Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya dana yang tidak jelas di Kemendiknas senilai Rp 2,3 triliun pada 2009. Mendiknas Mohammad Nuh bertekad untuk menindaklanjuti laporan hasil audit itu.
"Yang jelas, hasil audit pasti kita tindak lanjuti. Ada kalanya yang langsung bisa diselesaikan tapi ada juga yang butuh waktu," ujar Mendiknas di JCC, Senayan, Jakarta, Senin (10/1/2011). Dalam hasil audit BPK itu antara lain kasus RS Pendidikan Unair, yakni terkait alat kesehatan senilai Rp 38 miliar. Menurut Mendiknas, alat-alat kesehatan itu tidak langsung digunakan karena menunggu infrastruktur lain.
"Misalkan alat-alat kedokteran yang ada di RS pendidikan, itu kan tidak langsung digunakan. Jadi harus menunggu infrastruktur lain sehingga tidak dipakai dulu. Apakah ini disebut sebagai korupsi atau tindak pidana biasa? Kalau korupsi harus dituntaskan, tapi yang jelas semua temuan akan kita tindaklanjuti," terang dia.
Hasil audit juga menyebut, adanya dana liar di Universitas Mataram Rp 19,5 miliar. Atas kasus itu, Mendiknas menjelaskan, hal itu karena ada perguruan tinggi yang bekerja sama dengan pemda dan dana tidak bisa dimasukkan ke rekening utama.
"Dana tidak bisa dimasukkan ke rekening utama. Nanti bisa campur-campur dengan uang SPP, akhirnya buka rekening sendiri," kata Mendiknas.
Meski demikian, Mendiknas akan memperbaiki kerja sama perguruan tinggi-perguruan tinggi dengan pemda. Hal ini untuk mencegah terjadinya korupsi.
"Untuk kerja sama dengan pemda hal-hal seperti itu butuh waktu yang cepat. Namun biasanya karyawan tidak lapor dulu ke Menkeu. Nah hal-hal yang seperti inilah yang akan diperbaiki nantinya. Misalkan setelah diperiksa tidak terjadi apa-apa," demikian Mendiknas.
Berdasarkan data BPK, temuan-temuan yang tidak dapat ditindaklanjuti antara lain, kasus pengadaan tanah untuk sekolah di Kinabalu, Malaysia Rp 8,3 miliar. Hingga akhir Desember 2010 temuan itu tetap belum ditindaklanjuti. Bahkan, malah pejabat Kemendiknas mengirim lagi dana Rp 7,5 miliar ke Konjen RI di Kinabalu. Catatan BPK, dana tersebut tidak dibukukan sesuai UU yakni di luar rekening Kemlu.
Selain itu juga kasus RS Pendidikan Unair, yakni terkait alat kesehatan senilai Rp 38 miliar belum dapat berfungsi. Ada juga keterlambatan pekerjaan yang belum dikenakan denda Rp 15 miliar dan di Universitas Mataram Rp 19,5 miliar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Tulis Komentar Anda