Kalau Bapak Ir H Ilham Arief Sirajuddin ditanya atau dimintai komentar tentang Lapangan Karebosi sekarang ini, pastilah beliau menjawab bahwa Karebosi telah berhasil diubah menjadi sangat cantik dan indah. Revitalisasi dalam arti menjadikan lapangan tersebut bernilai ekonomi dan menghasilkan uang, jelas sukses besar.
Lapangan Karebosi kini sudah sangat beda dengan puluhan tahun lalu. Kalau dahulu, Karebosi merupakan lahan atau padang luas "nganggur", kini telah menjadi pusat kegiatan ekonomi dan bisnis yang "hidup dan giat". Hal ini bisa terjadi berkat "kehebatan" wali kotanya saat ini dengan investor, PT Tosan Permai Lestari, yakni Pak Ilham Arief Sirajuddin dan Bung Hasan(?)
Namun, tidak sedikit juga yang tidak sejalan dengan Pak Wali Kota. Mereka memandang bahwa apa yang dilakukan Pak Wali bersama investornya itu merupakan sebuah perusakan terhadap lapangan kebanggaan "bangsa" Sulawesi Selatan.
Lapangan tersebut bagi mereka adalah warisan yang tidak boleh dialihfungsikan dari ruang publik menjadi ruang bisnis. Bahkan, mereka menganggap bahwa Karebosi ini merupakan cagar budaya yang harus dilestarikan, bahkan harus tetap menjadi milik pemerintah bersama rakyat seluruhnya, bukan "milik" pribadi seseorang.
Karebosi yang luasnya beberapa hektare tersebut dan dulu terdiri atas beberapa lapangan sepak bola amat membanggakan. Betapa tidak, lapangan seluas itu dan terletak di tengah kota sudah mustahil dibuat oleh seorang wali kota sehebat apapun. Pak Patompo saja, seorang wali kota yang amat terkenal kehebatannya, pastilah tidak mampu menciptakan lapangan Karebosi seperti itu.
Ketika negeri ini menikmati booming minyak bumi, lapangan seperti itu tidak dapat diciptakan, apalagi di saat negeri ini tidak lagi menjadi pengekspor, melainkan pengimpor minyak. Pak Wali Kota yang terhormat sekarang ini bagi mereka juga boleh jadi tidak mampu membuat lapangan seperti itu. Buktinya, Karebosi bukannya dipelihara, malahan dihancurkan.
Memang, kalau dilihat kondisi Karebosi sekarang ini, tampaknya sangatlah bagus dan modern. Panggung upacaranya sudah sangat elegan, lapangannya tertata dengan rapih disertai pagar pengaman di sekelilingnya plus satpam di setiap pintu masuk, termasuk di lapangan sepakbolanya.
Belum lagi, pertokoan atau pusat bisnis di bawah lapangan sudah pastilah bagus, ramai, dan hidup karena terjadi transaksi jual beli di sana.
Namun di balik itu, tidak ada arti semuanya itu dibandingkan adanya perubahan atau revitalisasi (versi Wali Kota) dengan perubahan yang sekaligus merupakan perusakan terhadap wujud aslinya. Mereka sangat menyayangkan perusakan ini karena sepertinya Pak Wali menurut mereka sudah kehabisan ide atau sebaliknya kelebihan ide sehingga yang sepatutnya tidak diubah, malahan direvitalisasi.
Kalau memang beliau mau melakukan sesuatu buat masyarakat Kota Makassar khususnya dan masyarakat Sulawesi Selatan umumnya, masih sangat banyak yang bisa dilakukan. Pasar-pasar tradisional sangat memerlukan perbaikan dan pembangunan agar juga dapat menyenangkan bila dikunjungi.
Hanya saja, diharapkan setelah dibangun tidak malah jadi sumber masalah, menjadi sumber mafia elite-elite eksekutif dan legislatif seperti yang terjadi di Pasar Pabaengbaeng.
Kami selaku warga Kota Makassar amat berduka setiap lewat di samping lapangan Karebosi yang telah berhasil direvitalisasi Pak Wali Kota. Setiap lewat, air mata mau menetes karena sedih. Kami tidak sejalan dan sepaham dengan beliau (Wali Kota) dan memandang bahwa apa yang terjadi sekarang ini bukanlah sebuah kemajuan, tapi kemunduran.
Boleh jadi, kami berbeda pandangan dengan masyarakat awam yang memandang kini Karebosi menjadi sangat indah dan modern.
Karena kesedihan itu pula, kami berjanji dalam diri sendiri dan pasti disaksikan oleh Allah swt untuk sedapat mungkin tidak menginjakkan kaki di lantai dasar, pusat bisnisnya. Maaf, penggambaran kami mungkin tidak lengkap atau keliru, karena alhamdulilah, sampai sekarang belum pernah menginjakkan kaki di Karebosi sejak direvitalisasi.
Bahkan, semoga saja kami juga sanggup menahan diri untuk tidak menginjak rumput lapangannya sekarang ini. Kami juga insyalah akan meneruskan sikap penolakan ini kepada istri dan anak cucu selanjutnya.
Revitalisasi sama sekali tidak berkurang keberhasilan dan kepongahannya dengan ketidakhadiran mereka yang tidak sepandangan dengan Wali Kota. Yang memegang kekuasaan adalah Pak Wali dan telah direstui oleh para wakil rakyat. Toh, anjing menggonggong kafilah tetap berlalu.
Menurut pendapat pribadi saya, orang-orang terpelajar sepatutnya tidak menyetujui revitalisasi tersebut. Kalau sekiranya ada kaum terpelajar yang menyetujuinya, maka patut dipertanyakan logika yang digunakannya. Semoga saja revitalisasi ini tidak bercampur baur dengan kepentingan pribadi dan sesaat bagi mereka yang mendukungnya, siapapun orang, peran dan statusnya.
Terus-terang, kami ingin mengajak masyarakat Sulawesi Selatan untuk memboikot segala aktivitas di areal tersebut. Kalau ingin berbelanja, masyarakat masih dapat memilih tempat lain. Untuk tempat modern, mal dan pusat bisnis merupakan pilihan yang baik. Untuk tempat tradisional, Pasar Sentral misalnya, merupakan arena yang menjadi pilihan utama.
Kami juga mengajak masyarakat praktisi hukum tidak tinggal diam seraya membiarkan Karebosi dirambah. Kalau dahulu disebutkan hanya di bagian bawah tanah yang akan digunakan, namun kini mulai dikembangkan pula bagian atasnya berupa warung kopi atau kafe. Saudara kami yang terhimpun dalam masyarakat tersebut sepantasnya tampil paling depan melakukan gugatan hukum. Dulu pernah ada, tapi kini semuanya sudah tiarap.
Kalau sekiranya tidak ada lagi yang menggugatnya, kami insya Allah akan menggugat Pak Wali bersama investornya di Pengadilan Mahsyar. Semoga ada pula warga Sulawesi Selatan yang mau bersama kami menggugat beliau di hadapan Allah. Soalnya, masalah Karebosi ini amatlah penting, bukan hanya milik para elite saja, tapi juga harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah swt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Tulis Komentar Anda