“Swasti sri sakawarsatita”.
Kalimat itu berhuruf Pallawa berbahasa Melayu Kuno. Artinya, “kemakmuran dan keberuntungan”. Setidaknya dua kata itu merupakan kalimat awal yang tercetak di atas dua bongkah batu bertulis atau lazim disebut prasasti. Kedua prasasti itu peninggalan masa kejayaan kerajaan Sriwijaya.
Pertama, Prasasti Kedukan Bukit ditemukan pada 29 November 1920 di kebun milik Haji Djahri. Letaknya di tepi Sungai Tatang, yang menjadi anak Sungai Musi, di kawasan Kedukan Bukit di kaki Bukit Siguntang, sebelah baratdaya Palembang.
Kedua, Prasasti Talang Tuo ditemukan pada 17 November 1920 di sekitar muara Sungai Lambidaro dan hulu Sungai Sekanak, juga yang menjadi anak Sungai Musi. Letaknya di Dusun Talang Tuo, sebelah barat Palembang.
Penemu Prasasti Talang Tuo, Residen Belanda bernama LC Westenenk. Menurut Marwati Djoned Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (dalam Sejarah Nasional Indonesia, Balai Pustaka, 1984), Westenenk berhasil menjejaki letak prasasti itu setelah membaca catatan kuno peninggalan Sriwijaya tentang peresmian Taman Perpustakaan Criksetra.
Awalnya, George Coeddes, peneliti asal Prancis, menulis buku Le Royaume de Criwijaya (1918). Tesisnya menyebut tentang Kerajaan Sriwijaya sekaligus mementahkan teori identifikasi yang dikerjakan Hendrik Kern (1913). Kern menyebut bahwa Sriwijaya adalah nama seorang raja karena alasan bahwa gelar “Sri” biasanya merupakan sebutan bagi seorang raja. Coeddes membantahnya setelah meneliti Prasasti Kota Kapur yang menyebut tentang Kedatuan Sriwijaya, Datu Sriwijaya, dan Walla Sriwijaya.
Sriwijaya kerajaan maritim terbesar di Nusantara, berjaya antara abad 7-13 Masehi. Kalangan ahli sejarah bersepakat tentang kedudukan Sriwijaya pada masa jayanya setara masa keemasan Islam di Baghdad saat diperintah Sultan Harun Al Rasyid dalam Kekhalifahan Abbasiyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Tulis Komentar Anda