Posting, Sabtu 03 Juli 2010
Alex Kawilarang
September 1956 saya berangkat ke Washington, DC., Amerika Serikat, sebagai atase militer. Duta besar kita di sana waktu itu adalah Bapak Mukarto. Tugas saya antara lain mengurus perwira-perwira kita dari AD dan AL yang belajar di tempat-tempat pendidikan yang di AD Amerika Serikat Fort, seperti Fort Benning, Fort Leavenworth, dan lain sebagainya. Sering juga saya dapat mengunjungi tempat-tempat itu dan bertemu dengan perwira-perwira kita, dan dengan kepala pendidikan dan instruktur-instruktur dari Fort itu.
Saya dibantu oleh teman-teman Letnan Kolonel Ashari Danudirdjo, Letnan Kolonel Subroto Kusmardjo dan Kapten Ragowo sebagai asisten atase. Mereka ini baik sekali dalam tugasnya masing-masing dan sangat memuaskan dalam kerja sama.
Sementara itu di Indonesia di tahun 1957 terjadi beberapa peristiwa yang mengkhawatirkan. Memang waktu saya masih panglima di Jawa Barat di pertengahan tahun 1956, sudah mulai kedengaran kurang puas di daerah-daerah terhadap Pemerintah RI Pusat di Jakarta. Perasaan ini rupanya meningkat di tahun 1957. Sebab-sebabnya antara lain: Makin meningkatnya gejolak politik dan rasa tidak puas/percaya terhadap Pemerintah RI Pusat di Jakarta; Kebijaksanaan pembangunan nasional/daerah, tidak mencerminkan pemerataan/keadilan; Usaha-usaha tersamar PKI memperkuat posisi dan peranan dalam tubuh pemerintah RI Pusat; dan Pertentangan/perpecahan dalam Konstituante yang menjurus ke jalan buntu.
Perkembangan situasi politik dan rasa kurang puas di daerah-daerah sampai pada terbentuknya gerakan dewan-dewan, seperti Dewan Gajah di Sumatra Utara, Dewan Banteng di Sumatra Barat, Dewan Garuda di Sumatra Selatan, Dewan Mangkurat di Kalimantan, Front Pemuda Sunda di Jawa Barat dan Permesta di Indonesia Timur (2 Maret 1957) yang lambat laun hanya berada di Sulawesi Utara.Dewan-dewan ini, yang pada umumnya dipimpin oleh komandan-komandan setempat, mengajukan berbagai tuntutan kepaa Pemerintah Pusat, berkisar pada empat masalah pokok, yakni: (a) pemulihan kembali Dwitunggal Sukarno-Hatta, (b) pelaksanaan pembangunan nasional, (c) perubahan pimpinan Angkat Darat, dan (d) larangan terhadap komunisme.
Pemerintah RI Pusat di bawah pimpinan Djuanda pada waktu itu, berusaha mengatasi kemelut situasi politik tersebut dengan prakarsa penyelenggaraan Musyawarah Nasional (Munas) dan mengundang keikutsertaan semua potensi/kekuatan sosial, politik, baik di pusat maupun daerah, termasuk juga tokoh-tokoh/pimpinan daerah-daerah bergolak.
Dalam Munas yang berlangsung dari 10 sampai dengan 15 September 1957, para utusan/wakil daerah-daerah bergolak menuntut agar Munas membicarakan empat masalah pokok tersebut di atas. Tetapi tuntutan, tidak diterima semuanya dan yang dijadikan agenda pembicaraan hanya tiga masalah, yakni: (1) pemulihan kembali dwitunggal Soekarno-Hatta, (2) pelaksanaan pembangunan nasional, (3) perubahan pimpinan Angkatan Darat, sedang mengenai masalah "larangan terhadap komunisme", tidak dibicarakan, karena ditolak oleh Presiden Soekarno. (Pada tahun 1965 penolakan ini langsung dan tidak langsung jadi bumerang untuk Presiden Soekarno).
Munas menghasilkan keputusan tentang pembentukan "Panitia 9" (terdiri dari unsur-unsur Pemerintah dan DPR), yang kemudian mengeluarkan statement mengenai beberapa keputusannya, sebagai berikut: (a) masalah Dwitunggal, disetujui untuk segera dipulihkan kembali; (b) mengenai pembangunan, segera akan diadakan Musyawarah Pembangunan Nasional (Munap); (c) masalah Angkatan Darat, akan ditangani oleh Panitia-7 yan beranggotakan: Soekarno, Hatta, Djuanda, Leimena, Hamengku Bowono IX, Azis Saleh, A.H. Nasution.
Panitia-7 mengeluarkan keputusan-keputusan antara lain: (a) amnesti bagi perwira-perwira pimpinan gerakan di daerah-daerah bergolak; (b) perwira-perwira yang ingin berpolitik, supaya meninggalkan Angkatan Darat; (c) dibentuk "Dewan Militer" untuk menangani/mengatasi masalah Angkatan Darat, yang terdiri daeri: (1) unsur-unsur pimpinan Angkatan Darat; (2) unsur-unsur perwira pimpinan daerah-daerah bergolak.
Langkah lebih lanjut yang diambil adalah pembentukan suatu fact finding commitee, beranggotakan: Sudirman, A.J. Mokoginta, J. Muskita.
Panitia-7 tidak pernah sampai pada realisasi pembentukan "Dewan Militer", karena pimpinan Angkatan Darat tidak menerima ide pembentukan badan tersebut. Dalam kemelut situasi ini, di waktu Munap sedang berlangsung, pada tanggal 30 November 1957, timbul peristiwa Cikini, yakni penggranatan pada waktu gedung sekolah di Cikini oleh unsur-unsur tertentu dalam usaha membunuh Presiden Soekarno, yang menimbulkan banyak korban di kalangan anak-anak sekolah tersebut.
Jenderal Nasution menuduh Zulkifli Lubis sebagai otak/dalang Peristiwa Cikini tersebut serta dengan dalih terlibat dalam peristiwa itu, KMKB (Komando Militer Kota Basis Jakarta) mulai mengadakan penangkapan-penangkapan terhadap tokoh-tokoh/ pemimpin militer maupun sipil dan daerah yang dicurigai.
Pemerintah juga membekukan semua hasil/keputusan Munas sehingga situasi menjadi tegang dan banyak pihak, karena merasa terancam akan ditangkap, menghilang dari Jakarta, ada yang lari ke tempat-tempat yang lebih aman di daerah, bahkan ada yang ke luar negeri.
Peristiwa Cikini ternyata sama sekali tidak ada kaitan dengan penyelenggaraan Munas dan semua pelaku penggranatan dapat ditangkap dan diadili/dihukum. Alasan pelaku-pelaku sama sekali tidak ada hubungan dengan Zulkifli Lubis dan daerah-daerah bergolak. Ternyata alasan pelaku hanya sentimen khusus terhadap diri Soekarno. Dan juga keterlibatan Zulkifli Lubis tidak pernah dapat dibuktikan.
Pendeknya; menurut saya keputusan Munas (Musyawarah Nasional) sama sekali diabaikan oleh pemerintah dengan alasan peristiwa Cikini dan yang dipersalahkan adalah daerah, tanpa bukti. Sedangkan menurut saya apalagi yang lebih tinggi berharga dari keputusan Munas. Pemerintah RI Pusat juga menghentikan hubungan Garuda Indonesia Airways dan kapal-kapal untuk ke Sulawesi Utara dan Sumatra Barat. Daerah-daerah bergolak dalam rangka usaha menghadapi tindakan-tindakan Pemerintah Pusat yang demikian opresif itu, mengambil langkah-langkah saling konsultasi dan konsolidasi antara lain:
Pertemuan konsultasi/konsolidasi di Sungai Dareh, Sumatra Barat, akhir Desember 1957. Pembicaraan dalam pertemuan ini mengenai mengatasi kesulitan suplai, berhubung politik "diisolasi oleh Pemerintah Pusat. Sama sekali tidak dibicarakan tentang pemerintah tandingan. Memang yang dibicarakan ada juga mengenai Dewan Revolusioner, berhubung penangkapan-penangkapan di Jakarta.
Pada 10 Februari 1958 di Padang dikeluarkan "Piagam Perjuangan untuk menyelamatkan negara", yang merupakan ultimatum, antara lain berisikan tuntutan agar Dwitunggal segerah dipulihkan, dan agar pemerintah Djuanda mundur. Sebelum ultimatum selesai tanggal 12 Februari 1958 pukul 10.00, Padang dibom oleh AURI. Dan pada tanggal 15 Februari 1958 di Padang diproklamasikan berdirinya PRRI sebagai pemerintah tandingan terhadap Pemerintah Pusat.
Pada tanggal 17 Februari 1958 di Manado, Permesta menyatakan solider dengan PRRI dan tidak lama kemudian Manado dibom. Kejadian-kejadian tahun 1957 dan permulaan 1958 dapat saya simpulkan:
1. Prakarsa PM DJuanda dengan menyelenggarakan Munas sebenarnya merupakan gagasan positif yang dapat membuka jalan ke arah penyelesaian kemelut situasi politik nasional.
2. Prakarsa itu akhirnya gagal, karena sikap yang kurang akomodatif dari pimpinan Angkatan Darat seperti yang tercermin dari keengganannya merealisasi keputusan "Panitia-7" mengenai pembentukan "Dewan Militer" serta tindakan-tindakannya melakukan penangkapan-penangkapan orang-orang pihak daerah bergolak dengan dalih terlibat dalam peristiwa Cikini.
3. Kesemuanya telah meningkatkan ketegangan/kekacauan situasi politik yang berakibat timbulnya peristiwa PRRI dan Permesta.
Bulan Maret 1958 saya menghadap Duta Besar Mukarto dan mengatakan, bahwa saya akan ke Sulawesi Utara. Sebelumnya saya sudah mengirimkan kawat ke KSAD, mengabarkan bahwa saya meletakkan jabatan saya, berhubung tidak setuju dengan tindakan Pemerintah Pusat di Jakarta. Sebelum saya keluar dari kantor KBRI itu, saya adakan dulu timbang terima. Keuangan saya bereskan dan saya serahkan seluruhnya. Begitu juga barang-barang dan dokumen-dokumen milik pemerintah RI yang ada pada saya, saya serahkan kepada yang harus menerimanya. Saya tinggalkan suasana hidup aman di Washington, DC dan saya tinggalkan ketenangan bekerja di kantor KBRI, menuju ke kehidupan yang bakal serba gelap dan tidak menentu. Untuk daerah memang nasi sudah jadi bubur. Deburan hati pula yang saya ikuti.
Bentrokan intern Indonesia tentu dipergunakan oleh beberapa negara lain untuk manfaatnya sendiri. Tiga tahun lebih terjadi konfrontasi bersenjata yang berakhir dengan Permesta kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Saya sendiri menganggap bahwa kehidupan saya sebagai tentara sudah berhenti sejak Maret 1958.Sesudah kembali ke Jakarta tahun 1961, saya melihat hari depan sangat gelap untuk saya. Tetapi waktu itu saya melihat juga, bahwa untuk seluruh Indonesia hari depan sangat gelap.
Barulah sesudah peristiwa Oktober 1965 saya dan teman-teman saya dapat bernapas lebih lega dan mulai kelihatan terang untuk tahun-tahun kemudian. Di tahun 1966 ada seorang dari surat khabar yang bertanya, "Apakah sudah direhabilitasi?" Saya jawab "Siapakah yang harus merehabilitasikan siapa?!
(Sumber: A.E. Kawilarang, Untuk Sang Merah Putih)
tulisan ini asalnya dari http://permesta.8m.net/tokoh/alex_kawilarang-2.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Tulis Komentar Anda