Senin, 16 Agustus 2010

Jugun Ianfu ; Karena Kami Cantik

Inspirasi itu muncul dari artikel tentang mantan budak seks tentara Jepang atau jugun ianfu di sebuah koran Indonesia pada 2006. Pascariset dan pendalaman materi selama setahun, dua warga Belanda, yakni wartawati Hilde Janssen dan fotografer Jan Banning, menerabas batas ketabuan demi mendokumentasikan potongan sejarah Indonesia yang terlupakan itu.

Ruangan berbentuk huruf L seluas 60 meter persegi di Gedung Erasmus Huis, Kedutaan Besar Belanda di Jakarta, Kamis malam (12/8) penuh sesak oleh pengunjung. Dinding ruangan itu dipenuhi 18 foto wanita-wanita tua dari bermacam suku dan etnis di Indonesia. Di sisi kiri setiap foto yang dibingkai berukuran 1,5 x 1 meter itu ditempelkan kutipan wawancara dan tulisan singkat tentang kisah masing-masing objek foto.

Ya, foto-foto tersebut merupakan sebagian di antara 50 foto jugun ianfu karya fotografer asal Belanda Jan Banning, peraih World Press Award 2004. Sementara itu, wawancara dan esai singkat yang menyertai foto tersebut adalah buah pena wartawati Hilde Janssen.

Dua orang itu memang secara khusus berburu para wanita korban kekejaman tentara Jepang pada masa penjajahan. Mereka menjadi budak nafsu serdadu Jepang. Tak heran bila para wanita itu kini sudah tua-tua, rata-rata lebih dari 75 tahun.

“Foto-foto ini mewakili pertanyaan saya kepada siapa pun yang melihatnya. Anda dan pengunjung pameran ini yang nanti harus menjawab,” ujar Jan ketika ditemui Jawa Pos di sela-sela acara pembukaan pameran itu.

Awalnya, Jan tak percaya bahwa perburuan atas para jugun ianfu tersebut akhirnya bisa tuntas. Sebab, tidak mudah menemukan para mantan mereka satu per satu. Dirinya dan Hilde harus menjelajahi Jawa, Maluku, Kalimantan Timur, Sumatera Utara, dan Timor Barat.

Namun, berkat keuletan Hilde yang tinggal di Indonesia sejak 2000, obsesi Jan akhirnya terwujud. Pada 2007, keduanya memulai perburuan para jugun ianfu di berbagai wilayah Indonesia.

Hasilnya tidak sia-sia. Hingga 2010 ini, mereka berhasil menemukan 50 wanita malang tersebut. Jan mengabadikan lewat jepretan kameranya yang ekspresif, sedangkan Hilde mewawancarai dan menyusunnya menjadi sebuah kisah humanis.

Tentu saja, perburuan yang mereka lakukan tidak semulus seperti yang terlihat dalam karya-karya foto Jan maupun esai menyentuh torehan Hilde yang dipamerkan tersebut. Selain harus menyisir alamat yang amat asing bagi mereka, tidak mudah “menaklukkan” wanita-wanita sepuh itu untuk bercerita tentang kisah tabu yang dialami 65 tahun silam.

Selain karena trauma yang mendalam, tak sedikit yang memilih tutup mulut karena tidak ingin aibnya diketahui masyarakat. “Malu, stigma negatif, dan rasa bersalah membuat para jugun ianfu itu tak mau berbicara. Ada yang mau bercerita, asalkan anak cucunya keluar dari rumah. Semua berkisah tentang penyiksaan dan pemerkosaan yang sadis yang dialami,” ujar Hilde.

Selain dalam bentuk foto, kisah sedih 50 jugun ianfu itu diterbitkan dalam buku berbahasa Belanda berjudul Schaamte en Onshuld Het Verdrongen Oorlogsverleden van Troostmeisjes in Indonesia Aib tanpa Dosa: Kisah Wanita Budak Seks Perang di Indonesia.

Hilde memilih menerbitkan buku itu dalam bahasa Belanda dan Inggris karena ingin membawa cerita tersebut kepada publik internasional. Wanita yang kini tinggal di Kemang, Jakarta, itu berharap dunia internasional dapat memberikan perhatian khusus kepada para korban perang yang kini rata-rata berusia lebih dari 80 tahun tersebut.

“Sebab, pemerintah Indonesia tidak memberikan perhatian kepada mereka. Jugun ianfu dianggap korban perang kelas tiga yang dianggap ternoda dan tidak pantas dibantu,” tegas wanita kelahiran 15 April 1959 tersebut.

Lima puluh nenek yang diwawancarai memiliki kisah dan keunikan masing-masing. Dengan bantuan penerjemah, didukung kemampuan berbahasa Indonesia yang baik, Hilde merangkumnya tanpa bumbu. Dalam buku itu, dia dengan detail mengutip apa saja yang terjadi dan dialami para budak seks tentara Jepang dengan tujuan menampilkan kekejaman perang.

Hilde menyatakan, ada 200 ribu wanita dari seluruh Asia yang mengalami hal serupa (menjadi korban tentara koloni Jepang). Selain Indonesia, mereka berada di Filipina, Korea, dan Tiongkok.

Di Indonesia, Hilde mengestimasi ada 20 ribu wanita yang diculik dan dijadikan budak seks pada zaman penjajahan. Sebab, bordil militer ketika itu dipandang sebagai cara efektif untuk meningkatkan semangat pasukan, memelihara hukum dan tatanan, serta menghindarkan pemerkosaan dan penyakit kelamin.

Rata-rata para wanita itu diculik dan diambil paksa ketika masih berusia sangat belia, yakni 13-17 tahun. Ketika diculik, wanita-wanita tersebut juga dipekerjakan untuk memenuhi segala keperluan tentara Jepang seperti memasak dan mencuci pakaian. Tapi, yang utama, mereka menjadi budak nafsu para dai Nippon.

“Ada yang sehari melayani belasan tentara karena kecantikannya. Betapa kejam perlakuan tersebut,” ujar Hilde. “Saya sampai sempat mimpi buruk ketika mendengar puluhan kisah memilukan para wanita itu,” terang dia.

Salah satunya kisah tentang Wainem, jugun ianfu asal Jawa Tengah. Foto karya Jan menampilkan wajah nenek berusia 85 tahun dengan sorot mata tajam dan kantong mata kemerahan. Kulit wajahnya yang keriput dipadu baju lurik khas Jawa warna gading yang tampak lusuh menambah ekspresif foto tersebut.

Rambut putih menyembul di samping telinga dari balik tudung kepala rajut warna putih yang agak kecokelatan karena kotoran. Seekor lalat hinggap di atas kepala sang nenek. Menurut Jan, lalat itu membuat foto nenek Wainem menonjol dibanding 49 foto jugun ianfu lainnya. “Lalat itu menggambarkan kematian dan kekelaman masa lalu. Saya berpikir dalam benak saya, barangkali kami adalah orang terakhir yang sempat memotretnya sebelum ajal menjemput. Ironis,” kata Jan lirih.

Dalam ilustrasi yang ditulis Hilde, nenek Wainem lahir di Jawa Tengah pada 1925. Dia diculik dari rumahnya pada 1943 ketika berusia 17 tahun dengan bus dan dibawa ke markas tentara Jepang di Surakarta. Bersama sejumlah wanita lain, dia disekap di markas tentara itu selama tiga tahun sebelum dipindah ke markas lain di Jogjakarta selama dua tahun kemudian.

Dalam masa-masa kelam tersebut, Wainem harus merajut tikar dan pada malamnya dipaksa melayani nafsu binatang tentara Jepang. Pada hari-hari yang sulit, dia harus meladeni empat pria sekaligus dalam satu malam. “Beberapa mengajak saya ke kamar pribadi mereka. Tapi, ada juga yang tanpa malu memerkosa saya di depan rekan-rekan mereka di kasur barak,” ungkap Wainem sebagaimana dikutip Hilde.

Jan dan Hilde cukup beruntung sehingga banyak mantan jugun ianfu yang bersedia ditemui dan diwawancarai. Menurut Jan, mereka mau bercerita setelah yakin rahasia masa lalu itu tidak didengar tetangga, saudara, atau anak cucunya. “Kami pun menghormatinya. Banyak yang kami samarkan namanya,” ungkap pria yang ayah dan ibunya lahir di Indonesia itu.

Puluhan jugun ianfu yang masih hidup menggambarkan rumah bordil Jepang adalah tempat yang mengerikan. Wanita dibagi menjadi beberapa kategori, bergantung lamanya pelayanan. Perempuan yang masih baru dan lebih kecil kemungkinannya terkena penyakit kelamin masuk kategori tertinggi.

Namun, dengan berjalannya waktu, perlahan kategori mereka diturunkan karena kemungkinan terkena penyakit kelamin lebih tinggi. Ketika berpenyakit, para perempuan itu akan diabaikan begitu saja. Tak sedikit yang melaporkan bahwa uterus mereka membusuk karena penyakit bawaan ribuan lelaki yang menidurinya dalam kurun lima tahun.

“Banyak yang tidak bisa menghasilkan keturunan. Ada juga yang menikah namun selalu dicaci maki suaminya karena menjadi “bekas” tentara Jepang,” kisah Hilde.

Dalam waktu dekat, pembuatan dokumentasi foto dan penulisan buku itu disiarkan dalam bentuk film dokumenter oleh sebuah stasiun televisi Belanda. Perburuan Hilde-Jan dan pertemuan mereka dengan para mantan jugun ianfu bisa disaksikan publik Belanda pada 15 Agustus besok.

Film itu diputar dalam rangka peringatan perakhiran Perang Dunia Kedua di wilayah Pasifik. Film dokumenter berjudul Karena Kami Cantik itu dibuat Frank van Osch dengan kamera film yang selalu mengikuti Jan dan Hilde berkeliling Indonesia berburu para jugun ianfu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Tulis Komentar Anda