UU Nomor 36 Tahun 2009 adalah peraturan yang mengatur kewajiban dalam bidang kesehatan di masyarakat.
Dalam UU Kesehatan yang berlandaskan Pasal 20, Pasal 28 H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, secara garis besar isinya memuat tanggung jawab negara untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya dengan penyediaan fasilitas kesehatan, peraturan perundangan, serta persamaan hak dan keadilan warga negaranya.
Pemerintah juga memiliki sejumlah pertimbangan dalam UU ini yakni pertama, kesehatan merupakan hak asasi manusia dan merupakan kesejahteraan yang harus diwujudkan. Kedua, upaya prinsip kesehatan yang nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan.
Ketiga, upaya pembangunan harus memperhatikan kesehatan masyarakat dan tanggung jawab semua pihak baik pemerintah dan masyarakat. Keempat menggantikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.
Terkait implementasi aturan tersebut, Pakar Hukum Tata Negara Kahar Maranjaya mengatakan, pelayanan kesehatan sudah seharusnya bersifat sama rata alias setara tanpa pandang bulu. Antara yang berduit dengan tidak harus mendapatkan perlakuan yang sama. Konsekuensinya bisa terjadi kecemburuan sosial yang berkepanjangan bersifat akut.
"Saya kira sudah menjadi hak warga negara untuk mendapatkan pelayanan kesehatan ini tanpa ada diskriminasi," kata Kahar dalam perbincangan dengan okezone, belum lama ini.
Kahar menambahkan, pelayanan kesehatan terhadap masyarakat sejatinya berlandaskan asas kemanusiaan bukan aspek materi semata. "Dalam UU Kesehatan maupun keterbukaan informasi hal ini juga diatur. Tidak boleh rumah sakit menerima pasien diskriminatif karena nggak punya biaya misalnya. Jangan lantas memasang muka masam (jutek) karena pasiennya gakin. Tapi dilayanilah sesuai prosedur aturan yang berlaku semua sudah ada aturannya," paparnya.
Dia menambahkan, siapapun manusia di belahan bumi ini tidak ada yang menginginkan sakit. Namun, ketika ada rakyatnya yang sakit dan tak mampu berobat itu sudah menjadi kewajiban pemerintah mengakomodasi, sebagaimana termaktub dalam pasal 34 UUD 1945 yang mengatakan fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara.
"Visi Indonesia sehat? Visi itu kan impian yakni sesuatu yang dicita-citakan. Saya kira masih jauh lah (tujuan Indonesia Sehat), tapi setidaknya sudah ada usaha ke sana," kata Kahar. "Saya pikir menjadi kewajiban negara untuk melindungi setiap hak-hak warga negaranya. Tetapi tidak pada tataran normatif, formalitas saja namun dilaksanakan dong," imbuhnya
Tak Tepat Sasaran
Pada 2010 Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menerimaan pagu anggaran kesehatan sebesar Rp24 triliun, sedangkan pada 2011 menerima pagu anggaran
sebesar Rp27 triliun.
Besaran pagu anggaran Kemenkes dari tahun 2010–2011 ini sebetulnya sangat melanggar atau tidak sejalan dengan pasal 171 ayat (1) UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan “Besar anggaran kesehatan pemerintah dialokasikan minimal 5 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara di luar gaji.
Di mana, pada nggaran 2010, anggaran kesehatan atau fungsi kesehatan diluar gaji pegawai hanya 2,2 persen dari total APBNP 2010, dan tahun anggaran 2011, anggaran kesehatan atau fungsi kesehatan diluar gaji pegawai hanya 0.5 persen dari total APBN 2011.
Kemudian, kalau melihat anggaran Jamkesmas tahun anggaran 2010 sebesar Rp4,6 triliun, dan anggaran Jamkesmas tahun anggaran 2011 sebesar Rp6,3
triliun. Bila melihat anggaran Jamkesmas 2011 yang diperuntukan kepada 76 juta pendudukan miskin dari 115 juta penduduk miskin se-Indonesia, maka untuk setiap orangnya akan menerima asuransi kesehatan sebesar Rp82.461 per tahun dan per bulan penduduk miskin akan menerima asuransi sebesar Rp6.872
per orang.
Menurut Kordinator Investigasi dan Advokasi Fitra Uchok Sky Khadafi, asuransi penduduk miskin ini akan terlalu kecil bila dibandingkan dengan asuransi hakim Mahkamah Konstitusi dan keluarga sebesar
Rp52 juta per tahun.
Apalagi dengan anggota DPR menerima asuransi kesehatan sebesar Rp66.457.143 per orang dengan fasilitas VVIP untuk setiap tahun dan setiap bulan sebesar Rp5,5 juta.
Oleh karena, dari 115 juta penduduk miskin ini pemerintah pusat hanya mampu memberikan Jamkesmas kepada 76,4 juta orang, maka pemerintah daerah harus menyediakan Jamkesda kepada penduduk miskin yang belum mampu terjangkau pemerintah pusat.
Misanya DKI Jakarta, menerima Jamkesmas sekitar 11% dari penduduk miskin, dan penduduk miskin yang tidak dapat jamkesmas akan menerima Jamkesda atau istilah Jakarta adalah JPK Gakin (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Keluarga Miskin). Dimana pada tahun 2010, asuransi kesehatan (JPK Gakin) orang miskin jakarta, diberikan hanya untuk 160.480 KK atau 2 juta penduduk miskin, dengan alokasi anggaran sebesar Rp413.750.000.000 per tahun.
"Jadi, setiap satu penduduk miskin, akan menerima sebesar Rp206.875 per tahun, dan kalau per bulan, setiap satu KK, akan menerima sebesar Rp17.240 per bulan," papar Uchok.
Selanjutnya, pada tahun 2011 anggaran asuransi penduduk miskin DKI Jakarta sebesar Rp513 miliar, berarti untuk setiap penduduk miskin akan menerima JPK Gakin sebesar Rp206.875 per tahun, dan sebesar Rp17.240 per bulan untuk 2.479.758 penduduk miskin. "JPK Gakin untuk penduduk miskin ini akan dikalahkan dengan asuransi pegawai Pemerintah DKI Jakarta," jelasnya.
Seperti diketahui, seluruh pegawai pemda DKI Jakarta sebanyak 83.401 orang, dan untuk setiap pegawai akan menerima asuransi kesehatan sebesar Rp.899.270 pertahun, dan setiap bulan akan menerima asuransi sebesar Rp74.939 peorang.
Gambaran di atas mengenai Jamkesmas dan Jaskesda, akan terlihat jika standar asuransi kesehatan buat penduduk miskin tidak dipunyai oleh pemerintah. Hal ini bisa dilihat dari satuan anggaran untuk setiap penduduk miskin baik Jamkesmas dan Jamkesda sangat berbeda-beda sekali. Di mana Jamkesmas setiap orang akan menerima sebesar Rp6.872 per bulan, sedangkan
Jamkesda untuk penduduk miskin sebesar Rp17.240 per bulan.
Dari kajian Fitra, baik Jamkesmas maupun Jamkesda banyak tidak tepat sasaran. Tak sedikit mereka yang mampu berobat ke rumah sakit banyak mengunakan Jamkesmas atau jamkesda, tidak menggunakan dengan biaya sendiri. Hal ini disebabkan, “orang yang mampu” ini sebagai tokoh masyarakat, pengurus RT/RW, lingkaran masih keluarga pengurus RT/RW sehingga bisa memanipulasi kriteria yang diberikan pemda
DKI Jakarta.
Walaupun, dilakukan verifikasi terhadap data, tetap saja yang melakukan verifikasi data tersebut adalah orang-orang yang dipilih oleh RT/RW. Selain itu, banyak penduduk miskin yang tidak mempunyai Jamkesmas atau Jamkesda disebabkan mereka gelandangan atau tidak punya tempat sehingga RT/RW sulit untuk melakukan pendataannya. Lebih penting lagi dari kajian ini adalah para pengurus RT/RW tidak mempercayai mereka sebagai penduduk. Malahan gelandangan ini dianggap sebagai “penganggu” lingkungan RT/RW alias diangga maling atau pencuri.
Sebab itu, pemerintah pusat dan pemda harus melakukan evaluasi terhadap data penduduk miskin. Kalau tidak, anggaran Jamkesmas atau Jamkesda akan sia-sia alias boros karena tidak tepat sasaran atau yang penerima Jamkesmas atau Jamkesda adalah penduduk yang mampu berobat ke rumah sakit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Tulis Komentar Anda