Indonesia memang memerlukan Undang-Undang Intelijen karena sampai saat ini Badan Intelijen Negara (BIN) belum memiliki payung hukum jelas dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.
Adanya UU Intelijen diharapkan bisa mereformasi BIN menjadi semakin profesional dalam menjalankan tugasnya, menjaga keamanan nasional. Seyogianya UU tersebut tidak menjerumuskan lembaga intelijen yang bekerja diam-diam dengan penyelesaian misterius pula untuk kepentingan kelompok tertentu.
Kekhawatiran inilah melandasi sebagian masyarakat terutama kalangan aktivis yang mensinyalir banyak susupan kepentingan dari penyusunan UU Intelijen tersebut. Salah satunya mencuat isu praktik jual beli informasi terkait Pemilu 2014 oleh pihak penguasa.
Peneliti Hukum dan HAM Wahyudi Jafar menilai kehadiran UU Intelijen yang kontroversi justru akan semakin menambah karut-marutnya proses penegakan hukum di negeri ini. Mengapa demikian? “Kalau kita lihat dari materi muatannya banyak yang bertentangan dengan undang-undang lain. Dalam proses pembahasannya pun bukan secara sektoral,” ujar Wahyudi di Kantor YLBHI, Jalan Diponegoro Jakarta, baru-baru ini.
Kata dia, beberapa waktu yang lalu Komisi I DPR bersama Menteri Pertahanan melakukan pembahasan RUU Intelijen, sedangkan Komisi III dengan Kementerian Hukum dan HAM membahas RUU KUHAP. Kemudian Kementerian Pertahanan dengan Badan Nasional Penanggulangan Teror juga dengan Kementerian Hukum dan HAM, menggarap RUU Teroris.
“Dan lucunya tidak ada harmonisasi atau sinkronisasi antara RUU yang satu dengan yang lain. Akibatnya kemudian, kalau kita membaca substansi dan materi muatannya justru saling bertentangan satu sama lain. Implikasinya akan membuat karut-marut proses penegakan hukum di negeri ini. Baik itu penegakan hukum untuk terorisme maupun penegakan hukum yang lebih luas,” paparnya.
Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti mengungkapkan hal yang sama. RUU Intelijen yang saat ini tengah dibahas DPR dan segera disahkan masih memilki sejumlah kelemahan substansial. Kelemahan tersebut jelas bertentangan dengan KUHAP, UU KIP, UU Terorisme, dan UU HAM. Poin-poin pertentangan tersebut seperti koordinasi intelijen, multitafsir, hak asasi manusia, penyadapan, klasifikasi, dan ruang lingkup rahasia intelijen.
Selain itu, ada masalah yang menyangkut kewenangan pengaman (DIM Pemerintahan No 22), hak korban, partisipasi masyarakat, dan fungsi intelijen kriminal dalam kepolisian.
"Soal keamanan nasional juga belum jelas. Pencegahan dan penanggulangan ancamannya pun belum jelas. Sehingga, hanya pihak intelijen sendiri yang mengerti, tapi masyarakat dan pihak-pihak lain tidak mengerti isi RUU Intelijen ini," papar Poengky dalam jumpa pers di Kantor Imparsial, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Dia menjelaskan, RUU Intelijen banyak bertentangan dengan peraturan perundangan lain, terutama masih adanya pasal-pasal yang mengancam HAM, kebebasan informasi dan pers. "Maka adalah tepat dan bijak apabila pemerintah dan parlemen untuk tidak tergesa-gesa mengesahkan RUU Intelijen pada Juli 2011, sebagaimana dijadwalkan parlemen," pinta Poengky.
Menurutnya, DPR dan pemerintah harus memberikan kesempatan dan membuka partisipasi luas dari masyarakat dengan melakukan sosialisasi RUU tersebut. "Mengingat RUU ini sangat bersentuhan dengan masyarakat dan telah menjadi sorotan masayarakat luas," imbuhnya.
Tidak tergesa-gesa dan berbarengan dengan sosialisasi yang luas, kata Poengky, diharapkan masukan masyarakat dapat diakomodasi dalam RUU ini. "Maka reformasi intelijen melalui UU Intelijen diharapkan dapat terwujud ke depannya," pungkasnya.
Ya, polemik UU Intelijen ini membuktikan adanya tarik-menarik kepentingan antara kelompok penguasa dengan publik. Pemerintah dan DPR sepertinya menginginkan undang-undang yang elastis, sehingga bisa dimamfaatkan untuk kepentingan lain, sedangkan publik berharap UU Intelijen benar-benar efektif demi tujuan strategis perlindungan bangsa-negara dari pihak asing.
Kontroversi UU Intelijen ini bermula dari aturan yang memberikan kewenangan intelijen negara menyadap, menangkap, memeriksa, sampai menahan orang yang dicurigai melakukan tindak pidana tertetu, tanpa surat izin pengadilan. Jika sudah begini, zaman koboi pun akan terulang kembali. Intai, tangkap, dan tahan tanpa batas waktu yang jelas seperti praktik Orde Baru.
Dan lebih gawat lagi, kewenangan BIN ditambah hak penyadapan. Tak ayal, penguasa semakin leluasa memata-matai rakyat. UU Intelijen memang dibutuhkan untuk mengantisipasi ancaman keamanan terhadap bangsa dan negara. Jadi jangan menambah ancaman tidak aman bagi warga negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Tulis Komentar Anda