Potret Demostrasi Dukung “Buaya”
Polri mencari-cari kesalahan Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah sejak Juli 2009 lalu, dukungan mengalir dari sebagian besar rakyat yang selama ini kurang percaya institusi polisi (dan jaksa) yang dikenal korup (Sumber : TII 2008, TII 2009). Ketidakpercayaan publik kepada Polri dan Kejaksaan semakin tinggi pasca pemutaran rekaman perbicaraan Anggodo dengan sejumlah pejabat teras di lembaga penegak hukum ini. Namun ditengah dukungan yang besar kepada Bibit dan Chandra, mengalir pula dukungan kepada Polri (dan kejaksaan). Selain membuat account facebook tandingan Bibit dan Chandra, para “pendukung” Polri juga turun ke jalan sebagaimana para “pendukung” Bibit dan Chandra.
Bila para demonstrasi aksi damai pada pada 8 Nov 2009 turun ke jalan atas inisiatif pribadi (tanpa dibayar, kecuali sponsor untuk panggung), maka dalam berbagai aksi turun jalan para pendukung Polri (atau “Buaya” dalam analogi Komjen Susno Duadji) ternyata DIBAYAR! Dan parahnya lagi, para demonstran tidak tahu apa yang sedang mereka dukung, apapula yang sedang mereka kritisi!
Ratusan masyarakat melakukan aksi demontrasi di depan Istana Negara, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Rabu (18/11). Mereka mengecam rekomendasi Tim Delapan dan menyatakan mendukung Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri untuk meneruskan proses hukum terhadap pimpinan (nonaktif) Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah.
Namun, entah karena sibuk atau tidak memperhatikan pemberitaan, kebanyakan para pendemo tidak mengetahui nama orang yang dibelanya. Padahal, setelah kasus dugaan kriminalisasi Bibit dan Chandra mencuat, wajah dan nama Kapolri kerap muncul di media cetak ataupun elektronik.
“Enggak tahu siapa (nama Kapolri),” ujar Sulaeman (27) kepada Kompas.com yang bertanya nama Kapolri. Meski tidak mengetahui siapa nama Kapolri, Sulaeman menilai Kapolri layak didukung. Pasalnya, kata dia, Bibit dan Chandra terbukti bersalah dan selayaknya mendapat hukuman. Apa kesalahan Bibit dan Chandra? “Enggak tahu,” jawab Sulaeman sambil tersipu.
Ubay (19), pengunjuk rasa lainnya, juga tidak mengetahui siapa nama Kapolri. Warga Cakung ini mengaku hanya mengetahui wajah Kapolri. “Wajahnya tahu, tapi namanya enggak,” akunya. Ia juga tidak mengetahui secara pasti kasus yang menimpa Bibit-Chandra. Hanya sesekali ia mengikuti pemberitaan mengenai kasus yang menyedot perhatian hampir semua masyarakat Indonesia ini. “Itu kasus KPK. Masalah Bibit-Chandra,” ujarnya sambil berlalu.
“Saya tahunya Tim 8 itu yang sering nongol di tivi. Kalau polisi-jaksa ya penegak hukum,” kata Surono (35), yang tergabung dalam massa pengecam Tim 8 dan pendukung Kejaksaan-Polri saat berdemo di Bundaran HI, Jakarta.
Hal serupa diungkapkan Jati (23). Warga Menteng Dalam itu mengaku diajak berdemo oleh temannya kemarin. Saat itu ia tengah mangkal di pangkalan ojek dan diminta bergabung untuk berdemo. “Ah, enggak dibayar kita. Cuma diganti ongkos ojek Rp 25.000. Kita gemas aja, di tivi pada rame kita jadi ingin juga,” ucap Jati sambil mengusung tinggi-tinggi poster bertuliskan “Tim 8 Hanya Badut”.
Tampaknya, hanya sebagian kecil massa yang tahu persis duduk persoalan. Hanya mereka berdiri di mobil pengeras suara dan berpidato kencang-kencang. Lalu menyebut sejumlah aktor yang terlibat polemik Bibit-Chandra dengan fasih. Juga ngomong soal sistem hukum dan keadilan dengan lantang.
Aksi ini diikuti oleh 700 hingga 1.000 orang. Banyak di antaranya ibu-ibu yang mengenakan pakaian daster. Mereka menumpang sekitar 25 Metro Mini.
Disusun : Kompas dan Detiknews
Demonstran Bayaran Memakan Korban (Poskota)
Sebagian besar demonstran bayaran pendukung polisi ini direkrut dari daerah Bogor. Para demonstran ini diangkut dengan rombongan bus. Namun, naasnya salah satu dari rombongan bus pendukung ‘bayaran’ polisi untuk melakukan aksi demo di Jakarta terguling di Jalan Raya Cibungbulan Kabupaten Bogor Rabu (18/11) pagi. Akibatnya seorang pelajar tewas akibat dihantam bus, beberapa orang lainnya luka ringan dan berat.
Korban meninggal, Ibnu 16, pelajar STM Pandu Bogor. Anak pasangan Endang 45, dan Elita 44, meninggal di lokasi dengan seragam sekolah penuh darah. Kondisi bus rusak berat di bagian depan karena menabrak bengkel motor di pinggir jalan. Peristiwa nahas ini terjadi , akibat sopir tidak mampu menguasai setir saat menghindari angkot yang melaju dari arah berlawanan.
Demo Bayaran, Menjadi Komoditas Ekonomi (Detiknews)
Penasaran dengan isu massa bayaran pada tiap demontrasi yang akhir-akhir ini kerap beraksi? Cobalah trik ini. Berpakaianlah dengan sederhana. Bercelana jins, kemeja lengan pendek, dan memakai topi. Pergunakan tas ransel kecil di punggung atau tas pinggang ukuran sedang.
Lalu, gunakan mobil yang tidak terlalu mewah buatan tahun 2005 atau 2000. Kalau tidak ada, kendarai sepeda motor yang sudah lama tidak dicuci. Kemudian, pergilah ke daerah miskin di Jakarta. Miskin ini dalam arti harfiah tentunya, seperti pemukiman padat dan penduduknya berpendapatan pas-pasan. Beberapa lokasi yang bisa dituju seperti kolong tol Rawa Bebek dan Kebon Bawang Jakarta Utara. Menteng Dalam atau Tanah Tinggi Senen, Jakarta Pusat. Tegal Alur atau Kampung Ambon, Jakarta Barat.
“Saya baru matikan kendaraan, langsung disamperin pemuda setempat. Dia bilang ‘Cari massa, Bang? Saya ada di belakang tinggal dipanggil” cerita Hardi Baktiantoro, pegiat LSM dari Centre for Orangutan Protection kepada detikcom beberapa waktu lalu.
Hardi yang sedang menemani rekannya hanya senyum-senyum, menolak dengan halus. Lalu si pemuda itu kembali ke “sarangnya,” sebuah pos kamling yang telah disulap sedemikian rupa. Penasaran dengan cerita Hardi, detikcom berusaha menelusuri. Dengan trik serupa, detikcom lalu “blusukan” ke daerah Rawa Buaya, Jakarta Utara. Titik yang dituju merupakan daerah miskin kolong tol.
“Mau berapa orang, Mas? Ngecer atau paket?” ucap salah seorang penggerak massa menyapa detikcom.
Diapun membeberkan apa itu ngecer atau paket. Ngecer biasa menunjuk pada jumlah per orang saja. Sementara paket sudah terima beres, dari biaya per-kepala, transportasi, mobil pengeras suara, hingga nasi bungkus. Namun untuk spanduk atau poster tidak mereka menyediakan.
“Posternya situ yang buatlah. Kan situ yang tahu targetnya,” kelit Joni–begitu penggerak massa itu memperkenalkan diri.
Mengenai harga, semua bisa dimusyawarahkan. Saat ini, biaya per kepala Rp 20.000-25.000, tergantung kemampuan menawar. Nilai itu juga ditentukan skala isu, yakni lokal atau nasional. Sementara untuk biaya mobil pengeras suara dan transportasi lebih fluktuatif, tergantung ukuran dan besaran. Tidak hanya di Rawa Buaya tentu. Banyak tempat yang menawarkan massa bayaran dengan mudah. Saat detikcom menelusuri tempat-tempat di atas, hampir selalu dihampiri ‘Joni-Joni’ yang lain. Biasanya mereka langsung “to the point”, namun terkadang tidak jarang dengan basa-basi terlebih dahulu.
“Orang-orang seperti itu yang mencoreng dunia pergerakan. Kasihan yang murni berjuang dinodai segelintir massa bayaran,” sesal Hardi Baktiantoro.
Sayangnya penyesalan itu seperti angin lalu. Massa bayaran telah menjadi komoditas di era demokrasi modern. Caranyapun makin cepat dan mudah didapat. Bila sudah kenal dengan ‘Joni-Joni’ penggerak massa, tinggal angkat telepon, semudah memesan makanan cepat saji. “Halo Boss..Bisa pesan massa 100 orang? Pake ibu-ibu dan anak kecil ya..Enggak usah pakai mobil sound, kita sudah ada. Terima kasih,” barangkali kira-kira begitulah sang pemesan mengontak Joni.
Dagelan “Demonstrasi” untuk Kebenaran!
Ciri khas negara demokrasi adanya kebebasan untuk bersuara dan berpendapat yang sering diterjemahkan oleh masyarakat saat ini dengan istilah demonstrasi atau unjukrasa. Untuk menyampaikan aspirasi, tentu ada tahap-tahapannya, mulai dari musyawarah, usulan, aksi turun ke jalan hingga gerakan mosi tidak percaya menyeluruh. Sebagai manusia yang beradab, sudah semestinya kita menggunakan cara yang elegan untuk bersuara dan berpendapat.
Namun, setelah gerakan Mahasiswa 1997-1998 yang berhasil menumbangkan rezim otoriter dan sarat KKN di era orde baru, gerakan mahasiswa selanjutnya diterjemahkan sejumlah kelompok sebagai alat efektif untuk melakukan protes. Dan tidak jarang aksi unjukrasa saat ini hanya menjadi alat untuk melegitimasi kepentingan politik tertentu. Para oknum tidak tanggung-tanggung menyewa para preman untuk melakukan teror dengan meminjam istilah demonstration for democracy. Bahkan, ada juga unit mahasiswa saat ini melakukan demonstrasi dimotori oleh kepentingan tertentu. Demonstrasi berubah fungsi, tidak sekedar sebagai alat kontrol demokrasi, namun lebih pada komoditas ekonomi belaka. Mereka (para demonstran) mendapat bayaran, sehingga tidak jarang demonstrasi dilakukan bak orang kerasukan setan. Sehingga nilai demonstrasi pada demokrasi menjadi democrazy, orang yang dipenuhi nafsu kegilaan (setan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Tulis Komentar Anda