Will Rogers (1879-1935), komedian tersohor dari AS mempersepsi politik dan pelakunya (politikus) sebagai lelucon. “Tingkah polah para politikus selalu jauh lebih lucu ketimbang lelucon yang ia buat secara sengaja untuk menjadi lucu”, demikian kata Rogers.
Dalam konteks dinamika politik Indonesia yang tak pernah lepas dari ikonisasi, rasanya relevan dengan pandangan sumir koboy, pelawak, juga komentator sosial yang telah menulis lebih dari 4.000 kolom di berbagai media massa di AS tersebut.
Berbagai istilah yang tidak lazim sering diasosiasikan terhadap para politikus Indonesia, khususnya potret perilaku politik (political behavior) mereka. Banyak istilah-istilah unik dengan konotasi negatif yang di alamatkan kepada para politikus negeri ini. Mendiang Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur misalnya, pernah menyebut anggota DPR “seperti anak taman kanak-kanak”.
Bahkan ketika adu jotos marak terjadi di DPR hingga DPRD, Gus Dur menurunkan predikat mereka dari TK menjadi “play group”. Tak sampai di situ, perjalanan politik selanjutnya kembali memunculkan istilah-istilah baru, yang tentunya lahir dari akumulasi kekecewaan dan persepsi negatif publik terhadap politikus.
Kutu Loncat
Istilah lama yang sudah cukup populer, kembali muncul akhir-akhir ini. Salah satunya ialah kutu loncat atau politisi yang loncat dari satu partai politik ke partai politik lainnya. Istilah ini menjadi branding tiga politisi dari tiga partai berbeda, meloncat ke satu partai yang sama. Yaitu, Ilham Arif Sirajudin mantan Ketua DPD Golkar Sulsel yang menjabat Walikota Makassar, pindah ke Demokrat setelah kandas menjadi ketua Golkar untuk periode selanjutnya. Jejak Ilham meloncat ke Demokrat juga diikuti oleh Zainul Majdi, Gubernur Nusa Tenggara Barat yang juga kader Partai Bulan Bintang.
Termasuk juga Yusuf Macan Effendi atau lebih dikenal dengan nama Dede Yusuf, juga mengambil keputusan mengejutkan. Setelah secara tersirat menyampaikan keputusannya untuk pindah dari PAN ke Partai Demokrat pada (12/4/2011), Wakil Gubernur Jawa Barat tersebut secara resmi melayangkan surat pengunduran dirinya pada Senin (19/4/2011).
Trend politisi kutu loncat ini terjadi sejak reformasi, walaupun di masa orde baru telah ada, namun tidak se-semarak saat ini. Ekspresi politik yang dijamin demokrasi, dijadikan legitimasi terhadap political behaviour yang minor ini. Bahwa setiap orang berhak memilih kendaraan dan bergabung dengan partai politik.
Demokrasi Liberal
Selain tiga pejabat pemerintahan yang disebutkan sebelumnya, masih ada sederet politikus yang juga meloncat dari parpol lama ke parpol baru. Diantaranya, Gubernur Sulawesi Utara Sinyong Sarundajang berpindah dari PDIP ke Demokrat. Gamawan Fauzi yang sebelumnya menjadi Gubernur Sumatera Barat dengan dukungan dari PDIP, kemudian menerima pinangan SBY yang Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat untuk dijadikan Menteri Dalam Negeri. Pun dengan Ruhut “Poltak” Sitompul (dari Golkar ke Demokrat), Ali Mochtar Ngabalin (dari PBB ke Golkar), Permadi (dari PDIP ke Gerindra).
Fenomena politikus kutu loncat yang menjadi –meminjam istilah Jaya Suprana- “kelirumologi” politik yang jika dibiarkan, akan mematikan ideologi partai politik. Bahwa loncat partai seenaknya menandakan absurdnya fatsun yang menjadi pijakan ideologi politik. Proses kaderisasi akan kacau dan bahkan stagnan. Karena panjangnya track yang harus dilalui, ternyata bisa menempuh tol yang bernama “popularitas yang diback oleh up power (kekuasaan)”.
Politikus Ulat Bulu
Sementara di tengah “naik daun” -nya istilah politikus kutu loncat, muncul term baru yang juga bersamaan dengan fenomena ulat bulu yang patologis terhadap keseimbangan alam, khususnya bagi tumbuh-tumbuhan. Term atau ikonisasi baru tersebut yaitu politikus ulat bulu.
Seperti diberitakan, sejak 28 Maret yang lalu populasi ulat bulu muncul di Probolinggo Jawa Timur. Dalam waktu yang relatif singkat, ulat bulu merebak ke berbagai daerah, diantaranya Semarang - Jawa Tengah, Banjarmasin – Kalimantan Selatan, Buleleng – Bali, Garut, Sumedang, Bekasi dan beberapa kabupaten dan kota di Jawa Barat. Terakhir, ulat bulu bahkan muncul di Jakarta.
Munculnya ulat bulu ini persis bersamaan dengan sikap keras DPR yang ingin melanjutkan proses pambangunan gedung baru yang menelan biaya fantastis, yaitu Rp1,138 triliun khusus bangunan fisik saja, atau hingga Rp1,164 triliun sepaket dengan biaya konsultan.
Kengototan DPR diperlihatkan oleh statemen beberapa pimpinan DPR. Diantaranya Ketua DPR yang juga Wakil Ketua Dewan Pembina Demokrat, Marzuki Alie “Rakyat biasa jangan diajak membahas pembangunan gedung baru. Hanya orang-orang elit, orang-orang pintar yang bisa diajak membicarakan masalah itu. Rakyat biasa dari hari ke hari yang penting perutnya terisi, kerja, ada rumah, ada pendidikan, selesai. Jangan diajak urus yang begini, ajak orang-orang pintar bicara, ajak kampus bicara”.
Juga komentar sinis Nudirman Munir, wakil ketua “Badan Kehormatan DPR” yang juga politisi Golkar, ”Kita jangan aneh-aneh membandingkan dengan rakyat yang susah. Itu jelas berbeda. Apa kita harus tinggal di gubuk reot juga, becek-becekan, kita harus realistis."
Sontak, komentar-komentar wakil rakyat tersebut semakin membuat rakyat naik pitam. Amarah rakyat tak terbendung yang diekspresikan dengan demonstrasi dan diskusi di berbagai daerah. Akhirnya muncul istilah politikus ulat bulu. Sikap ngotot DPR tersebut diasosiasikan dengan ulat bulu yang sifatnya menggerogoti tumbuhan. Seperti anggota DPR yang mengindahkan badai protes rakyat, yang pada akhirnya melahirkan antipati terhadap politik dan demokrasi yang baru mulai bersemi diumurnya ke 13 ini –setelah lepas dari diktatorisme rezim orde baru-.
Bukan hanya pada soal pembangunan gedung baru, protes terhadap perilaku politik yang menggerogoti demokrasi, juga ditujukan pada program studi banding DPR yang dinilai tidak rasional, lebih banyak mengandung unsur jalan-jalan.
Media telah mempublish, bahwa sejumlah anggota DPR akan memanfaatkan masa reses hingga 3 bulan kedepan untuk study banding ke sejumlah negara. Rakyat pun kembali terusik menyaksikan “wakil-wakilnya” melakukan politik akrobatik yang tidak asik. Plesiran ke luar negeri, dengan cover term demokratis yang legal, study banding.
Diantara yang (akan) melakukan study banding adalah Komisi VIII DPR yang rombongannya dipimpin Gondo Radityo Gambiro bertolak ke Australia dan Cina. Berbekal draft RUU Fakir Miskin yang masih setengah jadi, rombongan tersebut melakukan study banding terhitung sejak Ahad (17/4) hingga Ahad (24/4) mendatang.
Komisi I yang membidangi Polhukam, juga diketahui akan study banding ke AS pada 1-7 Mei 2011 dan menganggarkan biaya sebesar Rp. 1.4 miliar. Tak ketinggalan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR pun ikut melawat ke Inggris dan AS.
Jika study banding tersebut berimplikasi positif dan signifikan bagi rakyat, tentu tak ada yang salah. Malah akan mendapat dukungan penuh dari rakyat. Akan tetapi, berdasar sejumlah fakta, termasuk keterangan Djoko Susilo, Dubes RI di Swiss yang juga mantan anggota DPR, ternyata 90 persen study banding tersebut tidak subtantif untuk kepentingan rakyat. Lebih banyak mengandung unsur jalan-jalan.
Tak heran, negara yang dijadikan tujuan study banding, pun yang memiliki objek wisata dan belanja kelas dunia . Djoko Susilo mencontohkan, ada sejumlah anggota DPRD dari Sumatera yang study banding ke Swiss, dari 5 hari study banding, hanya 5 jam acara inti yang subtantif bagi rakyat (www.detiknews.com). Hingga kini, rakyat pun belum merasakan dari hasil plesiran yang lalu-lalu. Faktanya, dari 70 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang harus diselesaikan setiap tahunnya, hanya 14 yang bisa selesai.
Rulling Oligarki
Bahwa perilaku perilaku apolitik, tidak mecerminkan moral politik sehingga menimbulkan sinisme rakyat pada demokrasi, telah dilegitimasi dengan apologi “menunjang tugas negara”. Sehingga kerja se“sama” anggota DPR ini, semakin menguatkan argumentasi yang disampaikan oleh guru besar Ekonomi dan Politik North Western University, Prof. Jeffery A. Winters, saat kuliah umum di Universitas Hasanudin(18/4/2011) yang lalu.
Jeffery mengatakan bahwa saat ini indonesia menjadi negeri rulling oligarki. Yaitu negeri yang dinavigasi kekuasaan yang dilokalisir oleh sekelompok elit yang berkompetisi secara sehat menurut term demokrasi.
Dalam artian bahwa, politikus kutu loncat dan politikus ulat bulu, adalah hama, atau dengan kata lain parasit yang menggerogoti dan mengancam keberlangsungan demokrasi karena mengkristal dalam bentuk oligarki. Sayang sekali banyak parpol yang memelihara hama-hama demokrasi tersebut!
Jusman Dalle
Penulis adalah analis Ekonomi Politik Society Research And Humanity Development (SERUM) Institute dan Aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Tulis Komentar Anda