba kelompok tersebut dilempari dengan batu oleh sekelompok pemuda di wilayah tersebut. Lalu terjadi keributan dan adu mulut antara peserta sahur on the road dengan sejumlah pemuda yang nongkrong di tempat tersebut. Menurut sejumlah saksi, Arfandi mendatangi gerombolan pemuda tersebut. Katanya dia bermaksud dan meminta agar gerombolan itu tidak melempar lagi, jelas Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) Makassar, AKP Saiful, saat ditemui di ruang kerjanya, Minggu kemarin.
Namun pemuda-pemuda yang ditegur tersebut malah marah. Arfandi dianiaya. Ia ditikam dibagian perut sebelah kanan. Arfandi yang bersimbuh darah kemudian tersungkur.
Sejumlah rekan Arfandi, termasuk kakak kandungnya, Suandi, kemudian datang memberikan pertolongan. Beberapa rekannya melarikan Arfandi ke RS Akademis.
Sementara Suandi menetap dan berusaha mencari siapa yang menikam adiknya. Naasnya Suandi kemudian mengalami hal yang sama. Ia ditikam sebanyak tiga kali. Suandi akhirnya mengembuskan nafas terakhir saat dilarikan ke rumah sakit.
"Kami sudah mengamankan enam pemuda. Mereka adalah warga Karuwisi. Salah satu diantaranya bernama Abd Rahman sudah mengakui perbuatannya," jelas Saiful
Masih menurut Saiful, untuk sementara ini pihaknya masih melakukan pengembangan untuk mencari sejumlah pelaku lainnya.
Kapolres Datangi TKP
Beberapa saat setelah aparat kepolisian berhasil mengamankan sejumlah pemudam tiba-tiba beredar kabar jika Polsek Makassar akan diserbu oleh sejumlah rekan dan sahabat korban. Akibatnya sejumlah perwira kepolisian seperti Kasat Reskrim Polrestabes Makassar, AKBP Fajaruddin, dan Kapolrestabes, Kombes Polisi Muhammad Nur Samsul, segera mendatangi Polsek Makassar.
Seminggu sebelumnya, Kepala Kepolisian Sektor Panakkukang AKP Wahyu Bram, dianiaya oleh sejumlah pemuda dari organisasi Laskar Merah Putih. Wahyu dipukul hingga berkali kali dibagian kepalanya saat berusaha menertibkan gelombang massa yang mengikuti kegiatan sahur on the road. Pasalnya saat itu aksi peserta sahur ini membuat sejumlah ruas jalan di Makassar mengalami kemacetan.
Sirait, salah seorang warga Kota Makassar, meminta tahun depan agar kegiatan serupa yang tidak memiliki tujuan tersebut dibubarkan. Seharusnya pemerintah Kota Makassar dan pihak kepolisian agar tidak lagi mengeluarkan izin untuk kegiatan seperti ini. Ini lebih banyak mudarat-nya dibanding manfaatnya.
Jumat, 03 September 2010
Progress Proyek Busway Makassar
Angkutan massal berupa busway di Kota Makassar terus digodok. Kamis siang, 2 September, 18 titik halte sekaligus jembatan penyeberangan orang (JPO) sudah dibeberkan Pemkot Makassar. Dari 18 titik untuk koridor I itu, tujuh diantaranya berada di Jalan Perintis Kemerdekaan. Lima lainnya di Jalan Urip Sumiharjo dan enam lainnya di Jalan AP Pettarani.
Rencananya, 18 titik itu akan diserahkan ke pengusaha untuk dikerjakan. Hanya saja, melihat kompensasi yang diberikan pemkot, maka sepanjang jalan di koridor I akan banjir iklan bando. Pasalnya, bagi pengusaha yang mengerjakan satu JPO plus halte, akan space iklan dalam bentuk bando dua buah. 12 pengusaha sudah ikut dalam pertemuan yang dipimpin Wali Kota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin. Dalam pertemuan tersebut juga terungkap 18 titik JPO di koridor I, Daya hingga Telkom Pettarani.
Halte 1 akan ditempatkan di Terminal Regional Daya. Menyusul kemudian halte di jalan masuk UKIP Jalan Perintis Kemerdekaan, depan kompleks Nusa Tamalanrea Indah, Tamalanrea atau BTP, Pintu I Unhas, STMIK Dipanegara, serta halte Alfa/Carrefour.
Di Jalan Urip Sumiharjo, halte ditempatkan di Tello, Taman Makam Pahlawan, kantor Gubernur, UMI, serta Universitas 45. Sedangkan di AP Pettarani, halte akan diposisikan di Pasar Tamamaung Pettarani, Abdullah Dg Sirua, depan Ramayana, Hertasning, UNM, serta Telkom. Sedangkan 12 perusahaan yang berminat menggarap JPO dan halte. Ilham mengatakan, pelibatan pengusaha ini sangat penting sebab biaya pembuatan JPO sangat besar. Sementara mereka terkendala dana. Belum lagi operasional angkutan massal ini sudah harus dilaksanakan 2011 mendatang.
"Membangun jembatan penyeberangan orang atau JPO biayanya besar. Bentangan 40 meter itu butuh Rp 3 miliar lebih. Nah, pemkot dalam rangka membangun angkutan massal di 2011 paling tidak membutuhkan Rp 50 miliar untuk JPO di koridor I saja. Itu beban besar," kata Ilham. Makanya, karena ada sisi ekonomis, JPO ini lalu ditawarkan ke pengusaha. "JPO memiliki sisi ekonomis dari sisi iklan. Makanya kita ajak pengusaha kerja sama.
Kita bisa beri bonus dua pemasangan bando. Satu di jembatan, satu di luar. Jadi kita tidak perlu keluarkan uang. Hanya juga ada pembebasan pajak sekian tahun. Intinya, pemkot dalam pembangunan ini tidak perlu keluarkan Rp 50 miliar untuk satu koridor," kata Ilham.
Pengiritan dana ini sangat penting menurut Ilham. Sebab mereka juga mesti menyiapkan bus. "Kita juga mau pengadaan bus. Juga pasti akan diberikan subsidi di tahap awal," kata Ilham seraya menjelaskan bahwa tarif sistemnya tidak berdasar penumpang tapi jumlah jarak.
Terkait 12 perusahaan yang sudah ikut pertemuan, Ilham mengatakan mereka datang untuk diberi penjelasan. 12 pengusahan ini belum ditetapkan. Mereka baru menyatakan siap berpartisipasi dan pemkot menjelaskan ada 18 titik JPO yang disiapkan, Namun sebagian titik juga sudah ada yang punya misalnya di depan Ramayana dan satu lainnya di Jalan AP Pettarani yang kontraknya belum habis.
"Ada juga yang cuma mau pasang bando tapi kita tolak. Dia harus membangun jembatan dan kita beri kesempatan pasang iklan dan tambahan bando satu lagi. Tapi itu aset pemda. Kita butuhkan JPO dan mereka membangun," jelasnya.
Rencananya, 18 titik itu akan diserahkan ke pengusaha untuk dikerjakan. Hanya saja, melihat kompensasi yang diberikan pemkot, maka sepanjang jalan di koridor I akan banjir iklan bando. Pasalnya, bagi pengusaha yang mengerjakan satu JPO plus halte, akan space iklan dalam bentuk bando dua buah. 12 pengusaha sudah ikut dalam pertemuan yang dipimpin Wali Kota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin. Dalam pertemuan tersebut juga terungkap 18 titik JPO di koridor I, Daya hingga Telkom Pettarani.
Halte 1 akan ditempatkan di Terminal Regional Daya. Menyusul kemudian halte di jalan masuk UKIP Jalan Perintis Kemerdekaan, depan kompleks Nusa Tamalanrea Indah, Tamalanrea atau BTP, Pintu I Unhas, STMIK Dipanegara, serta halte Alfa/Carrefour.
Di Jalan Urip Sumiharjo, halte ditempatkan di Tello, Taman Makam Pahlawan, kantor Gubernur, UMI, serta Universitas 45. Sedangkan di AP Pettarani, halte akan diposisikan di Pasar Tamamaung Pettarani, Abdullah Dg Sirua, depan Ramayana, Hertasning, UNM, serta Telkom. Sedangkan 12 perusahaan yang berminat menggarap JPO dan halte. Ilham mengatakan, pelibatan pengusaha ini sangat penting sebab biaya pembuatan JPO sangat besar. Sementara mereka terkendala dana. Belum lagi operasional angkutan massal ini sudah harus dilaksanakan 2011 mendatang.
"Membangun jembatan penyeberangan orang atau JPO biayanya besar. Bentangan 40 meter itu butuh Rp 3 miliar lebih. Nah, pemkot dalam rangka membangun angkutan massal di 2011 paling tidak membutuhkan Rp 50 miliar untuk JPO di koridor I saja. Itu beban besar," kata Ilham. Makanya, karena ada sisi ekonomis, JPO ini lalu ditawarkan ke pengusaha. "JPO memiliki sisi ekonomis dari sisi iklan. Makanya kita ajak pengusaha kerja sama.
Kita bisa beri bonus dua pemasangan bando. Satu di jembatan, satu di luar. Jadi kita tidak perlu keluarkan uang. Hanya juga ada pembebasan pajak sekian tahun. Intinya, pemkot dalam pembangunan ini tidak perlu keluarkan Rp 50 miliar untuk satu koridor," kata Ilham.
Pengiritan dana ini sangat penting menurut Ilham. Sebab mereka juga mesti menyiapkan bus. "Kita juga mau pengadaan bus. Juga pasti akan diberikan subsidi di tahap awal," kata Ilham seraya menjelaskan bahwa tarif sistemnya tidak berdasar penumpang tapi jumlah jarak.
Terkait 12 perusahaan yang sudah ikut pertemuan, Ilham mengatakan mereka datang untuk diberi penjelasan. 12 pengusahan ini belum ditetapkan. Mereka baru menyatakan siap berpartisipasi dan pemkot menjelaskan ada 18 titik JPO yang disiapkan, Namun sebagian titik juga sudah ada yang punya misalnya di depan Ramayana dan satu lainnya di Jalan AP Pettarani yang kontraknya belum habis.
"Ada juga yang cuma mau pasang bando tapi kita tolak. Dia harus membangun jembatan dan kita beri kesempatan pasang iklan dan tambahan bando satu lagi. Tapi itu aset pemda. Kita butuhkan JPO dan mereka membangun," jelasnya.
Buntut Dialog Publik "Karebosi" Yang Anarkis
Tindak kekerasan dan keributan yang terjadi pada diskusi publik Karebosi sebagai Meeting Point di Studio Mini Redaksi Fajar Selasa 31 Agustus lalu, terus berbuntut. Komisaris Utama PT Media Fajar sekaligus Pendiri Harian Fajar, HM Alwi Hamu, menginstruksikan agar kasus ini dilaporkan ke polisi.
"Saya kecewa dan mengecam keras aksi premanisme di kantor Fajar. Ini rumah kita yang siapa pun tidak boleh berbuat kekerasan di sini. Pelaku dan orang-orang yang menggerakkan mereka harus bertanggung jawab. Mereka jelas datang bukan untuk berdiskusi tapi sengaja mau ribut," tegas Alwi Hamu yang baru saja pulang dari Safari Ramadan Jawa Pos Group di Wilayah Jawa Barat, malam tadi.
Menurut Alwi, apapun alasannya, premanisme dan aksi kekerasan tidak boleh diberi ruang untuk berkembang. Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin, sebutnya, harus memberi contoh dengan tidak membiarkan para preman bebas berkeliaran di sekitarnya.
"Buat apa membuat kesepakatan dengan kampus-kampus untuk menghentikan dan menghilangkan anarkisme di kampus, kalau di sekeliling wali kota sendiri masih berkeliaran para preman. Itu tidak mendidik namanya," ujar mantan Ketua PWI Sulsel itu.
Sikap dan langkah hukum Alwi mendapat dukungan dari kalangan DPR RI. Anggota Fraksi Partai Hanura Akbar Faizal yang mengaku mendapat informasi atas keributan pada diskusi di Studio Mini Redaksi Fajar, ikut mengecam tindakan para preman tersebut.
"Ketika bangsa ini dilanda banyak persoalan, jangan lagi ditambah dengan aksi-aksi kekerasan yang tidak perlu. Budaya kekerasan adalah tindakan dan bahasa barbar yang harus dienyahkan dari kehidupan kita," ucap Akbar Faizal.
Menurutnya, ruang-ruang berdemokrasi seperti digiatkan Harian Fajar terkait prokontra revitalisasi Karebosi, harusnya ditumbuhsuburkan. Bukan sebaliknya, berusaha dihentikan lewat tindakan kekerasan dan budaya barbar.
"Kita tidak bisa begini terus. Seharusnya kita tidak di situ (budaya kekerasan, red) lagi. Kita harus menumbuhkan semangat berdemokrasi yang menghargai perbedaan," tegasnya.
Dengan tetap memelihara budaya kekerasan, sebut mantan wartawan ini, berarti kita berbalik dan mundur lagi ke belakang ratusan tahun. "Sebagai orang berpendidikan, mari kita berdebat dan adu argumentasi. Bukan beradu otot. Sebab beradu otot itu adalah orang-orang gagap dan merupakan perilaku primitif," tegas Akbar. Ditangani Polda Siang kemarin, jurnalis MajalahVersi.Net, Mayzir Yulanwar, 39, yang menjadi korban pemukulan saat diskusi Karebosi di Studio Mini Redaksi Fajar, resmi melapor ke Polda Sulsel. Saat melapor pukul 14.14 Wita, Mayzir didampingi sejumlah kuasa hukumnya dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar. Mereka diterima Kepala Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK) A, Ipda Mansur S.
Dalam laporannya yang teregister dengan Nopol LBP/225/IX/2010/SPK, Mayzir mengadukan Japri Y Timbo sebagai salah satu pelaku penganiayaan. Dalam uraian kejadian singkat, Mayzir mengaku bahwa Japri Y Timbo meninju kening kirinya saat menyampaikan hasil investigasi masalah lapangan Karebosi.
Usai menerima laporan resmi Mayzir, Kepala SPK A Mansur S menegaskan akan secepatnya mengambil langkah hukum. "Kita akan segera lakukan penyelidikan hingga para tersangka pelaku penganiayaan lainnya ditemukan," janji Mansur.
Seperti diberitakan sebelumnya, tindak kekerasan menimpa Mayzir Yulanwar saat mengikuti diskusi publik "Karebosi sebagai Meeting Point" di Redaksi Harian Fajar. Kejadian tidak perlu itu bermula saat Mayzir menyampaikan sejumlah hal terkait tema diskusi.
Karena tidak terima dengan ungkapan-ungkapan Mayzir, sejumlah orang yang belakangan diketahui berinisial SG, AT, dan JYT, berusaha menghentikannya. Yang pertama mendekatinya adalah SG disusul AT. SG pulalah yang mengambil mikrofon di tangan Mayzir, disusul AT "mencolek" pipinya.
Ulah SG dan AT itu memicu kekerasan berjemaah dari kelompok yang pro langkah pengembangan Karebosi di bawah kendali PT Tosan Permai Lestari. Massa yang tak terkendali tidak hanya menyerang Mayzir hingga terpojok ke dinding, tapi juga membuat Abdul Razak Djalle, salah seorang pembicara terjerembab ke lantai.
Sebelumnya, tepatnya pada Rabu malam 1 September, Fajar secara resmi telah pula melayangkan pernyataan protes resmi, langsung pada Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin. Protes tertulis itu disampaikan saat wali kota menyampaikan permintaan maaf langsung ke redaksi.
"Saya kecewa dan mengecam keras aksi premanisme di kantor Fajar. Ini rumah kita yang siapa pun tidak boleh berbuat kekerasan di sini. Pelaku dan orang-orang yang menggerakkan mereka harus bertanggung jawab. Mereka jelas datang bukan untuk berdiskusi tapi sengaja mau ribut," tegas Alwi Hamu yang baru saja pulang dari Safari Ramadan Jawa Pos Group di Wilayah Jawa Barat, malam tadi.
Menurut Alwi, apapun alasannya, premanisme dan aksi kekerasan tidak boleh diberi ruang untuk berkembang. Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin, sebutnya, harus memberi contoh dengan tidak membiarkan para preman bebas berkeliaran di sekitarnya.
"Buat apa membuat kesepakatan dengan kampus-kampus untuk menghentikan dan menghilangkan anarkisme di kampus, kalau di sekeliling wali kota sendiri masih berkeliaran para preman. Itu tidak mendidik namanya," ujar mantan Ketua PWI Sulsel itu.
Sikap dan langkah hukum Alwi mendapat dukungan dari kalangan DPR RI. Anggota Fraksi Partai Hanura Akbar Faizal yang mengaku mendapat informasi atas keributan pada diskusi di Studio Mini Redaksi Fajar, ikut mengecam tindakan para preman tersebut.
"Ketika bangsa ini dilanda banyak persoalan, jangan lagi ditambah dengan aksi-aksi kekerasan yang tidak perlu. Budaya kekerasan adalah tindakan dan bahasa barbar yang harus dienyahkan dari kehidupan kita," ucap Akbar Faizal.
Menurutnya, ruang-ruang berdemokrasi seperti digiatkan Harian Fajar terkait prokontra revitalisasi Karebosi, harusnya ditumbuhsuburkan. Bukan sebaliknya, berusaha dihentikan lewat tindakan kekerasan dan budaya barbar.
"Kita tidak bisa begini terus. Seharusnya kita tidak di situ (budaya kekerasan, red) lagi. Kita harus menumbuhkan semangat berdemokrasi yang menghargai perbedaan," tegasnya.
Dengan tetap memelihara budaya kekerasan, sebut mantan wartawan ini, berarti kita berbalik dan mundur lagi ke belakang ratusan tahun. "Sebagai orang berpendidikan, mari kita berdebat dan adu argumentasi. Bukan beradu otot. Sebab beradu otot itu adalah orang-orang gagap dan merupakan perilaku primitif," tegas Akbar. Ditangani Polda Siang kemarin, jurnalis MajalahVersi.Net, Mayzir Yulanwar, 39, yang menjadi korban pemukulan saat diskusi Karebosi di Studio Mini Redaksi Fajar, resmi melapor ke Polda Sulsel. Saat melapor pukul 14.14 Wita, Mayzir didampingi sejumlah kuasa hukumnya dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar. Mereka diterima Kepala Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK) A, Ipda Mansur S.
Dalam laporannya yang teregister dengan Nopol LBP/225/IX/2010/SPK, Mayzir mengadukan Japri Y Timbo sebagai salah satu pelaku penganiayaan. Dalam uraian kejadian singkat, Mayzir mengaku bahwa Japri Y Timbo meninju kening kirinya saat menyampaikan hasil investigasi masalah lapangan Karebosi.
Usai menerima laporan resmi Mayzir, Kepala SPK A Mansur S menegaskan akan secepatnya mengambil langkah hukum. "Kita akan segera lakukan penyelidikan hingga para tersangka pelaku penganiayaan lainnya ditemukan," janji Mansur.
Seperti diberitakan sebelumnya, tindak kekerasan menimpa Mayzir Yulanwar saat mengikuti diskusi publik "Karebosi sebagai Meeting Point" di Redaksi Harian Fajar. Kejadian tidak perlu itu bermula saat Mayzir menyampaikan sejumlah hal terkait tema diskusi.
Karena tidak terima dengan ungkapan-ungkapan Mayzir, sejumlah orang yang belakangan diketahui berinisial SG, AT, dan JYT, berusaha menghentikannya. Yang pertama mendekatinya adalah SG disusul AT. SG pulalah yang mengambil mikrofon di tangan Mayzir, disusul AT "mencolek" pipinya.
Ulah SG dan AT itu memicu kekerasan berjemaah dari kelompok yang pro langkah pengembangan Karebosi di bawah kendali PT Tosan Permai Lestari. Massa yang tak terkendali tidak hanya menyerang Mayzir hingga terpojok ke dinding, tapi juga membuat Abdul Razak Djalle, salah seorang pembicara terjerembab ke lantai.
Sebelumnya, tepatnya pada Rabu malam 1 September, Fajar secara resmi telah pula melayangkan pernyataan protes resmi, langsung pada Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin. Protes tertulis itu disampaikan saat wali kota menyampaikan permintaan maaf langsung ke redaksi.
Jalaluddin Rahman ; Karebosi, Air Mata Duka Kami Semua
Kalau Bapak Ir H Ilham Arief Sirajuddin ditanya atau dimintai komentar tentang Lapangan Karebosi sekarang ini, pastilah beliau menjawab bahwa Karebosi telah berhasil diubah menjadi sangat cantik dan indah. Revitalisasi dalam arti menjadikan lapangan tersebut bernilai ekonomi dan menghasilkan uang, jelas sukses besar.
Lapangan Karebosi kini sudah sangat beda dengan puluhan tahun lalu. Kalau dahulu, Karebosi merupakan lahan atau padang luas "nganggur", kini telah menjadi pusat kegiatan ekonomi dan bisnis yang "hidup dan giat". Hal ini bisa terjadi berkat "kehebatan" wali kotanya saat ini dengan investor, PT Tosan Permai Lestari, yakni Pak Ilham Arief Sirajuddin dan Bung Hasan(?)
Namun, tidak sedikit juga yang tidak sejalan dengan Pak Wali Kota. Mereka memandang bahwa apa yang dilakukan Pak Wali bersama investornya itu merupakan sebuah perusakan terhadap lapangan kebanggaan "bangsa" Sulawesi Selatan.
Lapangan tersebut bagi mereka adalah warisan yang tidak boleh dialihfungsikan dari ruang publik menjadi ruang bisnis. Bahkan, mereka menganggap bahwa Karebosi ini merupakan cagar budaya yang harus dilestarikan, bahkan harus tetap menjadi milik pemerintah bersama rakyat seluruhnya, bukan "milik" pribadi seseorang.
Karebosi yang luasnya beberapa hektare tersebut dan dulu terdiri atas beberapa lapangan sepak bola amat membanggakan. Betapa tidak, lapangan seluas itu dan terletak di tengah kota sudah mustahil dibuat oleh seorang wali kota sehebat apapun. Pak Patompo saja, seorang wali kota yang amat terkenal kehebatannya, pastilah tidak mampu menciptakan lapangan Karebosi seperti itu.
Ketika negeri ini menikmati booming minyak bumi, lapangan seperti itu tidak dapat diciptakan, apalagi di saat negeri ini tidak lagi menjadi pengekspor, melainkan pengimpor minyak. Pak Wali Kota yang terhormat sekarang ini bagi mereka juga boleh jadi tidak mampu membuat lapangan seperti itu. Buktinya, Karebosi bukannya dipelihara, malahan dihancurkan.
Memang, kalau dilihat kondisi Karebosi sekarang ini, tampaknya sangatlah bagus dan modern. Panggung upacaranya sudah sangat elegan, lapangannya tertata dengan rapih disertai pagar pengaman di sekelilingnya plus satpam di setiap pintu masuk, termasuk di lapangan sepakbolanya.
Belum lagi, pertokoan atau pusat bisnis di bawah lapangan sudah pastilah bagus, ramai, dan hidup karena terjadi transaksi jual beli di sana.
Namun di balik itu, tidak ada arti semuanya itu dibandingkan adanya perubahan atau revitalisasi (versi Wali Kota) dengan perubahan yang sekaligus merupakan perusakan terhadap wujud aslinya. Mereka sangat menyayangkan perusakan ini karena sepertinya Pak Wali menurut mereka sudah kehabisan ide atau sebaliknya kelebihan ide sehingga yang sepatutnya tidak diubah, malahan direvitalisasi.
Kalau memang beliau mau melakukan sesuatu buat masyarakat Kota Makassar khususnya dan masyarakat Sulawesi Selatan umumnya, masih sangat banyak yang bisa dilakukan. Pasar-pasar tradisional sangat memerlukan perbaikan dan pembangunan agar juga dapat menyenangkan bila dikunjungi.
Hanya saja, diharapkan setelah dibangun tidak malah jadi sumber masalah, menjadi sumber mafia elite-elite eksekutif dan legislatif seperti yang terjadi di Pasar Pabaengbaeng.
Kami selaku warga Kota Makassar amat berduka setiap lewat di samping lapangan Karebosi yang telah berhasil direvitalisasi Pak Wali Kota. Setiap lewat, air mata mau menetes karena sedih. Kami tidak sejalan dan sepaham dengan beliau (Wali Kota) dan memandang bahwa apa yang terjadi sekarang ini bukanlah sebuah kemajuan, tapi kemunduran.
Boleh jadi, kami berbeda pandangan dengan masyarakat awam yang memandang kini Karebosi menjadi sangat indah dan modern.
Karena kesedihan itu pula, kami berjanji dalam diri sendiri dan pasti disaksikan oleh Allah swt untuk sedapat mungkin tidak menginjakkan kaki di lantai dasar, pusat bisnisnya. Maaf, penggambaran kami mungkin tidak lengkap atau keliru, karena alhamdulilah, sampai sekarang belum pernah menginjakkan kaki di Karebosi sejak direvitalisasi.
Bahkan, semoga saja kami juga sanggup menahan diri untuk tidak menginjak rumput lapangannya sekarang ini. Kami juga insyalah akan meneruskan sikap penolakan ini kepada istri dan anak cucu selanjutnya.
Revitalisasi sama sekali tidak berkurang keberhasilan dan kepongahannya dengan ketidakhadiran mereka yang tidak sepandangan dengan Wali Kota. Yang memegang kekuasaan adalah Pak Wali dan telah direstui oleh para wakil rakyat. Toh, anjing menggonggong kafilah tetap berlalu.
Menurut pendapat pribadi saya, orang-orang terpelajar sepatutnya tidak menyetujui revitalisasi tersebut. Kalau sekiranya ada kaum terpelajar yang menyetujuinya, maka patut dipertanyakan logika yang digunakannya. Semoga saja revitalisasi ini tidak bercampur baur dengan kepentingan pribadi dan sesaat bagi mereka yang mendukungnya, siapapun orang, peran dan statusnya.
Terus-terang, kami ingin mengajak masyarakat Sulawesi Selatan untuk memboikot segala aktivitas di areal tersebut. Kalau ingin berbelanja, masyarakat masih dapat memilih tempat lain. Untuk tempat modern, mal dan pusat bisnis merupakan pilihan yang baik. Untuk tempat tradisional, Pasar Sentral misalnya, merupakan arena yang menjadi pilihan utama.
Kami juga mengajak masyarakat praktisi hukum tidak tinggal diam seraya membiarkan Karebosi dirambah. Kalau dahulu disebutkan hanya di bagian bawah tanah yang akan digunakan, namun kini mulai dikembangkan pula bagian atasnya berupa warung kopi atau kafe. Saudara kami yang terhimpun dalam masyarakat tersebut sepantasnya tampil paling depan melakukan gugatan hukum. Dulu pernah ada, tapi kini semuanya sudah tiarap.
Kalau sekiranya tidak ada lagi yang menggugatnya, kami insya Allah akan menggugat Pak Wali bersama investornya di Pengadilan Mahsyar. Semoga ada pula warga Sulawesi Selatan yang mau bersama kami menggugat beliau di hadapan Allah. Soalnya, masalah Karebosi ini amatlah penting, bukan hanya milik para elite saja, tapi juga harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah swt.
Lapangan Karebosi kini sudah sangat beda dengan puluhan tahun lalu. Kalau dahulu, Karebosi merupakan lahan atau padang luas "nganggur", kini telah menjadi pusat kegiatan ekonomi dan bisnis yang "hidup dan giat". Hal ini bisa terjadi berkat "kehebatan" wali kotanya saat ini dengan investor, PT Tosan Permai Lestari, yakni Pak Ilham Arief Sirajuddin dan Bung Hasan(?)
Namun, tidak sedikit juga yang tidak sejalan dengan Pak Wali Kota. Mereka memandang bahwa apa yang dilakukan Pak Wali bersama investornya itu merupakan sebuah perusakan terhadap lapangan kebanggaan "bangsa" Sulawesi Selatan.
Lapangan tersebut bagi mereka adalah warisan yang tidak boleh dialihfungsikan dari ruang publik menjadi ruang bisnis. Bahkan, mereka menganggap bahwa Karebosi ini merupakan cagar budaya yang harus dilestarikan, bahkan harus tetap menjadi milik pemerintah bersama rakyat seluruhnya, bukan "milik" pribadi seseorang.
Karebosi yang luasnya beberapa hektare tersebut dan dulu terdiri atas beberapa lapangan sepak bola amat membanggakan. Betapa tidak, lapangan seluas itu dan terletak di tengah kota sudah mustahil dibuat oleh seorang wali kota sehebat apapun. Pak Patompo saja, seorang wali kota yang amat terkenal kehebatannya, pastilah tidak mampu menciptakan lapangan Karebosi seperti itu.
Ketika negeri ini menikmati booming minyak bumi, lapangan seperti itu tidak dapat diciptakan, apalagi di saat negeri ini tidak lagi menjadi pengekspor, melainkan pengimpor minyak. Pak Wali Kota yang terhormat sekarang ini bagi mereka juga boleh jadi tidak mampu membuat lapangan seperti itu. Buktinya, Karebosi bukannya dipelihara, malahan dihancurkan.
Memang, kalau dilihat kondisi Karebosi sekarang ini, tampaknya sangatlah bagus dan modern. Panggung upacaranya sudah sangat elegan, lapangannya tertata dengan rapih disertai pagar pengaman di sekelilingnya plus satpam di setiap pintu masuk, termasuk di lapangan sepakbolanya.
Belum lagi, pertokoan atau pusat bisnis di bawah lapangan sudah pastilah bagus, ramai, dan hidup karena terjadi transaksi jual beli di sana.
Namun di balik itu, tidak ada arti semuanya itu dibandingkan adanya perubahan atau revitalisasi (versi Wali Kota) dengan perubahan yang sekaligus merupakan perusakan terhadap wujud aslinya. Mereka sangat menyayangkan perusakan ini karena sepertinya Pak Wali menurut mereka sudah kehabisan ide atau sebaliknya kelebihan ide sehingga yang sepatutnya tidak diubah, malahan direvitalisasi.
Kalau memang beliau mau melakukan sesuatu buat masyarakat Kota Makassar khususnya dan masyarakat Sulawesi Selatan umumnya, masih sangat banyak yang bisa dilakukan. Pasar-pasar tradisional sangat memerlukan perbaikan dan pembangunan agar juga dapat menyenangkan bila dikunjungi.
Hanya saja, diharapkan setelah dibangun tidak malah jadi sumber masalah, menjadi sumber mafia elite-elite eksekutif dan legislatif seperti yang terjadi di Pasar Pabaengbaeng.
Kami selaku warga Kota Makassar amat berduka setiap lewat di samping lapangan Karebosi yang telah berhasil direvitalisasi Pak Wali Kota. Setiap lewat, air mata mau menetes karena sedih. Kami tidak sejalan dan sepaham dengan beliau (Wali Kota) dan memandang bahwa apa yang terjadi sekarang ini bukanlah sebuah kemajuan, tapi kemunduran.
Boleh jadi, kami berbeda pandangan dengan masyarakat awam yang memandang kini Karebosi menjadi sangat indah dan modern.
Karena kesedihan itu pula, kami berjanji dalam diri sendiri dan pasti disaksikan oleh Allah swt untuk sedapat mungkin tidak menginjakkan kaki di lantai dasar, pusat bisnisnya. Maaf, penggambaran kami mungkin tidak lengkap atau keliru, karena alhamdulilah, sampai sekarang belum pernah menginjakkan kaki di Karebosi sejak direvitalisasi.
Bahkan, semoga saja kami juga sanggup menahan diri untuk tidak menginjak rumput lapangannya sekarang ini. Kami juga insyalah akan meneruskan sikap penolakan ini kepada istri dan anak cucu selanjutnya.
Revitalisasi sama sekali tidak berkurang keberhasilan dan kepongahannya dengan ketidakhadiran mereka yang tidak sepandangan dengan Wali Kota. Yang memegang kekuasaan adalah Pak Wali dan telah direstui oleh para wakil rakyat. Toh, anjing menggonggong kafilah tetap berlalu.
Menurut pendapat pribadi saya, orang-orang terpelajar sepatutnya tidak menyetujui revitalisasi tersebut. Kalau sekiranya ada kaum terpelajar yang menyetujuinya, maka patut dipertanyakan logika yang digunakannya. Semoga saja revitalisasi ini tidak bercampur baur dengan kepentingan pribadi dan sesaat bagi mereka yang mendukungnya, siapapun orang, peran dan statusnya.
Terus-terang, kami ingin mengajak masyarakat Sulawesi Selatan untuk memboikot segala aktivitas di areal tersebut. Kalau ingin berbelanja, masyarakat masih dapat memilih tempat lain. Untuk tempat modern, mal dan pusat bisnis merupakan pilihan yang baik. Untuk tempat tradisional, Pasar Sentral misalnya, merupakan arena yang menjadi pilihan utama.
Kami juga mengajak masyarakat praktisi hukum tidak tinggal diam seraya membiarkan Karebosi dirambah. Kalau dahulu disebutkan hanya di bagian bawah tanah yang akan digunakan, namun kini mulai dikembangkan pula bagian atasnya berupa warung kopi atau kafe. Saudara kami yang terhimpun dalam masyarakat tersebut sepantasnya tampil paling depan melakukan gugatan hukum. Dulu pernah ada, tapi kini semuanya sudah tiarap.
Kalau sekiranya tidak ada lagi yang menggugatnya, kami insya Allah akan menggugat Pak Wali bersama investornya di Pengadilan Mahsyar. Semoga ada pula warga Sulawesi Selatan yang mau bersama kami menggugat beliau di hadapan Allah. Soalnya, masalah Karebosi ini amatlah penting, bukan hanya milik para elite saja, tapi juga harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah swt.
Diskusi Karebosi sebagai Meeting Point Berlangsung Brutal
Revitalisasi Karebosi sudah lama menjadi pro-kontra. Perlu ada solusi. Tetapi mesti dicari dengan cara-cara intelek. Bukan mengedepankan emosi.
Makassar Selasa, 31 Agustus lalu, suhu di ruang redaksi Fajar cukup sejuk. Pendingin ruangan di semua sisi berfungsi dengan baik. Di panggung kecil berlapiskan karpet cokelat, empat orang duduk mengitari sebuah meja bundar.
Abdul Razak Djalle, Binsar Samosir, Abdul Mutthalib, dan Ilham Arief Sirajuddin bersandar di sofa. Mereka jadi pembicara pada diskusi publik bertajuk Karebosi sebagai Meeting Point. Wakil Pemimpin Redaksi Fajar, Muhammad Yusuf AR, menjadi moderator.
Ilham dapat kesempatan pertama. Wali kota Makassar itu membawa dokumen yang tebalnya kira-kira 10 sentimeter. Ditaruh di meja. "Dulu Karebosi itu banjir kalau musim hujan, berdebu saat kemarau," katanya. Alasan itulah yang menurut Ilham menjadi awal munculnya ide revitalisasi Karebosi. Sayembara pun digelar. Melibatkan banyak orang dari beragam latar belakang. Pria 44 tahun itu pun menjamin tidak ada yang keluar dari konsep awal revitalisasi.
Ilham yang kemarin memakai setelan jas dan berpeci hitam pun mengklaim, kini Karebosi makin nyaman. Orang-orang bisa berolahraga dengan bebas. "Saya heran kalau ada yang bilang sulit masuk lapangan Karebosi," akunya. Wali kota juga menyebut, tender revitalisasi Karebosi dilakukan terbuka. Diiklankan di koran. Kala itu, katanya, pengumuman dilakukan dua kali. Tapi hanya PT Tosan Prima Lestari yang mendaftar. Penunjukan langsung pun jadi pilihan.
Forum mulai hangat. Yusuf kemudian mempersilakan Binsar berbicara. Direktur PT Tosan itu memberi statemen singkat. Tidak sampai lima menit. "Kami terlibat di sini karena ada peluang bisnis sekaligus membantu membangun kota Makassar," ucapnya. Soal pembangunan fujasera di atas lapangan Karebosi yang kini jadi pro kontra, Binsar juga punya alibi. Kata dia, fujasera itu baru dikerjakan karena pihak investor terlebih dahulu menyelesaikan terowongan yang menjadi penghubung.
Mutthalib yang Direktur LBH Makassar, duduk di samping Binsar. Dia pakai kemeja putih. Kacamata menempel di batang hidung. "Saya tidak merasa Karebosi sebagai public space lagi. Ada pagar tinggi dan satpam di sana," ujarnya. Mutthalib juga menyebut bahwa Memorandum of Understanding (MoU) antara PT Tosan dan Pemkot Makassar tidak berkekuatan hukum. Hak Pengelolaan Lahan (HPL) belum ada. "Makanya PT Tosan sekarang mendesak agar HPL-nya dikeluarkan," ungkap Mutthalib.
Jebolan Fakultas Hukum UMI pun berharap, Citizen Law Suit yang diajukan LBH tak kalah lagi di Mahkamah Agung. Maklum, pada proses peradilan di dua level pengadilan, LBH dinyatakan kalah. "Pokoknya, Karebosi harus kembali jadi public space." imbuh dia. Ilham buru-buru ambil mikrofon. Dia langsung memberi respons atas pernyataan Mutthalib. "Mudah-mudahan Karebosi tidak kembali seperti dulu. Banjir. Di sana juga sarang maksiat. Nah, sekarang kan sudah bagus," katanya.
Tibalah giliran Razak Djalle. Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sulsel yang terkenal vokal atas komersialisasi Karebosi itu, tetap berdiri pada pendiriannya. "Karebosi bagaikan Palestina yang diobok-obok Israel," tegasnya.
Razak masih bicara. Tetapi dari barisan belakang peserta diskusi mulai terdengar celetukan-celutukan. Mereka meneriaki Razak. Keadaan pun mulai berubah. Sebagian peserta diskusi sudah tidak sabar memberikan pernyataan.
Moderator belum membuka sesi tanya jawab, tapi sudah banyak peserta diskusi yang berdiri. Mengacungkan jari. Jeda iklan Fajar FM membuat suasana sedikit tenang. Calon penanya mendaftar dengan tertib.
Dua penanya pertama, Bobi Patompo (putra mantan wali kota Makassar, Daeng Patompo) dan Asmin Amin (seniman, pengamat sosial budaya) memberikan statemennya tentang penataan Karebosi yang sudah dianggap bagus.
Forum makin hangat. Sampai tibalah giliran seorang lelaki berpakaian funky, Mayzir Yulanwar mengeluarkan pernyataan. Dia mengaku pemimpin redaksi majalahversi.net, sebuah media online. Ada hasil investigasinya.
"Wartawan saya melakukan investigasi. Katanya, Bang Hasan (pemilik PT Tosan, red), sempat curhat bahwa HPL belum dimiliki. Dia juga bilang kalau semua kegiatan di Karebosi harus minta izin ke Pak Wali dan PT Tosan," kata Mayzir.
Sebagian peserta diskusi mulai berdiri. Ada juga yang berteriak meminta Mayzir diam. Tetapi pria yang rumahnya berdekatan dengan rumah jabatan wali kota itu terus bicara. "Kami berharap, Pak Wali tak hanya berorientasi menyelamatkan jabatan."
Keadaan jadi kasip. Seorang pria berkemeja putih yang diketahui bernama Sugali Halim menghampiri Mayzir. Sugali yang dikenal sebagai tangan kanan Ilham itu, meraih paksa mikrofon. "Tidak benar ini. Pernyataannya sudah melenceng," teriak dia.
Beberapa detik setelah Sugali memegang mikrofon, seorang pria juga maju. Dia terlihat menyentuh wajah Mayzir. Lumayan keras. Aksi itulah yang memancing beberapa orang lainnya untuk menyerang Mayzir.
Mayzir terdesak ke sudut ruangan. Tetapi para loyalis Ilham terus mengejar. Suasana makin tak terkendali. Ada yang mengangkat kursi. Keributan terjadi selama beberapa menit di depan seorang wali kota.
Sekelompok mahasiswa yang tidak jelas asal muasalnya pun juga ikut terlibat dalam kericuhan ini. Beberapa di antara mereka terlihat mengangkat kursi dan berteriak secara brutal. Pihak sekuriti mesti bekerja keras mengamankan mereka.
Setelah beberapa saat, kondisi mulai mereda. Para pengacau diusir. Ilham diberi mikrofon. "Saya sangat menyesalkan kejadian ini. Ini kan diskusi. Boleh beda pendapat, tapi jangan main fisik," tegas Ilham sambil berdiri.
Diskusi pun harus terhenti. Suasana memang perlahan reda, tak lagi kondusif. Anggota Kadin Sulsel, Ilham Aliem Bachri yang juga jadi pembicara tapi datang agak terlambat, bahkan belum sempat berbicara di forum.
Ilham masih memegang mikrofon. Dia mengaku sudah lama menanti forum seperti ini. Sebab dia bisa leluasa memberi penjelasan soal revitalisasi Karebosi. Tetapi momen ini dirusak sejumlah oknum. "Lain kali kita diskusi lagi, tapi pesertanya disaring," usul dia.
Sementara itu, Mutthalib sangat menyesalkan insiden ini. Menurut dia, dalam sebuah diskusi, beda pendapat itu biasa. Sangat disayangkan kalau ada yang anarkis. "Kejadian itu sangat memalukan," ujar dia.
Masih menurut Mutthalib, statemen-statemen dalam diskusi itu masih wajar. Semua yang hadir di forum pun adalah komunitas intelek yang berani berdebat. "Bukan berani menyerang, mengeroyok. Peristiwa ini adalah brutalisme," kuncinya. Meski sempat ternoda, diskusi membahas Karebosi sebagai Meeting Point, dengan audiens yang lebih terbatas, akan tetap digelar. Wali Kota Ilham Arief dan Binsar dari PT Tosan, menyatakan siap kembali hadir. "Forum ini bagus sekali. Saya sangat senang. Bahkan forum semacam ini sudah saya nantikan selama tiga tahun. Karena itu, kita rancang lagi diskusi berikutnya," ujar Ilham. Mendengar kesiapan Ilham, Binsar yang berada tak jauh dari Wali Kota, juga menyatakan hal senada. "Saya juga siap hadir lagi," janjinya sebelum meninggalkan Graha Pena.
Makassar Selasa, 31 Agustus lalu, suhu di ruang redaksi Fajar cukup sejuk. Pendingin ruangan di semua sisi berfungsi dengan baik. Di panggung kecil berlapiskan karpet cokelat, empat orang duduk mengitari sebuah meja bundar.
Abdul Razak Djalle, Binsar Samosir, Abdul Mutthalib, dan Ilham Arief Sirajuddin bersandar di sofa. Mereka jadi pembicara pada diskusi publik bertajuk Karebosi sebagai Meeting Point. Wakil Pemimpin Redaksi Fajar, Muhammad Yusuf AR, menjadi moderator.
Ilham dapat kesempatan pertama. Wali kota Makassar itu membawa dokumen yang tebalnya kira-kira 10 sentimeter. Ditaruh di meja. "Dulu Karebosi itu banjir kalau musim hujan, berdebu saat kemarau," katanya. Alasan itulah yang menurut Ilham menjadi awal munculnya ide revitalisasi Karebosi. Sayembara pun digelar. Melibatkan banyak orang dari beragam latar belakang. Pria 44 tahun itu pun menjamin tidak ada yang keluar dari konsep awal revitalisasi.
Ilham yang kemarin memakai setelan jas dan berpeci hitam pun mengklaim, kini Karebosi makin nyaman. Orang-orang bisa berolahraga dengan bebas. "Saya heran kalau ada yang bilang sulit masuk lapangan Karebosi," akunya. Wali kota juga menyebut, tender revitalisasi Karebosi dilakukan terbuka. Diiklankan di koran. Kala itu, katanya, pengumuman dilakukan dua kali. Tapi hanya PT Tosan Prima Lestari yang mendaftar. Penunjukan langsung pun jadi pilihan.
Forum mulai hangat. Yusuf kemudian mempersilakan Binsar berbicara. Direktur PT Tosan itu memberi statemen singkat. Tidak sampai lima menit. "Kami terlibat di sini karena ada peluang bisnis sekaligus membantu membangun kota Makassar," ucapnya. Soal pembangunan fujasera di atas lapangan Karebosi yang kini jadi pro kontra, Binsar juga punya alibi. Kata dia, fujasera itu baru dikerjakan karena pihak investor terlebih dahulu menyelesaikan terowongan yang menjadi penghubung.
Mutthalib yang Direktur LBH Makassar, duduk di samping Binsar. Dia pakai kemeja putih. Kacamata menempel di batang hidung. "Saya tidak merasa Karebosi sebagai public space lagi. Ada pagar tinggi dan satpam di sana," ujarnya. Mutthalib juga menyebut bahwa Memorandum of Understanding (MoU) antara PT Tosan dan Pemkot Makassar tidak berkekuatan hukum. Hak Pengelolaan Lahan (HPL) belum ada. "Makanya PT Tosan sekarang mendesak agar HPL-nya dikeluarkan," ungkap Mutthalib.
Jebolan Fakultas Hukum UMI pun berharap, Citizen Law Suit yang diajukan LBH tak kalah lagi di Mahkamah Agung. Maklum, pada proses peradilan di dua level pengadilan, LBH dinyatakan kalah. "Pokoknya, Karebosi harus kembali jadi public space." imbuh dia. Ilham buru-buru ambil mikrofon. Dia langsung memberi respons atas pernyataan Mutthalib. "Mudah-mudahan Karebosi tidak kembali seperti dulu. Banjir. Di sana juga sarang maksiat. Nah, sekarang kan sudah bagus," katanya.
Tibalah giliran Razak Djalle. Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sulsel yang terkenal vokal atas komersialisasi Karebosi itu, tetap berdiri pada pendiriannya. "Karebosi bagaikan Palestina yang diobok-obok Israel," tegasnya.
Razak masih bicara. Tetapi dari barisan belakang peserta diskusi mulai terdengar celetukan-celutukan. Mereka meneriaki Razak. Keadaan pun mulai berubah. Sebagian peserta diskusi sudah tidak sabar memberikan pernyataan.
Moderator belum membuka sesi tanya jawab, tapi sudah banyak peserta diskusi yang berdiri. Mengacungkan jari. Jeda iklan Fajar FM membuat suasana sedikit tenang. Calon penanya mendaftar dengan tertib.
Dua penanya pertama, Bobi Patompo (putra mantan wali kota Makassar, Daeng Patompo) dan Asmin Amin (seniman, pengamat sosial budaya) memberikan statemennya tentang penataan Karebosi yang sudah dianggap bagus.
Forum makin hangat. Sampai tibalah giliran seorang lelaki berpakaian funky, Mayzir Yulanwar mengeluarkan pernyataan. Dia mengaku pemimpin redaksi majalahversi.net, sebuah media online. Ada hasil investigasinya.
"Wartawan saya melakukan investigasi. Katanya, Bang Hasan (pemilik PT Tosan, red), sempat curhat bahwa HPL belum dimiliki. Dia juga bilang kalau semua kegiatan di Karebosi harus minta izin ke Pak Wali dan PT Tosan," kata Mayzir.
Sebagian peserta diskusi mulai berdiri. Ada juga yang berteriak meminta Mayzir diam. Tetapi pria yang rumahnya berdekatan dengan rumah jabatan wali kota itu terus bicara. "Kami berharap, Pak Wali tak hanya berorientasi menyelamatkan jabatan."
Keadaan jadi kasip. Seorang pria berkemeja putih yang diketahui bernama Sugali Halim menghampiri Mayzir. Sugali yang dikenal sebagai tangan kanan Ilham itu, meraih paksa mikrofon. "Tidak benar ini. Pernyataannya sudah melenceng," teriak dia.
Beberapa detik setelah Sugali memegang mikrofon, seorang pria juga maju. Dia terlihat menyentuh wajah Mayzir. Lumayan keras. Aksi itulah yang memancing beberapa orang lainnya untuk menyerang Mayzir.
Mayzir terdesak ke sudut ruangan. Tetapi para loyalis Ilham terus mengejar. Suasana makin tak terkendali. Ada yang mengangkat kursi. Keributan terjadi selama beberapa menit di depan seorang wali kota.
Sekelompok mahasiswa yang tidak jelas asal muasalnya pun juga ikut terlibat dalam kericuhan ini. Beberapa di antara mereka terlihat mengangkat kursi dan berteriak secara brutal. Pihak sekuriti mesti bekerja keras mengamankan mereka.
Setelah beberapa saat, kondisi mulai mereda. Para pengacau diusir. Ilham diberi mikrofon. "Saya sangat menyesalkan kejadian ini. Ini kan diskusi. Boleh beda pendapat, tapi jangan main fisik," tegas Ilham sambil berdiri.
Diskusi pun harus terhenti. Suasana memang perlahan reda, tak lagi kondusif. Anggota Kadin Sulsel, Ilham Aliem Bachri yang juga jadi pembicara tapi datang agak terlambat, bahkan belum sempat berbicara di forum.
Ilham masih memegang mikrofon. Dia mengaku sudah lama menanti forum seperti ini. Sebab dia bisa leluasa memberi penjelasan soal revitalisasi Karebosi. Tetapi momen ini dirusak sejumlah oknum. "Lain kali kita diskusi lagi, tapi pesertanya disaring," usul dia.
Sementara itu, Mutthalib sangat menyesalkan insiden ini. Menurut dia, dalam sebuah diskusi, beda pendapat itu biasa. Sangat disayangkan kalau ada yang anarkis. "Kejadian itu sangat memalukan," ujar dia.
Masih menurut Mutthalib, statemen-statemen dalam diskusi itu masih wajar. Semua yang hadir di forum pun adalah komunitas intelek yang berani berdebat. "Bukan berani menyerang, mengeroyok. Peristiwa ini adalah brutalisme," kuncinya. Meski sempat ternoda, diskusi membahas Karebosi sebagai Meeting Point, dengan audiens yang lebih terbatas, akan tetap digelar. Wali Kota Ilham Arief dan Binsar dari PT Tosan, menyatakan siap kembali hadir. "Forum ini bagus sekali. Saya sangat senang. Bahkan forum semacam ini sudah saya nantikan selama tiga tahun. Karena itu, kita rancang lagi diskusi berikutnya," ujar Ilham. Mendengar kesiapan Ilham, Binsar yang berada tak jauh dari Wali Kota, juga menyatakan hal senada. "Saya juga siap hadir lagi," janjinya sebelum meninggalkan Graha Pena.
Kamis, 02 September 2010
Politik Perbatasan ; Malaysia Cerdik Manfaatkan Laut Indonesia
Oleh : Victor PH Nikijuluw
Semporna adalah sebuah kota kecil di pantai timur Sabah, Kalimantan Utara. Berjarak kira-kira 108 kilometer dari Tawau, kota ini dapat dengan mudah dicapai dengan mobil melalui jalan mulus seperti jalan tol. Di Tawau ada lapangan udara yang memudahkan wisatawan mancangera datang ke kota ini, dan, tentu saja ke Semporna. Juga di Tawau, ada banyak orang Indonesia yang hidup dan bekerja. Tersedia kapal feri dari Tawau ke Nunukan. Tetapi di Semporna,, tidak begitu banyak orang Indonesia hidup di sini, kecuali nelayan asal Kalimantan Timur yang sering datang menjual ikan hasil tangkapannya di pelabuhan perikanan di jantung kota itu. Namun, sungguh tidak mudah membedakan antara nelayan Indonesia dan Malaysia di Semporna. Mereka sudah saling membaur.
Apa hebatnya Semporna? Ternyata ini adalah kota tujuan wisata bahari yang cukup bergengsi di Malaysia Timur. Sebagian besar bisnis di Semporna ada kaitannya dengan pariwisata bahari sebagai bisnis inti. Kendati hanya memiliki beberapa hotel berbintang, namun penginapan atau hotel kelas melati cukup banyak tersedia di kota ini. Restoran seafood, money changer, dan travel agent bertebaran di sepanjang jalan kota. Semporna juga memiliki banyak perusahaan yang menawarkan jasa diving, snorkeling, serta wisata eksklusif yaitu berdiam atau menginap di pulau kecil yang terasing atau terpencil letaknya.
Pelancong dunia datang ke Semporna, di antaranya untuk menikmati pulau Sipadan dan Ligitan. Kedua pulau ini, yang dahulu milik Indonesia, sekarang adalah bagian dari teritorial kota Semporna. Kedua pulau ini adalah icon pariwisata Malaysia, mesin utama penggerak ekonomi Semporna.
Sipadan dan Ligitan sudah dipromosi Malaysia sebagai miliknya sejak tahun 1970-an, jauh sebelum Indonesia kalah dalam persidangan perebutan kedua pulau ini di mahkamah internasional. Itulah kepandaian Malaysia yang memanfaatkan ignoransi Indonesia.
Pemberitaan yang luas tentang perebutan atas status pemilikan kedua pulau tersebut ternyata menjadi ajang promosi gratis. Maka wajar, ketika sesudah diputuskan mahkamah internasional sebagai bukan milik Indonesia tetapi Malaysia, pelancong pun antri datang ke kedua pulau kecil ini . Dengan kehendak politik serta keseriusan sektor swastanya, Malaysia kemudian mengelola, mengembangkan dan memanfaatkan kedua pulau ini sebagai tujuan wisata eksklusif yang hanya dapat dinikmati oleh mereka yang berkantong tebal.
Sangalaki
Ternyata bukan Sipadan dan Ligitan saja yang dijual Malaysia melalui promosi sistemik melalui berbagai media komunikasi. Dengan basis di kota Semporna, mereka juga menjual jasa kepada wisatawan asing untuk berkunjung ke pulau-pulau kecil yang dimiliki Indonesia. Sepertinya, kejadian ini tidak dipahami, tidak diketahui, atau bahkan sengaja dibiarkan oleh pihak Indonesia.
Pulau-pulau yang dijual jasanya tersebut adalah Pulau Sangalaki, Pulau Kakaban, Pulau Maratua, dan Kepulauan Derawan yang terletak jauh di selatan Semporna yang merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.
Karena permintaan sektor pariwisata dunia yang terus berkembang serta keterbatasan ruang dan sumberdaya di wilayah Semporna maka Malaysia pun menoleh ke selatan, masuk jauh ke wilayah Indonesia, menjual jasa keindahan luar biasa yang ada di pulau-pulau Indonesia itu. Setiap hari, selalu ada kapal pesiar yang membawa wisatawan mancanegara berkunjung ke pulau-pulau tersebut. Mereka umumnya terbang dari negaranya via Kuala Lumpur atau Singapura kemudian ke Kota Kinibalu, ke Tawau dan melalui darat ke Semporna. Jadi pasti bahwa, wisatawan mancanegara itu tidak tahu tentang kota-kota seperti Jakarta, Balikpapan, Berau, atau Nunukan.
Jasa yang ditawarkan pihak Malaysia ini tentu saja dapat memberi dampak positip bagi perkenomian lokal di Kabupaten Berau. Namun hal ini hanya terjadi bila wisatawan membelanjakan uangnya di pulau-pulau ini. Bila mereka menginap di rumah penduduk maka dampak positip bisa juga dinikmati penduduk. Memang ada beberapa hotel yang berbentuk small island resort di pulau-pulau ini. Entah siapa pemiliknya, pengusaha Indonesia atau Malaysia. Dari harga berbagai paket wisata yang ditawarkan oleh biro perjalanan di Semporna, tampaknya sangat kecil dampak kegiatan pariwisata ini terhadap ekonomi lokal Indonesia.
Di berbagai informasi dalam bentuk brosur, stiker, atau poster yang dibagi-bagikan di Semporna, tidak ada pernyataan atau keterangan bahwa pulau-pulau itu adalah milik atau terletak di wilayah Indonesia. Hanya dikatakan bahwa pulau-pulau tersebut adalah bagian dari Borneo Island. Memang tidak salah informasi tersebut. Sebagian kecil pulau Borneo (Kalimantan) pun adalah milik Malaysia. Tetapi bagi wisatawan asing, mereka mungkin tidak paham dan tidak berpikir, pulau-pulau itu berada di bagian Borneo yang masuk wilayah Indonesia. Jika demikian adanya maka ini adalah suatu kecerdasan Malaysia, sekaligus adalah kebodohan dan ketidaktahuan Indonesia.
Ada satu perusahaan perjalanan di Semporna yang mengoperasikan suatu kapal pesiar mewah dengan menggunakan nama “Celebes”. Kantor pusat perusahaan tersebut terletak di Kota Kinibalu bukan di Celebes (Sulawesi). Ternyata juga tidak ada bisnis perusahaan ini yang berlokasi di pulau Sulawesi. Mungkin perusahaan ini dimiliki oleh orang asal Sulawesi yang kini menjadi warga negara Malaysia dan bermukim di Kota Kinibalu. Mungkin juga karena wilayah bisnis atau operasi kapal pesiar ini adalah di Celebes Sea (laut Sulawesi). Akan tetapi penggunaan kata Celebes ini juga menarik untuk ditafsirkan.
Apakah wisatawan asing masuk ke wilayah pulau-pulau kecil Indonesia itu secara syah? Apakah mereka diwajibkan perusahaan Malaysia untuk memiliki visa Indonesia? Adakah kontrol oleh petugas imigrasi Indonesia di perbatasan, di tengah laut? Tidak ada jawaban pasti. Mungkin saja ada. Mungkin juga tidak.
Kelola Sendiri
Dengan ketidakpastian tentang dampak kegiatan perusahaan-perusahaan Malaysia di pulau-pulau kecil Indonesia ini serta kecenderungan arogansi, agresifitas dan ekspansionis Malaysia memanfaatkan suberdaya alam milik Indonesia maka tidak ada alternatif selain sekarang ini juga pemerintah Indonesia harus menghentikan kegiatan ini.
Di lapangan, aparat harus bertindak tegas, menegakkan hukum nasional dengan visi mempertahankan kedaulatan NKRI. Luka hati karena kekalahan Indonesia atas Sipadan dan Ligitan tidak akan tersembuhkan. Demikian pula, ulah Malaysia di kawasan Ambalat, yang tidak jauh dari pulau-pulau kecil ini, tidak akan terlupakan. Jangan sampai dominasi ekonomi oleh Malaysia di kawasan pulau-pulau kita ini menjadi embrio bagi tumbuhnya dominasi dalam dimensi yang lebih besar dan lebih kompleks di hari kemudian.
Karena itu pemerintah Indonesia harus membuka kesempatan berusaha yang seluas-luasnya bagi pengusaha nasional menanam modalnya di sini. Pemerintah Kalimantan Timur dan Kabupaten Berau patut menyiapkan daerahnya sebagai tujuan dan transit bagi wisatawan mancanegara yang ingin menikmati pulau-pulau kecil ini. Insentif bagi pengusaha lokal harus diberikan. Masyarakat di Berau dan penduduk pulau-pulau kecil ini harus diberdayakan untuk mengembangkan UKM yang ada kaitannya dengan pariwisata bahari sebagai bisnis inti.
Transportasi dan komunikasi yang selalu menjadi kendala tentu saja harus diatasi. Wisatawan mancanegara harus bisa mencapai Berau melalui Jakarta dan Balikpapan, sama mudahnya bila mereka mencapai Semporna melalui Kuala Lumpur dan Kota Kinibalu.
Sementara itu, perbankan patut memberi kredit modal usaha bagi pengusaha lokal untuk memulai dan mengembangkan bisnisnya dalam bidang ini. Dalih bahwa bisnis ini tidak layak didanai perbankan tidak bisa diterima akan sehat. Bila pengusaha dan UKM Malaysia saja bisa meraih dolar melalui bisnisnya dari Semporna, tentu saja bisnis ini akan lebih menguntungkan dilakukan dari Berau. Bila pengusaha Malaysia mampu, tentu saja pengusaha Indonesia tidak kalah kualitasnya. Tinggal bagaimana Indonesia mau sungguh-sungguh memanfaatkan peluang bisnis yang terbuka ini. Apakah Indonesia melihat keberadaan pulau-pulau kecil ini, tidak saja sebagai suatu peluang ekonomi tetapi juga sebagai kepentingan dan kedaulatan NKRI yang harus dilindungi.
Hari ini juga, Indonesia harus berbuat sesuatu. Ignoransi akan hal ini adalah bom waktu yang berpotensi menggoyangkan martabat dan kedaulatan NKRI. Karena dengan kecerdikannya, Malaysia akan terus memanfaatkan kelalaian dan kealpaan Indonesia . Ini tidak boleh terus terjadi.
Penulis adalah Resource Economist Alumni Lemhannas KSA-16, Tahun 2009
Semporna adalah sebuah kota kecil di pantai timur Sabah, Kalimantan Utara. Berjarak kira-kira 108 kilometer dari Tawau, kota ini dapat dengan mudah dicapai dengan mobil melalui jalan mulus seperti jalan tol. Di Tawau ada lapangan udara yang memudahkan wisatawan mancangera datang ke kota ini, dan, tentu saja ke Semporna. Juga di Tawau, ada banyak orang Indonesia yang hidup dan bekerja. Tersedia kapal feri dari Tawau ke Nunukan. Tetapi di Semporna,, tidak begitu banyak orang Indonesia hidup di sini, kecuali nelayan asal Kalimantan Timur yang sering datang menjual ikan hasil tangkapannya di pelabuhan perikanan di jantung kota itu. Namun, sungguh tidak mudah membedakan antara nelayan Indonesia dan Malaysia di Semporna. Mereka sudah saling membaur.
Apa hebatnya Semporna? Ternyata ini adalah kota tujuan wisata bahari yang cukup bergengsi di Malaysia Timur. Sebagian besar bisnis di Semporna ada kaitannya dengan pariwisata bahari sebagai bisnis inti. Kendati hanya memiliki beberapa hotel berbintang, namun penginapan atau hotel kelas melati cukup banyak tersedia di kota ini. Restoran seafood, money changer, dan travel agent bertebaran di sepanjang jalan kota. Semporna juga memiliki banyak perusahaan yang menawarkan jasa diving, snorkeling, serta wisata eksklusif yaitu berdiam atau menginap di pulau kecil yang terasing atau terpencil letaknya.
Pelancong dunia datang ke Semporna, di antaranya untuk menikmati pulau Sipadan dan Ligitan. Kedua pulau ini, yang dahulu milik Indonesia, sekarang adalah bagian dari teritorial kota Semporna. Kedua pulau ini adalah icon pariwisata Malaysia, mesin utama penggerak ekonomi Semporna.
Sipadan dan Ligitan sudah dipromosi Malaysia sebagai miliknya sejak tahun 1970-an, jauh sebelum Indonesia kalah dalam persidangan perebutan kedua pulau ini di mahkamah internasional. Itulah kepandaian Malaysia yang memanfaatkan ignoransi Indonesia.
Pemberitaan yang luas tentang perebutan atas status pemilikan kedua pulau tersebut ternyata menjadi ajang promosi gratis. Maka wajar, ketika sesudah diputuskan mahkamah internasional sebagai bukan milik Indonesia tetapi Malaysia, pelancong pun antri datang ke kedua pulau kecil ini . Dengan kehendak politik serta keseriusan sektor swastanya, Malaysia kemudian mengelola, mengembangkan dan memanfaatkan kedua pulau ini sebagai tujuan wisata eksklusif yang hanya dapat dinikmati oleh mereka yang berkantong tebal.
Sangalaki
Ternyata bukan Sipadan dan Ligitan saja yang dijual Malaysia melalui promosi sistemik melalui berbagai media komunikasi. Dengan basis di kota Semporna, mereka juga menjual jasa kepada wisatawan asing untuk berkunjung ke pulau-pulau kecil yang dimiliki Indonesia. Sepertinya, kejadian ini tidak dipahami, tidak diketahui, atau bahkan sengaja dibiarkan oleh pihak Indonesia.
Pulau-pulau yang dijual jasanya tersebut adalah Pulau Sangalaki, Pulau Kakaban, Pulau Maratua, dan Kepulauan Derawan yang terletak jauh di selatan Semporna yang merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.
Karena permintaan sektor pariwisata dunia yang terus berkembang serta keterbatasan ruang dan sumberdaya di wilayah Semporna maka Malaysia pun menoleh ke selatan, masuk jauh ke wilayah Indonesia, menjual jasa keindahan luar biasa yang ada di pulau-pulau Indonesia itu. Setiap hari, selalu ada kapal pesiar yang membawa wisatawan mancanegara berkunjung ke pulau-pulau tersebut. Mereka umumnya terbang dari negaranya via Kuala Lumpur atau Singapura kemudian ke Kota Kinibalu, ke Tawau dan melalui darat ke Semporna. Jadi pasti bahwa, wisatawan mancanegara itu tidak tahu tentang kota-kota seperti Jakarta, Balikpapan, Berau, atau Nunukan.
Jasa yang ditawarkan pihak Malaysia ini tentu saja dapat memberi dampak positip bagi perkenomian lokal di Kabupaten Berau. Namun hal ini hanya terjadi bila wisatawan membelanjakan uangnya di pulau-pulau ini. Bila mereka menginap di rumah penduduk maka dampak positip bisa juga dinikmati penduduk. Memang ada beberapa hotel yang berbentuk small island resort di pulau-pulau ini. Entah siapa pemiliknya, pengusaha Indonesia atau Malaysia. Dari harga berbagai paket wisata yang ditawarkan oleh biro perjalanan di Semporna, tampaknya sangat kecil dampak kegiatan pariwisata ini terhadap ekonomi lokal Indonesia.
Di berbagai informasi dalam bentuk brosur, stiker, atau poster yang dibagi-bagikan di Semporna, tidak ada pernyataan atau keterangan bahwa pulau-pulau itu adalah milik atau terletak di wilayah Indonesia. Hanya dikatakan bahwa pulau-pulau tersebut adalah bagian dari Borneo Island. Memang tidak salah informasi tersebut. Sebagian kecil pulau Borneo (Kalimantan) pun adalah milik Malaysia. Tetapi bagi wisatawan asing, mereka mungkin tidak paham dan tidak berpikir, pulau-pulau itu berada di bagian Borneo yang masuk wilayah Indonesia. Jika demikian adanya maka ini adalah suatu kecerdasan Malaysia, sekaligus adalah kebodohan dan ketidaktahuan Indonesia.
Ada satu perusahaan perjalanan di Semporna yang mengoperasikan suatu kapal pesiar mewah dengan menggunakan nama “Celebes”. Kantor pusat perusahaan tersebut terletak di Kota Kinibalu bukan di Celebes (Sulawesi). Ternyata juga tidak ada bisnis perusahaan ini yang berlokasi di pulau Sulawesi. Mungkin perusahaan ini dimiliki oleh orang asal Sulawesi yang kini menjadi warga negara Malaysia dan bermukim di Kota Kinibalu. Mungkin juga karena wilayah bisnis atau operasi kapal pesiar ini adalah di Celebes Sea (laut Sulawesi). Akan tetapi penggunaan kata Celebes ini juga menarik untuk ditafsirkan.
Apakah wisatawan asing masuk ke wilayah pulau-pulau kecil Indonesia itu secara syah? Apakah mereka diwajibkan perusahaan Malaysia untuk memiliki visa Indonesia? Adakah kontrol oleh petugas imigrasi Indonesia di perbatasan, di tengah laut? Tidak ada jawaban pasti. Mungkin saja ada. Mungkin juga tidak.
Kelola Sendiri
Dengan ketidakpastian tentang dampak kegiatan perusahaan-perusahaan Malaysia di pulau-pulau kecil Indonesia ini serta kecenderungan arogansi, agresifitas dan ekspansionis Malaysia memanfaatkan suberdaya alam milik Indonesia maka tidak ada alternatif selain sekarang ini juga pemerintah Indonesia harus menghentikan kegiatan ini.
Di lapangan, aparat harus bertindak tegas, menegakkan hukum nasional dengan visi mempertahankan kedaulatan NKRI. Luka hati karena kekalahan Indonesia atas Sipadan dan Ligitan tidak akan tersembuhkan. Demikian pula, ulah Malaysia di kawasan Ambalat, yang tidak jauh dari pulau-pulau kecil ini, tidak akan terlupakan. Jangan sampai dominasi ekonomi oleh Malaysia di kawasan pulau-pulau kita ini menjadi embrio bagi tumbuhnya dominasi dalam dimensi yang lebih besar dan lebih kompleks di hari kemudian.
Karena itu pemerintah Indonesia harus membuka kesempatan berusaha yang seluas-luasnya bagi pengusaha nasional menanam modalnya di sini. Pemerintah Kalimantan Timur dan Kabupaten Berau patut menyiapkan daerahnya sebagai tujuan dan transit bagi wisatawan mancanegara yang ingin menikmati pulau-pulau kecil ini. Insentif bagi pengusaha lokal harus diberikan. Masyarakat di Berau dan penduduk pulau-pulau kecil ini harus diberdayakan untuk mengembangkan UKM yang ada kaitannya dengan pariwisata bahari sebagai bisnis inti.
Transportasi dan komunikasi yang selalu menjadi kendala tentu saja harus diatasi. Wisatawan mancanegara harus bisa mencapai Berau melalui Jakarta dan Balikpapan, sama mudahnya bila mereka mencapai Semporna melalui Kuala Lumpur dan Kota Kinibalu.
Sementara itu, perbankan patut memberi kredit modal usaha bagi pengusaha lokal untuk memulai dan mengembangkan bisnisnya dalam bidang ini. Dalih bahwa bisnis ini tidak layak didanai perbankan tidak bisa diterima akan sehat. Bila pengusaha dan UKM Malaysia saja bisa meraih dolar melalui bisnisnya dari Semporna, tentu saja bisnis ini akan lebih menguntungkan dilakukan dari Berau. Bila pengusaha Malaysia mampu, tentu saja pengusaha Indonesia tidak kalah kualitasnya. Tinggal bagaimana Indonesia mau sungguh-sungguh memanfaatkan peluang bisnis yang terbuka ini. Apakah Indonesia melihat keberadaan pulau-pulau kecil ini, tidak saja sebagai suatu peluang ekonomi tetapi juga sebagai kepentingan dan kedaulatan NKRI yang harus dilindungi.
Hari ini juga, Indonesia harus berbuat sesuatu. Ignoransi akan hal ini adalah bom waktu yang berpotensi menggoyangkan martabat dan kedaulatan NKRI. Karena dengan kecerdikannya, Malaysia akan terus memanfaatkan kelalaian dan kealpaan Indonesia . Ini tidak boleh terus terjadi.
Penulis adalah Resource Economist Alumni Lemhannas KSA-16, Tahun 2009
32,7 Juta Jiwa Penduduk Miskin Indonesia
Penduduk miskin di Indonesia diprediksi akan bertambah menjadi 32,7 juta jiwa pada 2010, yang sebelumnya 32,5 juta jiwa pada tahun 2009. Kemiskinan tetap merangkak naik, walaupun perekonomian tumbuh 5,5- 5,9% pada tahun 2010.
Ekonom Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E LIPI), Agus Eko Nugroho mengatakan, peningkatan angka kemiskinan itu tidak bisa dihindari, karena adanya kenaikan inflasi sekitar 5,6%.
“Hal ini diperparah dengan mendominasinya industri telekomunikasi beberapa tahun terakhir, padahal industri itu hanya sedikit menyerap tenaga kerja. Untuk itu, pemerintah harus mendorong industri berbasis tenaga kerja, supaya angka kemiskinan menurun,” katanya usai diskusi Outlook Ekonomi Indonesia Tahun 2010 di Jakarta.
Tetapi, pada tahun 2009 terjadi penurunan angka pengangguran sebesar 200.000 jiwa. Sayangnya, hal itu hanya mengurangi sebagian kecil dari total angkatan kerja yang termasuk dalam pengangguran terbuka sebesar 8,8 juta jiwa. Dengan demikian, tingkat setengah pengangguran meningkat dari 31,57 juta menjadi 32,04 juta.
Dari data yang di sampaikan, tingkat kemiskinan tahun ini sebenarnya menurun 2,5 juta jiwa, jika dibandingkan 2008 yang mencapai 35 juta jiwa, atau setara dengan 15,4% dari total angkatan kerja.
Sementara itu, data BPS menyatakan, jumlah penduduk miskin pada Maret 2009 tercatat sebesar 31,53 juta jiwa atau sekitar 14,15%. Jumlah ini turun 2,43 juta jiwa dibandingkan Maret 2008 yang mencapai 34,96 juta jiwa atau sekitar 15,42%.
Menurut Agus, agar tingkat pertumbuhan ekonomi 2010 dapat menjadi berkualitas, pemerintah harus berfokus pada penguatan permintaan di pasar domestik, terutama untuk produk-produk konsumsi.
Senada dengan itu, Peneliti P2E-LIPI, Latif Adam menjelaskan, peningkatan permintaan domestik ini penting terutama sejak 2010 Indonesia akan melaksanakan perjanjian perdagangan bebas (FTA) ASEAN-Tiongkok.
“Hasil kajian LIPI menunjukkan, 60-70% produk impor asal Tiongkok yang masuk pasar domestik, merupakan barang substitusi untuk produk nasional. Hal itu ditambah dengan persoalan harga produk mereka yang lebih unggul, bahkan dapat memproduksi sepatu dengan biaya US$ 2 per pasang,” ungkapnya.
Rendahnya biaya produksi yang dicapai produsen Tiongkok, selain karena besarnya dukungan pemerintah melalui beragam insentif, juga karena unggulnya produktivitas tenaga kerjanya dibanding Indonesia.
Tumbuh 5,9%
LIPI optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan bakal mencapai pesat hingga 5,9%. Perkiraan ini lebih tinggi dibandingkan proyeksi pemerintah dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2010 yang hanya sekitar 5,5%.
“Pertumbuhan ekonomi ini didukung oleh konsumsi masyarakat yang masih meningkat 3-4%, menyusul adanya pemulihan ekonomi global. Di samping itu, investasi diperkirakan akan mencapai Rp 225,2 triliun, dengan perincian investasi jalur fasilitas mencapai Rp 280,86 triliun, investasi penanaman modal dalam negeri Rp 56,66 triliun, dan penanaman modal asing US$ 22,08 miliar,” jelas Agus.
Agus menegaskan, jika Indonesia mampu melihat momentum, kemungkinan ekonomi berpotensi tumbuh jauh di atas perkiraan pemerintah. Kondisi ekonomi Indonesia 2009 yang tetap positif menjadi modal besar meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sebagai catatan, kendati dilanda krisis, beberapa indikator makro ekonomi Indonesia tahun ini tidak terlalu mengecewakan.
Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, tingkat inflasi tahun depan ditargetkan sebesar 4,5%. Kenaikan inflasi itu sebagai hal yang wajar seiring perbaikan kondisi ekonomi global.”Ekonomi dunia akan tumbuh 3,1% tahun depan dibandingkan tahun ini yang mencapai minus 1,1%. Begitu juga dengan permintaan komoditas akan meningkat dan tentu meningkatnya harga, sehingga akan mempengaruhi laju inflasi,” ujarnya.
Ekonom Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E LIPI), Agus Eko Nugroho mengatakan, peningkatan angka kemiskinan itu tidak bisa dihindari, karena adanya kenaikan inflasi sekitar 5,6%.
“Hal ini diperparah dengan mendominasinya industri telekomunikasi beberapa tahun terakhir, padahal industri itu hanya sedikit menyerap tenaga kerja. Untuk itu, pemerintah harus mendorong industri berbasis tenaga kerja, supaya angka kemiskinan menurun,” katanya usai diskusi Outlook Ekonomi Indonesia Tahun 2010 di Jakarta.
Tetapi, pada tahun 2009 terjadi penurunan angka pengangguran sebesar 200.000 jiwa. Sayangnya, hal itu hanya mengurangi sebagian kecil dari total angkatan kerja yang termasuk dalam pengangguran terbuka sebesar 8,8 juta jiwa. Dengan demikian, tingkat setengah pengangguran meningkat dari 31,57 juta menjadi 32,04 juta.
Dari data yang di sampaikan, tingkat kemiskinan tahun ini sebenarnya menurun 2,5 juta jiwa, jika dibandingkan 2008 yang mencapai 35 juta jiwa, atau setara dengan 15,4% dari total angkatan kerja.
Sementara itu, data BPS menyatakan, jumlah penduduk miskin pada Maret 2009 tercatat sebesar 31,53 juta jiwa atau sekitar 14,15%. Jumlah ini turun 2,43 juta jiwa dibandingkan Maret 2008 yang mencapai 34,96 juta jiwa atau sekitar 15,42%.
Menurut Agus, agar tingkat pertumbuhan ekonomi 2010 dapat menjadi berkualitas, pemerintah harus berfokus pada penguatan permintaan di pasar domestik, terutama untuk produk-produk konsumsi.
Senada dengan itu, Peneliti P2E-LIPI, Latif Adam menjelaskan, peningkatan permintaan domestik ini penting terutama sejak 2010 Indonesia akan melaksanakan perjanjian perdagangan bebas (FTA) ASEAN-Tiongkok.
“Hasil kajian LIPI menunjukkan, 60-70% produk impor asal Tiongkok yang masuk pasar domestik, merupakan barang substitusi untuk produk nasional. Hal itu ditambah dengan persoalan harga produk mereka yang lebih unggul, bahkan dapat memproduksi sepatu dengan biaya US$ 2 per pasang,” ungkapnya.
Rendahnya biaya produksi yang dicapai produsen Tiongkok, selain karena besarnya dukungan pemerintah melalui beragam insentif, juga karena unggulnya produktivitas tenaga kerjanya dibanding Indonesia.
Tumbuh 5,9%
LIPI optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan bakal mencapai pesat hingga 5,9%. Perkiraan ini lebih tinggi dibandingkan proyeksi pemerintah dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2010 yang hanya sekitar 5,5%.
“Pertumbuhan ekonomi ini didukung oleh konsumsi masyarakat yang masih meningkat 3-4%, menyusul adanya pemulihan ekonomi global. Di samping itu, investasi diperkirakan akan mencapai Rp 225,2 triliun, dengan perincian investasi jalur fasilitas mencapai Rp 280,86 triliun, investasi penanaman modal dalam negeri Rp 56,66 triliun, dan penanaman modal asing US$ 22,08 miliar,” jelas Agus.
Agus menegaskan, jika Indonesia mampu melihat momentum, kemungkinan ekonomi berpotensi tumbuh jauh di atas perkiraan pemerintah. Kondisi ekonomi Indonesia 2009 yang tetap positif menjadi modal besar meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sebagai catatan, kendati dilanda krisis, beberapa indikator makro ekonomi Indonesia tahun ini tidak terlalu mengecewakan.
Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, tingkat inflasi tahun depan ditargetkan sebesar 4,5%. Kenaikan inflasi itu sebagai hal yang wajar seiring perbaikan kondisi ekonomi global.”Ekonomi dunia akan tumbuh 3,1% tahun depan dibandingkan tahun ini yang mencapai minus 1,1%. Begitu juga dengan permintaan komoditas akan meningkat dan tentu meningkatnya harga, sehingga akan mempengaruhi laju inflasi,” ujarnya.
Kronologi Bentrok Buol Versi Komnas HAM
Lima orang tewas dalam bentrok antara warga dan polisi di kantor Kepolisian Sektor (Polsek) Biau, Buol, Sulawesi Tengah, semalam. Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) menyayangkan insiden ini.
Dalam rilis yang diterima VIVAnews, Rabu 1 September 2010, Komnas HAM menjabarkan kronologi kejadian. Berikut kronologi versi Komnas HAM:
Selasa 31 Agustus 2010 (keterangan waktu dalam WITA)
23.25: 11 orang terluka tertembak, 2 orang meninggal, satu orang berumur 17 tahun. Satu orang kena peluru tajam di bagian kaki.
23.26: 14 orang luka-luka
23.47: Satu korban tertembak
23.59: 18 korban masuk rumah sakit dan tiga dinyatakan meninggal. Suharto Dotutinggi tertembak pada bagian paha dari peluru nyasar.
Rabu 1 September 2010
00.33: Dari arah Polsek Biau masih terdengar suara tembakan
00.39: Salah satu korban yang tertembak pada bagian perut dan mengakibatkan ususnya keluar, terindentifikasi. Namanya Ling, umur 17 tahun dan beralamat di Kelurahan Kali Kompleks MTS.
00.48: Sutarto Tarungku tertembak pada bagian perut
01.02: Massa masih menyerang Polsek di kompleks stadion mini Buol
01.15: JFC Buol memasukkan 16 nama korban luka-luka
01.22: Massa berjatuhan di depan Polsek Biau
01.25: Oi Suara Hati memasukkan anggotanya yang tertembak di pelipis atas nama Sunding
01.32: Saktipan Kapuung, PNS, kena tembak di perut, Ading Turungku kena tembak di kaki.
02.49: Polisi membuang letusan kepada masyarakat yang mencoba keluar dari rumah di Leok I
03.05: 7 orang kritis, total korban berjumlah 26 orang. 4 truk polisi melewati rumah sakit Buol sambil membuang letusan karena pada saat itu massa sudah berkerumun di depan rumah sakit untuk melihat korban yang meninggal dan luka-luka
03.18: Tiga jasad sudah dikembalikan kepada keluarga
05.01: Tim AKBAR melaporkan nama-nama yang tertembak dalam kondisi koma: Alimin, Dadang, Ukeng
05.21: Rasyid Johori meninggal di rumah sakit Buol. Sebelumnya, korban sempat kritis karena kepala tertembak hingga isi kepala berhamburan.
07.06: Tiga truk tentara dan dua truk polisi dari arah Toli-toli menuju Buol
Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) mendata korban tewas dan terluka. Seperti dikutip dari rilis Komnas HAM, Rabu 1 September 2010, berikut data para korban tewas:
1. Herman (24), mahasiswa STISIP Buol dan PNS Dinas Tata Kota dan Tata Ruang Kabupaten Buol
2. Arman S Adjalu (18), mahasiswa STISIP Buol
3. Ridwan (21), beralamat di Kelurahan Leok I
4. Rasyid Johari (42), beralamat di Kelurahan Leok II
5. Ling (17), beralamat di Kali, Kompleks MTs Buol
Sementara itu, 24 warga menderita luka ringan sampai kritis. Sebagian korban terluka karena tembakan. Berikut data korban luka:
1. Firman Alimin (30), kritis tertembak di leher depan
2. Ukeng (35), kritis tertembak di bagian dada
3. Syamsudin Monoarfa, kritis tertembak di bagian mata
4. Saktipan Kapuung, kritis tertembak di bagian perut
5. Agus Salim, luka tertembak di bagian bokong
6. Amran US Ta'rif, luka di bagian dada
7. Irfan, terluka di bagian tangan
8. Abd Rahim M Muli, luka
9. Sudirman Mahmud, tertembak di bagian paha
10. Jurdin Badalu, luka
11. Murhamu, luka
12. Noldi, luka
13. Irman Hadi, luka
14. Sutarto Turungku, tertembak di bagian paha
15. Sutomo, luka
16. M Yasin, luka
17. Ending, luka pelipis wajah
18. Ading Turungku, tertembak di bagian kaki
19. Abdurahman N Dausi, tertembak
20. Suharto Dotutinggi, luka
21. Armando, tertembak di bagian wajah
22. Abraham, tertembak di bagian pipi
23. Hamdani Idris, tertembak di bagian lengan
24. Dadang (28), tertembak.
Dalam rilis yang diterima VIVAnews, Rabu 1 September 2010, Komnas HAM menjabarkan kronologi kejadian. Berikut kronologi versi Komnas HAM:
Selasa 31 Agustus 2010 (keterangan waktu dalam WITA)
23.25: 11 orang terluka tertembak, 2 orang meninggal, satu orang berumur 17 tahun. Satu orang kena peluru tajam di bagian kaki.
23.26: 14 orang luka-luka
23.47: Satu korban tertembak
23.59: 18 korban masuk rumah sakit dan tiga dinyatakan meninggal. Suharto Dotutinggi tertembak pada bagian paha dari peluru nyasar.
Rabu 1 September 2010
00.33: Dari arah Polsek Biau masih terdengar suara tembakan
00.39: Salah satu korban yang tertembak pada bagian perut dan mengakibatkan ususnya keluar, terindentifikasi. Namanya Ling, umur 17 tahun dan beralamat di Kelurahan Kali Kompleks MTS.
00.48: Sutarto Tarungku tertembak pada bagian perut
01.02: Massa masih menyerang Polsek di kompleks stadion mini Buol
01.15: JFC Buol memasukkan 16 nama korban luka-luka
01.22: Massa berjatuhan di depan Polsek Biau
01.25: Oi Suara Hati memasukkan anggotanya yang tertembak di pelipis atas nama Sunding
01.32: Saktipan Kapuung, PNS, kena tembak di perut, Ading Turungku kena tembak di kaki.
02.49: Polisi membuang letusan kepada masyarakat yang mencoba keluar dari rumah di Leok I
03.05: 7 orang kritis, total korban berjumlah 26 orang. 4 truk polisi melewati rumah sakit Buol sambil membuang letusan karena pada saat itu massa sudah berkerumun di depan rumah sakit untuk melihat korban yang meninggal dan luka-luka
03.18: Tiga jasad sudah dikembalikan kepada keluarga
05.01: Tim AKBAR melaporkan nama-nama yang tertembak dalam kondisi koma: Alimin, Dadang, Ukeng
05.21: Rasyid Johori meninggal di rumah sakit Buol. Sebelumnya, korban sempat kritis karena kepala tertembak hingga isi kepala berhamburan.
07.06: Tiga truk tentara dan dua truk polisi dari arah Toli-toli menuju Buol
Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) mendata korban tewas dan terluka. Seperti dikutip dari rilis Komnas HAM, Rabu 1 September 2010, berikut data para korban tewas:
1. Herman (24), mahasiswa STISIP Buol dan PNS Dinas Tata Kota dan Tata Ruang Kabupaten Buol
2. Arman S Adjalu (18), mahasiswa STISIP Buol
3. Ridwan (21), beralamat di Kelurahan Leok I
4. Rasyid Johari (42), beralamat di Kelurahan Leok II
5. Ling (17), beralamat di Kali, Kompleks MTs Buol
Sementara itu, 24 warga menderita luka ringan sampai kritis. Sebagian korban terluka karena tembakan. Berikut data korban luka:
1. Firman Alimin (30), kritis tertembak di leher depan
2. Ukeng (35), kritis tertembak di bagian dada
3. Syamsudin Monoarfa, kritis tertembak di bagian mata
4. Saktipan Kapuung, kritis tertembak di bagian perut
5. Agus Salim, luka tertembak di bagian bokong
6. Amran US Ta'rif, luka di bagian dada
7. Irfan, terluka di bagian tangan
8. Abd Rahim M Muli, luka
9. Sudirman Mahmud, tertembak di bagian paha
10. Jurdin Badalu, luka
11. Murhamu, luka
12. Noldi, luka
13. Irman Hadi, luka
14. Sutarto Turungku, tertembak di bagian paha
15. Sutomo, luka
16. M Yasin, luka
17. Ending, luka pelipis wajah
18. Ading Turungku, tertembak di bagian kaki
19. Abdurahman N Dausi, tertembak
20. Suharto Dotutinggi, luka
21. Armando, tertembak di bagian wajah
22. Abraham, tertembak di bagian pipi
23. Hamdani Idris, tertembak di bagian lengan
24. Dadang (28), tertembak.
Perangko Narsistis Gubernur Jawa Barat
Bersilaturrahim saat Lebaran dengan berkirim kartu ucapan adalah hal biasa. Juga biasa bila mengirimkan kartu Lebaran kepada kenalan dan keluarga dengan prangko bergambar diri pribadi. Tetapi, menjadi luar biasa ketika kartu Lebaran berprangko foto pribadi itu dibiayai dengan uang negara.
Tentu tidak sembarang orang yang bisa begini. Orang yang bukan sembarang itu ternyata Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan. Untuk kepentingan berkirim kartu Lebaran itu, Ahmad mengalokasikan Rp1,7 miliar pada anggaran Pemerintah Provinsi Jawa Barat tahun ini. Dari jumlah itu, Rp700 juta dialokasikan untuk ongkos cetak kartu Lebaran dan Rp1,012 miliar untuk prangko bergambar Ahmad Heryawan. Kartu Lebaran berprangko Pak Gubernur itu kelak dikirimkan kepada 450 ribu kolega dan pejabat di Jawa Barat hingga ke tingkat RT.
Orang boleh saja mengatakan Pak Gubernur sedang mengidap gejala narsisisme, sebuah kompleks psikologis yang menggambarkan berlebihannya perasaan cinta terhadap diri sendiri. Karena cintanya terhadap diri sendiri, Pak Gubernur ngebet mencetak prangko bergambar dirinya. Karena cintanya terhadap diri sendiri, Pak Gubernur merasa syur dan ingin agar 450 ribu koleganya melihat wajah dirinya tercetak di prangko. Benarkah itu murni narsisisme?
Narsisisme sendiri sesungguhnya sah dan boleh-boleh saja. Apalagi bila itu masih sebatas urusan pribadi yang tidak mengganggu ukuran-ukuran kepatutan dan kepantasan. Yang tidak boleh adalah syahwat narsisisme yang mengorbankan kepentingan publik.
Menggunakan uang negara untuk mencetak kartu Lebaran dan prangko bergambar diri jelas bukan semata narsisistis, melainkan sudah merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan.
Menggunakan dana Rp1,7 miliar hanya untuk berkirim kartu Lebaran sudah tidak patut. Apalagi jika uang yang dipergunakan untuk itu berasal dari kas negara yang tidak lain adalah uang rakyat.
Semangat narsisisme yang dibiayai uang negara ini juga mencerminkan rendahnya sensitivitas terhadap penderitaan rakyat. Ribuan rakyat miskin yang kelaparan bisa diberi makan dengan Rp1,7 miliar. Puluhan sekolah dasar bisa dibangun dengan dana sebanyak itu.
Semestinya, Ahmad Heryawan menggunakan dana pribadi bila ingin mencetak prangko itu. Itu kepatutan yang semestinya diketahui pejabat publik. Kenapa mesti melabrak kepatutan hanya karena hendak mengirim kartu Lebaran?
Masih banyak agenda yang harus dilakukan di Jawa Barat daripada sekadar menghamburkan uang negara secara mubazir. Apalagi janji kampanye Ahmad Heryawan juga masih banyak yang belum terpenuhi. Sebut saja janji menciptakan sejuta lapangan kerja yang masih jauh panggang dari api.
Karena itu, batalkan pencetakan prangko. Alihkan dana untuk yang lebih memberikan maslahat daripada mudarat. Mematut-matutkan diri agar terpilih kembali sebagai gubernur boleh-boleh saja. Tetapi, jangan gunakan fasilitas publik.
Proyek kartu lebaran dan perangko bergambar Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan mendapat kecaman dari berbagai pihak. Sebagai bentuk protes, puluhan aktivis Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Bandung Raya berunjuk rasa dengan berjalan dari Mesjid Pusdai menuju Kompleks Gedung Sate. Para mahasiswa menilai, proyek kartu lebaran dan perangko bergambar gubernur mengambil biaya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan sama artinya dengan menghamburkan uang rakyat. Menurut mereka, gubernur harusnya lebih peka terhadap nasib rakyat yang kini dililit bermacam persoalan, termasuk kesulitan ekonomi.
Aksi protes mahasiswa itu tidak ditanggapi pihak eksekutif.
Berkaitan dengan kasus kartu lebaran itu, empat anggota DPRD Jawa Barat, mendatangi ke Kantor Pos Besar Bandung untuk memperoleh informasi lengkap soal perangko dan kartu lebaran bergambar Gubernur Jawa Barat, Rabu (1/9). Anggota dewan menilai, pesanan kartu lebaran bergambar gubernur tidak layak.
Pihak Kantor Pos Besar Bandung membenarkan adanya pesanan atas kartu lebaran dan prangko itu dari pihak gubernur.
Tentu tidak sembarang orang yang bisa begini. Orang yang bukan sembarang itu ternyata Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan. Untuk kepentingan berkirim kartu Lebaran itu, Ahmad mengalokasikan Rp1,7 miliar pada anggaran Pemerintah Provinsi Jawa Barat tahun ini. Dari jumlah itu, Rp700 juta dialokasikan untuk ongkos cetak kartu Lebaran dan Rp1,012 miliar untuk prangko bergambar Ahmad Heryawan. Kartu Lebaran berprangko Pak Gubernur itu kelak dikirimkan kepada 450 ribu kolega dan pejabat di Jawa Barat hingga ke tingkat RT.
Orang boleh saja mengatakan Pak Gubernur sedang mengidap gejala narsisisme, sebuah kompleks psikologis yang menggambarkan berlebihannya perasaan cinta terhadap diri sendiri. Karena cintanya terhadap diri sendiri, Pak Gubernur ngebet mencetak prangko bergambar dirinya. Karena cintanya terhadap diri sendiri, Pak Gubernur merasa syur dan ingin agar 450 ribu koleganya melihat wajah dirinya tercetak di prangko. Benarkah itu murni narsisisme?
Narsisisme sendiri sesungguhnya sah dan boleh-boleh saja. Apalagi bila itu masih sebatas urusan pribadi yang tidak mengganggu ukuran-ukuran kepatutan dan kepantasan. Yang tidak boleh adalah syahwat narsisisme yang mengorbankan kepentingan publik.
Menggunakan uang negara untuk mencetak kartu Lebaran dan prangko bergambar diri jelas bukan semata narsisistis, melainkan sudah merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan.
Menggunakan dana Rp1,7 miliar hanya untuk berkirim kartu Lebaran sudah tidak patut. Apalagi jika uang yang dipergunakan untuk itu berasal dari kas negara yang tidak lain adalah uang rakyat.
Semangat narsisisme yang dibiayai uang negara ini juga mencerminkan rendahnya sensitivitas terhadap penderitaan rakyat. Ribuan rakyat miskin yang kelaparan bisa diberi makan dengan Rp1,7 miliar. Puluhan sekolah dasar bisa dibangun dengan dana sebanyak itu.
Semestinya, Ahmad Heryawan menggunakan dana pribadi bila ingin mencetak prangko itu. Itu kepatutan yang semestinya diketahui pejabat publik. Kenapa mesti melabrak kepatutan hanya karena hendak mengirim kartu Lebaran?
Masih banyak agenda yang harus dilakukan di Jawa Barat daripada sekadar menghamburkan uang negara secara mubazir. Apalagi janji kampanye Ahmad Heryawan juga masih banyak yang belum terpenuhi. Sebut saja janji menciptakan sejuta lapangan kerja yang masih jauh panggang dari api.
Karena itu, batalkan pencetakan prangko. Alihkan dana untuk yang lebih memberikan maslahat daripada mudarat. Mematut-matutkan diri agar terpilih kembali sebagai gubernur boleh-boleh saja. Tetapi, jangan gunakan fasilitas publik.
Proyek kartu lebaran dan perangko bergambar Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan mendapat kecaman dari berbagai pihak. Sebagai bentuk protes, puluhan aktivis Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Bandung Raya berunjuk rasa dengan berjalan dari Mesjid Pusdai menuju Kompleks Gedung Sate. Para mahasiswa menilai, proyek kartu lebaran dan perangko bergambar gubernur mengambil biaya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan sama artinya dengan menghamburkan uang rakyat. Menurut mereka, gubernur harusnya lebih peka terhadap nasib rakyat yang kini dililit bermacam persoalan, termasuk kesulitan ekonomi.
Aksi protes mahasiswa itu tidak ditanggapi pihak eksekutif.
Berkaitan dengan kasus kartu lebaran itu, empat anggota DPRD Jawa Barat, mendatangi ke Kantor Pos Besar Bandung untuk memperoleh informasi lengkap soal perangko dan kartu lebaran bergambar Gubernur Jawa Barat, Rabu (1/9). Anggota dewan menilai, pesanan kartu lebaran bergambar gubernur tidak layak.
Pihak Kantor Pos Besar Bandung membenarkan adanya pesanan atas kartu lebaran dan prangko itu dari pihak gubernur.
Langganan:
Postingan (Atom)