HP
Terkadang kita harus mengakhiri sesuatu di tempat dimana kita memulainya. Karena sepertinya sebuah eksistensi kemanusiaan harus dipertanyakan kembali, apakah betul kita ada dan bergerak ditiap siang dan malam.
Ruang-ruang ini semakin sempit saja, karena sebanyak apapun kita membuat opini tentang ruang, maka secara tidak sadar kita sudah berubah menjadi angkuh dan membatasi ruang yang kita pahami. Lalu apalagi yang mesti dipertahankan, jika pada akhirnya kita sendiri yang menciptakan batas ruang dan waktu itu dan kemudian menjelma menjadi......
………………..
Entah kenapa hari ini bulan sudah menampakkan wajah sebelum waktunya, seolah tidak mau melewatkan peristiwa sore ini dan menyimak tiap kata yang sedikit tak rapi. Atau mungkin langit telah menarik kembali hukum yang telah dia buat?. Aku hanya termangu lalu kemudian melonggarkan urat-urat syaraf yang sedikit menegang dan sesekali telingaku terjaga mendengar pembicaraan teman-teman di sudut sana. Sangat banyak kata yang akhirnya sia-sia. Mungkin saja Anto benar tentang kata-kata yang telah habis, karena hari ini ratusan bahkan ribuan yang telah dimuntahkan.
Aku kembali menengadah ke langit, dan astaga…!
Aku melihat bulan menarik bahkan menyeret malam sambil tersenyum kepadaku. Risau, galau, itu yang muncul dalam benakku. Kenapa…kenapa dia tidak beri aku sedikit masa minimal menggelengkan kepala tanda aku belum rela. Tapi, sepertinya harap itu percuma, dia terus saja tersenyum bukan pada malam. Padaku!.
“Tidak, dia tidak tersenyum padaku, tidak hari ini!. Lalu untuk siapa dia tersenyum?, toh teman-temanku tak butuh senyumnya, lalu untuk siapa?”. Dia berhasil mengusik pikirku dan tidak hanya itu, dia bahkan mengobok-obok keyakinan yang selama ini aku senggamai.
“Kau tidak boleh datang karena semua ini telah melanggar dan menyimpang dari hukum yang telah ditetapkan”. pintaku berharap dia mau kembali mengantar malam untuk pulang dan menjemputnya tepat pada waktu yang tepat.
“Bagaimanapun kau memaksaku, tidak akan pernah kuucap salam buatmu!” teriakku dalam hati, sambil terus mengutuk bulan hari ini.
Tiba-tiba seorang teman menegur sambil menepuk bahu sebelah kananku.
“Ada apa?”
“Kenapa berhenti?”
“Kita belum selesai. Ruang ini belum boleh ditutup rapat-rapat, karena masih banyak yang kosong”. katanya meyakinkan aku.
‘Lalu, kalau ini belum selesai, untuk apa kita muntahkan semua hari ini?”, kataku sambil kembali menghadapkan wajah pada bulan yang mulai membuatku gelisah.
Ya, harus kuakui kalau kejadian ini sangat aneh dan bahkan tidak bisa kuterima, tapi…
“Apa yang harus aku lakukan?” aku dirampok, dijarah, tapi oleh siapa?. Apakah mereka? atau dia yang terus tersenyum padaku?
Belum juga kupahami arti semua yang terlukis tepat dimataku. Atau aku yang pura-pura bahkan tidak mau menerimanya?
…………………………….
“Sudah pukul 17.30 sore” gumamku sambil melihat jam yang ada di hp kesayangan yang sudah beberapa tahun ini setia menemani. Entah sudah berapa babak hidupku yang diketahuinya, tapi tak sekalipun dia mengeluh hanya saja mungkin masanya sudah hampir selesai. Tapi, tiba-tiba saja aku terperangah tak percaya…
“Apa ini!” teriakku kaget.
Hp yang selama ini setia, tiba-tiba berontak. Dia tidak mau lagi menampilkan apa yang mesti dia munculkan, tapi malah bercumbu dengan bulan. Aku lalu menengadah bermaksud untuk protes, tapi semuanya raib dijarah oleh deru mesin di jalan.
“Aku tidak mengerti, kenapa dia sangat bernafsu mengambil semua yang tersisa?” batinku menjerit.
Tapi semua temanku tetap menikmati segelas kopi yang ada di depannya dan muntahan kata-kata yang sudah tidak kumengerti. Aku seperti hilang di keramaian, dan tidak seorangpun mengerti dan enggan untuk tahu, bahkan seseorang yang semestinya tahu juga pergi tanpa menoleh lagi. Aku menjadi realitas tak bernama di tempat yang kuanggap rumahku sendiri.
Aku hanya diam sambil menyaksikan bulan yang sedikit demi sedikit menggerogoti semua yang kupunya, pun malam diam seribu kata. Tampaknya dia lebih memilih bungkam daripada berontak untuk kembali ke peraduannya.
………………………..
Hari sudah gelap dan bulan sudah sempurna menelan matahari, aku harus pulang. Sempat mataku melirik kearah teman-temanku yang masih duduk seperti tadi. Sepertinya pembicaraan mereka hari ini sudah berakhir. Mata mereka nanar ke arahku, aku bingung.kemudian kurogoh hp kesayangan di kantung sebelah kanan, hanya untuk memastikan apakah bulan masih disitu. Ternyata, dia sudah pergi dan kembali menggantung di langit. Dia memang sudah pergi tapi jejak bibirnya masih jelas di layar hpku. Kemudian aku mendekapnya erat tepat diantara bibir dan telinga, lalu berbisik…
“Mungkin sudah waktunya untuk kita pisah kawan!”
Aku lalu berdiri menghadap kearah teman-temanku dan menatap mereka dalam-dalam. Sejenak mataku awas kearah bulan, dia tersenyum manis dan kulukis juga senyum padanya dan kukirim lewat bingkai galau. Semua diam…
…………………………..
Malam sudah datang, aku harus pergi.
“SELAMAT MALAM”
Makassar, 130807
iip pasoloran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Tulis Komentar Anda