Kamis, 01 Juli 2010

Demokrasi

D e m o k r a s i
oleh : Djoko Sulistiyo
Graduate Student
Florida State University
Tallahassee, Florida, USA

Kata Sahibul hikayat, perbedaan pendapat dan kekerasan itu sudah ada sejak umat manusia muasal bermula di dunia.
Alkisah, dua putera Adam sudah berbunuhan ketika alam baru saja tercipta. Dalam perbedaan pendapat, adakalanya pendapat sang wasis dan bijaksana yang diterima, tapi lebih sering pendapat pendekar sakti perkasalah yang menentukan dunia. Kekuatan dan kesaktian sangat sering lebih menentukan percaturan dunia dibanding kebijaksanaan dan moral yang dibawa para sufi dan pujangga.
Dalam masa kegelapan di Eropa, pendapat kaum Darwinian (The survival of the fittest), dan kaum Machiavelian (The ends Justify the the means) sangat disanjung puja oleh penguasa; dan `Power', sebagai kata kunci kemampuan untuk mempengaruhi kemauan dan tindakan orang lain (Morgenthou) adalah kesaktian yang sangat didamba baik oleh para bangsawan dan paderi gereja yang gila kuasa. Pada masa itu korban saling berjatuhan, baik karena guliotin sang algojo penguasa, maupun oleh tipu daya fitnah sang pemakan bangkai manusia, termasuk mereka yang sok merasa suci, si penguasa agama.
Pada jaman jahiliyahnya orang Eropa, aturan main politik tak ada. Yang ada adalah kekuatan dan kekuasaan. Negara adalah aku (kata sang penguasa), dan kaidah agama adalah aku (kata sang paderi), bagi penentangku, maut adalah ganjaran yang setimpal, karena Akulah the absolute power yang mendapat mandat dunia dan langit.
Ketika jaman berubah, dan tirani mulai tercampakkan, suara rakyat menggema menjadi suara tuhan. Demokrasi (kekuasaan di tangan rakyat) menggema menuntut keadilan. Fatwa pujangga memberi makna : kuasa dibagi menjadi tiga, sehingga sang singa tidak menjadi pemangsa makhluk lemah yang lain, dan hukum rimba tidak lagi merajalela. Pemerintah, wakil rakyat dan hakim, adalah tiga serangkai yang setara. (seru Montesqueu tentang persamaan derajat, dan persaudaraan yang sejajar antar umat manusia disambut dengan gempita oleh sang cendikia sejati Russeau dengan Trias Politica-nya).
Roda jaman terus berlaga : Pragmatisme politik dan idealisme moral selalu bergayut dalam kontradiksi, meski juga bersatu dalam essensinya. Karena politik yang kotor tak akan laku tanpa dibalut jargon kemanusiaan dan bunga-bunga petitah-petitih keadilan.
Ketika Demokrasi mulai dipertanyakan, ketika suara rakyat terbanyak dapat dibeli dengan kekuasaan dan kekayaan para borjuasi, dan ketika roda sejarah mulai menggilas tulang-tulang sang proletar dan marhaen yang tertindas; teriakan "sama rata sama rasa" mulai menggema, demokrasipun kemudian berubah dengan label sosialis dibelakangnya. Tapi kemudian makna egalitariannya juga luruh, ketika kekuasaan rakyat harus diwakilkan kepada para pelopornya, yang kemudian memperoleh privilage dan meninggalkan massanya sebagai batu pijakan untuk kediktatoran `proletar'.
Cerita tak sama ada juga di arena, meski di belahan bumi yang lain. Ketika itu ada konsep tentang negara `kadewatan' yang kata sang dalang, "tata-tentrem-gemah-ripah-loh-jinawi; negara yang tidak ada hujan tidak ada panas, tak ada pertentangan kecuali perdamaian, dibawah pimpinan ratu adil bawa leksana, sang mentari bijak penerang marcapada. Kata cerita, sayangnya, setiap kuasa yang berlebihan selalu mendatangkan bala. Ketika sang ratu terlena oleh bujukan dunia, dan ketika para ponggawa tidak mendapat bagian yang sama, serta ketika kawula alit kapiran. Kuasa sang Hyang Wnang menjelma, negara awang-uwung menjadi badar kamanungsan. Manusia ya tetap manusia; titah sawantah yang selalu menyalah. Konsep negara adiluhung yang kadewatan hanyalah suatu utopia.
Ketika aku capai membuka kalam hikayat, aku bertanya dalam hati : Mengapa Tuhan tidak menjadikan apa yang ada di dunia ini sempurna ? Mengapa dikotomi : baik-buruk selalu ada ?
Aku jadi teringat ketika Hegel berkata, bahwa dialektika ada karena perbedaan. Suatu kemajuan berlanjut karena adanya thesa dan antithesa. Dimana synthesa menjadi thesa baru dan seterusnya. Pertentangan idea adalah bumbunya kemajuan jaman.
Peter Berger menulis tentang piramida korban manusia sebagai tumbal kemajuan jaman, seperti mahabarata bercerita tentang antasena harus labuh pati untuk tumbal bharatayuda bagi pandawa di kurusetra. Tapi sayang, piramida korbannya selalu pada jenjang yang terbawah. Si kecil yang selalu terseok, terpuruk dan tertendang ketika gajah bertarung. Tanpa mereka tahu perubahan untuk apa, selagi pikir mereka terpaku untuk esok makan apa, dan bukan esok makan siapa seperti si penguasa. Dan mereka semakin tidak lagi bermakna apabila pertentangan idea telah merambah ke adu kekuatan physik antar penguasa. Mereka, si kecil, adalah sampah dan debu yang terbuang di pinggir jalanan.
Ketika pikirku mengarah ke rancunya antara isi dan kulit jargon politik, antara demokrasi sebagai idea yang indah dan pelaksanaannya yang runcah, akupun jadi teringat ketika eyangku almarhum bernasihat : Ngger, gebyar jagad-gede hanyalah maya meskipun kelihatannya nyata. Janganlah kamu mudah tertipu oleh pandangan mata wadagmu. Kulit yang berkilau tak selalu isinya mutiara kemala. Tapi tajamkanlah mata bathinmu, nuranimu yang jernih, sehingga kamu mampu menangkap petunjukNya. Yang akan menerangi langkahmu untuk `hamemayu-hayuning bawana', membuat kehidupan semakin indah bagi penghuninya. Sebagai manusia, anjurnya, kita harus mampu membedakan antara yang seloka (timah yang disepuh emas) dengan kencana (yang sesungguhnya emas). Sesuatu kemampuan yang harus dicapai dengan ilmu dan kebijaksanaan, yang dilandasi kebersihan jiwa untuk mencapainya. Suatu ilmu yang akan pudar apabila pemakainya merasa adigang, adigung, adiguna. Manusia yang selalu memakai aji mumpung sakti, kuasa, dan berguna untuk mencapai pamrih-pamrih pribadi dari kehendak nafsu rendah manusia yang tak pernah terpuaskan.
Ketika aku harus menjawab pertanyaan tentang adakah keadilan di bumi ? Jawabku, "Tak ada kesempurnaan di dunia ini, demikian juga dengan jargon demokrasi dengan segala atributnya. Janganlah kita terpaku pada jargon politik yang ada, karena ia selalu bermakna ganda : pragmatisme dan idealisme adalah bungkusan saja, isinya adalah apa yang ada di dada dan perilaku pelakunya. Sangat sering orang berkata bahwa diri, famili dan golongannya adalah contoh manusia yang paling sempurna dalam upaya menyelamatkan dunia. Mereka sering lupa dan menganggap idea orang lain berhala, dan pengikutnya adalah kafir najis yang layak darahnya untuk tertumpahkan. Mereka lupa bahwa pertengkaran yang ada sering terjadi pada tingkat cara, sarana atau kulitnya saja, tanpa mereka tahu bahwa isi dan tujuan kehidupan mereka sama. Mereka adalah orang yang lupa, yang tidak pernah menengok sejarah sebagai cermin kehidupannya.
Demokrasi adalah sarana, demikian juga ideologi dan negara. Pada tingkat cara atau sarana, perbedaan idea adalah suatu hal yang wajar, seperti layaknya penawaran dagangan di pasar, suatu yang dipercaya menjanjikan nilai lebih tentu akan banyak peminatnya. Pada tingkat cara, tidak ada absoluditas penghakkan atas kebenaran, karena benar menurut sesuatu ada mengandung sedikit ketidakbenaran yang belum terungkapkan, demikian juga dengan pendakuan hak kebenaran ke arah kebenaran yang harus diuji oleh sejarah keabsahannya. Namun satu yang kita tidak boleh lupa, semua cara yang ada selalu bermuara pada tujuan yang sama, yaitu peningkatan harkat, martabat dan derajat manusia. Perbedaan idea untuk suatu kemajuan adalah suatu yang nature yang tak mungkin terhalangi, tapi tak perlu itu dibumbui dengan kerendahan budi untuk penguasaan phisik yang hewani, sehingga setiap cara dibalut dengan topeng-topeng kepalsuan yang menyiksa.
Aku cuma berharap, apabila semua sadar bahwa semua cara bermuara pada peningkatan harkat, martabat dan derajat kemanusiaan tersebut, maka kedamaian, kesejahteraan dan keadilan di dunia akan terwujud. Tapi apabila orang hanya terpaku untuk mendaku kemutlakan cara pandang melihat kebenaran adalah miliknya sendiri, tanpa menyadari kelemahan pribadi yang selalu terperangkap relatifitas, maka pertarungan idea selalu akan berlabuh pada perkelahian phisik. Dan akupun akan terus menyaksikan, si kecil akan menjadi pupuk percuma, dari pohon-pohon yang akan selalu bertumbangan.
Ini adalah suatu keprihatinan, bila tidak dapat dikatakan peramalan untuk suatu masa yang tak terlalu jauh bagi bangsaku tercinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Tulis Komentar Anda