Persibo Bojonegoro pertengahan 2010 berhasil menjadi jawara di Divisi Utama PSSI. Capaian tersebut membuat Laskar Angling Darma ini berhak atas tiket Indonesia Super League (ISL), ajang kompetisi profesional sepak bola antarklub di Indonesia.
Tapi bukan hanya catatan keberhasilan yang ditorehkan Persibo di 2010. Di tahun yang sama klub ini juga tersandung masalah. Pasalnya para pengurus klub dianggap telah melakukan tindak korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang dialokasikan untuk klub tersebut.
Kasus korupsi Persibo Bojonegoro berawal dari hibah APBD 2008 senilai Rp 12,5 miliar. Dana itu diberikan dalam dua tahap, pertama dicairkan Rp 5 miliar. Tapi yang diterima Persibo hanya Rp 3 miliar. Sementara Rp 2 miliar menguap. Ada dugaan uang tersebut dikorupsi pengurus Persibo, Pemkab dan Ketua DPRD.
Modus yang digunakan untuk mengkorupsi dana APBD, kata Manajer Persibo, Taufiq Riesnandar, dengan kolusi saat penyusunan RAPBD. Ketika dana cair sebagian akhirnya dibagi-bagi orang DPRD dan Pemkab.
"Kalau kasus yang menimpa Persibo tempo hari seperti itu modusnya. Kalau klub di daerah lain saya kurang begitu tahu," ujar Taufik kepada detikcom.
Kasus dugaan korupsi APBD ini tentu saja mengkhawatirkan. Koordinator ICW J Danang Widoyoko kepada detikcom mengatakan, praktik pengemplangan dana APBD oleh sejumlah klub tidak lepas dari budaya korupsi di kompetisi yang digelar PSSI. Di setiap kompetisi PSSI dianggap marak penyuapan untuk mengatur skor, mendapatkan promosi, serta terhindar degradasi.
Mau tidak mau untuk meningkatkan gengsi klub, sejumlah pengurus klub akhirnya berupaya menyiapkan anggaran lebih, selain untuk bayar pemain, official, maupun operasional. Sialnya yang jadi sasaran adalah dana APBD. Soalnya banyak klub
selama ini dibiayai APBD. Hanya beberapa saja yang mandiri alias tidak pakai dana APBD.
Contoh kasus suap ini sempat diungkapkan manajer Persikapro Kabupaten Probolinggo, Hengky Bambang Widodo kepada wartawan. Ia menyebutkan, banyak pengelola klub yang frustasi lantaran sering jadi sapi perah PSSI.
Hengky mengaku dirinya sebagai pengurus klub Persikapro empat kali diminta setor uang kepada Badan Liga Amatir (BLA) melalui Pengurus Provinsi PSSI Jawa Timur. Saat itu klubnya jadi tuan rumah babak penyisihan zona Jawa II di kompetisi divisi III PSSI. Untuk mengajukan diri sebagai tuan rumah Hengky diminta setor uang Rp 50 juta ke PSSI Jawa Timur dengan iming-iming kubnya bakal dinaikkan ke divisi II.
Persikapro sediri sudah dua kali jadi tuan rumah. Otomatis dua kali pula Hengky mengaku setoran Rp 50 juta ke PSSI Jawa Timur. Sementara untuk dapat promosi ke Divisi II ia kembali keluar uang total Rp 30 juta untuk PSSI Jawa Timur.
Selain Persikapro, Hengky juga menyatakan bahwa Persewangi Banyuwangi gagal promosi dari divisi I ke divisi utama tahun ini kendati telah setor uang Rp 500 juta kepada pengurus PSSI.
Selain Hengky bekas manajer Persekabpas Pasuruan, Abu Bakar Asegaf juga punya pengalaman serupa. Kata Abu, untuk memenangkan pertandingan di sebuah kompetisi bukan perkara sulit. Hanya cukup menyiapkan Rp 10-20 juta kepada wasit, tim bisa dimenangkan dengan mudah.
Sementara ICW punya catatan lain lagi. Menurut Danang Widoyoko, kasus besarnya uang yang disetorkan kepada PSSI atau wasit memang bisa berpengaruh kepada prestasi klub di setiap kompetisi. Danang kemudian memberi contoh PSIS Semarang.
Selama 2004-2008, PSIS Semarang prestasinya terus meningkat dengan kucuran dana yang meningkat pula dari APBD. Pada 2004 PSIS menerima Rp 3,1 miliar dan keluar sebagai Peringkat 9 Liga Indonesia (LI) XI 2004.
Tahun 2005 klub ini menerima Rp 7,2 miliar lalu menjadi Juara III LI XII 2005. Berikutnya, pada 2006 PSIS menerima dana Rp 14 miliar lalu menjadi Juara II LI XIII 2006. Tapi ketika pada 2007 menerima dana Rp 12,2 miliar, PSIS Semarang kemudian masuk degredasi dari liga profesional terjun ke Divisi Utama.
ICW menduga, dana APBD 2007-2008 untuk PSIS digunakan untuk dana Kampanye Sukawi Sutarip, ketua Umum PSIS Semarang dan walikota semarang 2004-2009. Dia menggunakan dana saat Pemilihan Gubernur Jateng 2008.
"Karena dipakai kampanye akhirnya dananya habis dan tidak bisa menyuap sana sini untuk meningkatkan posisi PSIS di LI. Akibatnya PSIS terdegradasi," ujar Danang.
Dana APBD yang dikucurkan ke klub PSIS Semarang bisa dibilang sangat besar dibanding untuk program penting di daerah tersebut. Sebagai gambaran, ICW mencatat, di APBD 2006 dana untuk perbaikan gizi masyarakat hanya Rp 607 juta. Dana program pendidikan anak usia dini Rp 1,4 miliar. Dan anggaran untuk pengembangan UMKM sebesar Rp 1,6 miliar. Sementara dana hibah untuk PSIS justru berlipat-lipat, yakni mencapai Rp 14 miliar.
Sayangnya, walau anggaran besar telah dikucurkan PSIS prestasi tidak ada. Dan Pemda tidak dapat apa-apa. "Ini bukan saja pemborosan anggaran. Tapi juga tidak berdampak bagi masyarakat Semarang," tegasnya.
Jadi, sambung Danang, kalau diestimasi semua klub yang menerima kucuran APBD jumlah duit negara yang menguap bisa mencapai Rp 720 miliar hingga Rp 1 triliun. Asumsi ini jika dana APBD digunakan oleh 18 klub LSI ditambah 36 klub Divisi Utama.
Jika klub yang ikut LSI mendapat Rp 20 miliar dan klub Divisi Utama Rp 10 miliar, berarti tiap tahun mereka menghabiskan Rp 720 miliar- Rp 1 triliun. Padahal uang sebanyak itu sangat penting untuk meningkatkan mutu pendidikan dan kesehatan masyarakat di daerah-daerah.
Penggunaan APBD untuk klub inilah yang coba direm penyelenggara Liga Primer Indonesia (LPI). Dengan menjadi klub mandiri dan profesional diharapkan bisa menghilangkan klub dari ketegantungan terhadap APBD.
Managing Director PSM, Husain Abdullah saat berbincang-bincang dengan detikcom mengatakan, sebelum gabung ke LPI, klub yang dipimpin Walikota Makassar Ilham Arief Sirajuddin, dapat kucuran dana APBD berkisar Rp 10 miliar- Rp 12 miliar.
Tapi ia mengklaim uang tersebut sepenuhnya digunakan untuk membayar pemain maupun operasional. Ia mencontohkan, untuk gaji pemain asing saja, per tahun menghabiskan Rp 700 juta per orang. "Jumlah pemain asing kita paling tidak ada 5 orang. Jadi kalau dikalikan 700 juta sudah menghabiskan hampir Rp 4 miliar," jelasnya.
Sedangkan untuk pemain lokal, kata Husain, PSM menggaji pemainya sekitar Rp 300 juta per orang. Kalau jumlah pemain lokal sebanyak 15 orang maka dana yang diserap sebesar Rp 4,5 miliar. Selebihnya uang tersebut digunakan untuk operasional dan tiket pesawat.
PSSI sendiri mengelak jika dikait-kaitkan dengan dugaan korupsi yang dilakukan sejumlah klub peserta kompetisi di bawah naungan PSSI. Menurut CEO PT Liga Indonesia Joko Driyono, soal anggaran klub itu kewenangan masing-masing peserta kompetisi. Sementara PSSI hanya penyelenggara kompetisi saja.
"Itu urusan masing-masing klub. Mereka cari jalan sendiri untuk pendanaannya untuk ikut berkompetisi. Kita (PSSI dan PT LI) tidak ikut campur dengan penggunaan APBD," pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Tulis Komentar Anda