Oleh : Herdiansyah Hamzah
Pasas bebas (free market) merupakan sejarah panjang dari politik Perdagangan bebas (free trade), yang tidak lain merupakan antitesa (baca : bertolakbelakang) dari politik ekonomi merkantilisme. Sebuah paham yang meyakini bahwa kesejahteraan suatu negara hanya ditentukan oleh banyaknya aset atau modal yang disimpan oleh negara yang bersangkutan. Aset ekonomi atau modal negara dapat digambarkan secara nyata dengan jumlah kapital (mineral berharga, terutama emas maupun komoditas lainnya) yang dimiliki oleh Negara. Dan modal ini bisa diperbesar jumlahnya dengan meningkatkan ekspor dan mencegah impor sebisa mungkin, sehingga neraca perdagangan dengan negara lain akan selalu positif. Merkantilisme mengajarkan bahwa pemerintahan suatu negara harus mencapai tujuan ini dengan melakukan proteksi terhadap perekonomiannya, dengan mendorong eksport (dengan banyak insentif) dan mengurangi import (biasanya dengan pemberlakuan tarif dan pajak yang besar). Kebijakan ekonomi yang bekerja dengan mekanisme seperti inilah yang dinamakan dengan sistem ekonomi merkantilisme.
Namun dalam perkembangannya, politik merkantilisme ini dianggap menjadi suatu skema sistem ekonomi yang tidak efektif. Hal tersebut disebabkan oleh campur tangan Negara yang dianggap terlalu besar, sehingga membuat sistem perdagangan mengalami stagnasi. Salah satu kritikus terhadap politik merkantilisme ini adalah Adam Smith. Smith mengatakan bahwa hukum pasar tidak boleh dikekang, oleh karna itu, pasar harus dibuka seluas-luasnya dengan meminggirkan peran Negara, yang cenderung membatasi individu (private). Dalam karyanya yang berjudul “An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations” yang kemudian disingkat “The Wealth of Nations”. Smith yang menggambarkan sejarah perkembangan industri dan perdagangan di Eropa serta dasar-dasar perkembangan perdagangan bebas dan kapitalisme. Adam Smith sendiri dikenal sebagai salah satu pelopor sistem ekonomi Kapitalisme.
Satu dari poin utama dari karya The Wealth of Nations tersebut adalah pasar bebas. Smith percaya kalau motif manusia akan mengikuti watak dasarnya yang cenderung egois dan tamak, kompetisi dalam pasar bebas akan bertujuan menguntungkan masyarakat seluruhnya dengan memaksa harga tetap rendah, dimana tetap membangun dalam insentif untuk bermacam barang dan jasa. Smith sangat mengkritik keras upaya monopoli Negara yang justru membatasi ekspansi industri. Negara bagi Smith terlalu jauh melakukan intervensi dalam proses ekonomi, salah satunya dalam hal penentuan tarif. Intervensi tariff ini dianggap membuat inefisiensi dan harga tinggi pada jangka panjang. Teori ini kemudian dikenal dengan “laissez-faire”, yang berarti “biarkan mereka lakukan”, tanpa pembatasan serta intervensi dari Negara.
Konsepsi awal mengenai pasar dan perdangan bebas Adam Smith, kemudian dekembangkan oleh David Ricardo pada tahun 1887. Ricardo adalah salah satu ekonom yang tidak menyepakati kebijakan Negara melalui Pemerintah dalam hal pembatasan perdagangan. Menurut Ricardo, salah satu alasan mendasar yang mendorong keharusan perdagangan internasional menuju pasar bebas adalah, perbedaan keunggulan komparatif (comparative advantage) antar Negara dalam menghasilkan komoditas tertentu. Suatu Negara akan melakukan ekspor komoditas yang dihasilkan lebih murah, dan melakukan impor komoditas yang lebih mahal dalam penggunaan sumber daya.
Pertayaan mendasar kemudian muncul, “Benarkah pasar bebas akan melahirkan kemakmuran bagi ummat manusia, khususnya bagi Negara-negara berkembang?”. Bagi Negara maju yang tidak lain merupakan penganjur pasar bebas, tentu saja akan memberikan jawaban yang sepenuhnya mengamini teori Smith dan Ricardo. Inilah jalan terbaik bagi kemakmuran manusia, begitulah kira-kira klaim Negara-negara induk kapitalisme. Dengan pasar bebas, maka ekspansi (perluasan) modal dan distribusi koomoditas, akan berjalan dengan baik. Dengan pasar bebas, maka industri raksasa internasional (MNC/TNC) yang berada di bawah kendali mereka, akan lebih leluasa melakukan take-off kekayaan alam dunia ketiga. Namun sebaliknya, indsutri Negara berkembang, termasuk Indonesia, justru akan mengalami kemunduran dan colaps akibat kalah bersaingnya komoditas produk luar yang tentu saja jauh lebih murah.
Mitos Pasar Bebas
Pasar bebas, kini tengah mengancam industri Indonesia. Perjanjian dan kesepakatan internasional terkait perdagangan bebas, kini gencar dilakukan, oleh Pemerintah tanpa pernah mencoba melihat dampak yang akan ditimbulkan. Indonesia sendiri telah menyepakati areal perdagangan bebas, diantaranya : Asean Free Trade Agrement (AFTA), Indonesia - Jepang EPA, Asean – China FTA, Asean – Korea FTA. Sedangkan yang masih dalam tahap perundingan adalah Asean – India FTA, Asean – EU FTA, Asean – Australia – New Zealand FTA. Sementara zona perdagangan bebas antara Indonesia – AS FTA dan Indonesia – EFTA (Swis, Leichestein, Norwegia dan Islandia), masih dalam proses Pra-negosiasi dan joint study gro. Dan salah satu yang menyita banyak perhatian hari ini adalah kesepakan zona perdagangan bebas antara persekutuan Negara-negara Asean (termasuk Indonesia), dengan Cina.
Pemerintah telah membangun kesepakatan internasional dengan cina terkait dengan area perdangan bebas antara Cina dan Negara-negara ASEAN, atau yang kita sering sebut dengan China-Asean Free Trade Aggrement (CAFTA). Kesepakatan tersebut dilakasanakan oleh Pemerintah di Bandar Seri Begawan, Brunei, pada tanggal 6 November Tahun 2001 silam. Logika kesepakatan perdagangan bebas yang dibangun dengan Cina tersebut, tidak lebih dari upaya Negara-negara maju dalam memperluas pangsa pasar produknya, yang mana disisi lain justru mematikan indsutri domestic Negara berkembang. Pemerintah ketika itu melontarkan 3 (tiga) alasan utama mengapa kesepakatan CAFTA ini diambil, yakni : Pertama, penurunan dan penghapusan tarif serta hambatan nontarif di China membuka peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan volume dan nilai perdagangan ke negara yang penduduknya terbesar dan memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia. Kedua, penciptaan rezim investasi yang kompetitif dan terbuka membuka peluang bagi Indonesia untuk menarik lebih banyak investasi dari China. Dan Ketiga, peningkatan kerja sama ekonomi dalam lingkup yang lebih luas membantu Indonesia melakukan peningkatan capacity building, technology transfer,dan managerial capability.
Namun apa yang diharapkan oleh Pemerintah dari kesepakatan pasar bebas ini, justru menjadi mimpi di siang bolong. Harapan kesejahteraan tak ubahnya seperti mitos yang hanya terdengar manis ditelinga. Alih teknologi misalnya, perusahaan asing yang menjarah kekayaan alam kita, justru hanya meninggalkan setumpuk persoalan. Tingkat penggunaan teknologi industry kita tetap jauh tertinggal dengan Negara-negara maju. Negara kita memang telah terbuai mimpi Neo-liberalisme yang berkedok pasar bebas. Neo-liberalisme telah melempar mitos kesejahteraan yang justru kontradiktif dengan fakta yang ada. Menurut Mansour Fakih, mitos-mitos Neo-liberalisme tersebut dapat dilihat dari beberapa skema, antara lain : Pertama, perdagangan bebas akan menjamin pangan murah dan kelaparan tidak akan terjadi. Kenyataan yang terjadi bahwa perdagangan bebas justru meningkatkan harga pangan. Kedua. WTO dan TNC akan memproduksi pangan yang aman. Kenyataannya dengan penggunaan pestisida secara berlebih dan pangan hasil rekayasa genetik justru membahayakan kesehatan manusia dan juga keseimbangan ekologis. Ketiga, kaum permpuan akan diuntungkan dengan pasar bebas pangan. Kenyataannya, perempuan petani semakin tersingkir baik sebagai produsen maupun konsumen.Keempat, bahwa paten dan hak kekayaan intelektual akan melindungi inovasi dan pengetahuan. Kenyataannya, paten justru memperlambat alih teknologi dan membuat teknologi menjadi mahal. Dan Kelima, perdagangan bebas di bidang pangan akan menguntungkan konsumen karena harga murah dan banyak pilihan. Kenyataannya justru hal itu mengancam ketahanan pangan di negara-negara dunia ketiga.
Namun alasan-alasan tersebut, tidaklah berbanding secara linear dengan tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia. Pun demikian dengan indsutri domestik, yang justri kian rapuh dan tersingkirkan akibat praktek ekonomi biaya tinggi. Industri domestic kita juga kalah bersaing dengan industry luar negeri. Berdasarkan catatan International Instititute for Management Development dalam World Competitiveness Yearbook 2006-2008 menyebut daya saing Indonesia semakin merosot hingga ke peringkat 52 dari 55 negara. Sumber lain versi World Economic Forum menunjukkan daya saing Indonesia berada di posisi 54 atau lebih rendah dibandingkan Singapura, Malaysia, dan Thailand. Namun yang menjadi permasalahan bukanlah pada aspek siap atau tidaknya Indonesia menghadapi pasar bebas tersebut. Memang sangat mengherankan, diskursus perdagangan bebas atau Free Trade Aggrement antara Asean dan Cina (CAFTA) yang akan berlaku mulai 1 Januari 2010 nanti, telah tergiring pada pokok pembahasan soal ketidaksiapan itu. Sungguh sangat naïf. Sebab melihat perdaganan bebas ini, harus dipandang dari kacamata, untuk dan kepentingan siapa areal perdaganan bebas ini dibuka seluas-luasnya?.
Siapa Yang Diuntungkan?
Selama ini, perdagangan lintas teritori dianggap belum berjalan secara maksimal sebagaimana hukum-hukum pasar (law market) yang berlaku. Hambatan-hambatan ekonomi yang dimaksud antara lain : Tarif atau bea cukai, Kuota, Subsidi, Muatan lokal, Peraturan administrasi dan Peraturan antidumping. Pembatasan inilah yang selama ini dianggap benalu bagi perkembangan ekonomi dunia. Suatu skema perekonomian global, yang diyakini akan mampu memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi Negara berkembang. Namun benarkah pasar bebas akan memberikan keuntungan bagi Negara berkembang?. Jika melihat fakta hari ini, maka skema pasar bebas yang konon akan membangun pemerataan ekonomi dunia adalah pernyataan yang omong kosong belaka. Pasar bebas hanya menguntungkan Negara maju, di atas penderitaan Negara berkembang yang kian dimiskinkan. Sebagai contoh, pada tahun 2008 impor produk China mengambil alih 70 persen pangsa pasar domestik Indonesia yang semula dikuasai sektor UMKM. Banjir produk murah dari China menyebabkan pangsa pasar usaha tekstil dan produk terkait (TPT) domestik menurun dari 57 persen pada 2005 menjadi 23 persen pada 2008. Di bidang ekspor, produk nonmigas Indonesia seperti tekstil dan mainan anak-anak juga makin disaingi produk-produk sejenis dari China. Meningkatnya proteksionisme di AS,Eropa,dan banyak negara di belahan bumi lain sejak era krisis global membuat kita khawatir, produk-produk China justru akan mengalir ke pasar Indonesia. Apakah ini yang kita sebut dengan pemerataan ekonomi?. Yang ada hanya perampokan dan penjarahan besar-besaran terhadap kekayaan alam kita, bagi dari hulu ke hilir system perdangangan. Dan bisa dibayangkan, jika kesepakatan Cina-Asean Free Trade Aggrement (CAFTA) telah mulai diberlakukan, maka tingkat monopoli-pun akan berlangsung tanpa terkontrol. Komoditas Cina dipastikan akan membanjiri Negara kita, jauh lebih hebat dibanding sebelum kesepakatan tersebut tercapai.
Berbagai sector industry, khususnya manufaktur, dipastikan akan terpukul mundur dengan kesepakatan area pasar bebas tersebut. Menurut Dirjen Bea dan Cukai Departemen Keuangan Anwar Suprijadi, pelaksanaan perjanjian perdagangan bebas (FTA) berpotensi menurunkan penerimaan negara (potential loss) dari kepabeanan hingga mencapai sekitar Rp 15 triliun. Ini tentu akan memaksa penyesuaian anggaran APBN, dengan mencarai pos anggaran lain. Dan bisa dipastikan, bahwa pos anggaran baru ini, sekali lagi akan mengorbankan rakyat Indonesia. Di sector tekstil, juga bernasib sama. Menurut Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ernovian G Ismy, penerapan FTA dengan Ciba ini berpotensi menurunkan penerimaan negara. Bahkan, pada tahun 2010 potensi defisit perdagangan tekstil dan garmen diperkirakan mencapai lebih dari 1,2 miliar dollar AS. Terlebih lagi, bahwa pemberlakuan CAFTA tersebut, mulai efektif diberlakukan di saat krisis energy dasar melanda Indonesia. Salah satunya adalah krisis listrik, yang hingga saat ini tak kunjung terselesaikan. Sektor manufaktur jelas akan semakin sulit bernafas dari gempuran industry Cina. Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel) menilai perjanjian area perdagangan bebas (Free Trade Agreement) antara ASEAN-dan China akan menuai masalah mengkhawatirkan dan akan mengancam untuk sektor industry manufaktur. Wakil sekjen Gabel, Yeane Keet menyatakan bahwa permasalahan klasik di sektor industri saja belum terselesaikan, yaitu biaya ekonomi tinggi disertai kendala infrastruktur seperti tersedianya jalan yang memadai dan pasokan listrik yang cukup. Bagaimana mungkin kita bisa bertahan jika perjanjian pasar bebas tersebut diberlakukan. Kesepakatan pasar bebas Cina-Asean tersebut akan menghapuskan 6.682 pos tarif (bea masuk-BM). Dari sejumlah tersebut ada sekira 700 produk manufaktur yang terindikasi akan menghadapi problem daya saing dalam FTA ASEAN-China itu.
Menurut Ketua Assosiasi Pengusaha Indonesia, Sofyan Wanandi, terdapat sekira 16 sektor usaha menyatakan, belum siap memasuki pasar bebas yang dijadwalkan mulai 1 Januari 2010. Sektor yang keberatan dibukanya pasar bebas ASEAN-China tersebut antara lain tekstil, baja, ban, mebel, pengolahan kakao, industri alat kesehatan, kosmetik, aluminium, elektronika, petrokimia hulu, kaca lembaran, sepatu, mesin perkakas, dan kendaraan bermotor. “Saya bertemu dengan sejumlah asosiasi, dan mereka betul-betul menyatakan kesulitan,” katanya. Bahkan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) membeberkan proyeksi bahwa pangsa pasar TPT lokal pada 2010 mulai tergerus 12% dibandingkan denga kondisi pada tahun ini dari Rp52 triliun (67%) menjadi Rp47 triliun (55%). Pada tahun ini, total penjualan TPT domestik diprediksi mencapai Rp77,612 triliun dan pada 2010 menembus Rp85,45 triliun. Menurut catatan API, sebagian besar penjualan TPT domestik didominasi produk-produk jadi seperti garmen (pakaian jadi) dan aksesori lain. Pada 2011, total nilai pasar TPT domestik yang diprediksi menembus Rp95,55 triliun justru semakin diisi produk-produk China dengan proyeksi nilai mencapai Rp52,56 triliun atau 55%, sedangkan porsi nilai penjualan TPT lokal menyusut jadi Rp43 triliun (45%). Dan pada 2014, nilai penjualan produk TPT lokal bahkan diprediksi tinggal 39% atau setara Rp39 triliun dari total penjualan TPT domestik sebesar Rp130 triliun. Artinya, produk TPT China menguasai 70% pasar lokal dengan nilai sekitar Rp91 triliun.
Dampak dari pemberlakuan CAFTA sebagaimana yang telah diuraikan di atas, tentu saja akan berpengaruh besar terhadap sektor ketenagakerjaan, khusunya serapan kerja (employment effect) yang selama ini sudah terbilang rendah. Bisa dipastikan bahwa, keterpurukan industry akibat pemberlakuan kesepakatan CAFTA, akan memaksa perusahaan domestik yang gagal bersaing, dengan melakukan efisiensi perusahaan. Dampak buruknya sudah bisa kita tebak bersama, PHK dan pengangguran besar-besaran tengah mengancam di depan mata kita. Berdasarkan data akhir tahun 2009 ini, jumlajh angka PHK sebesar 68.204, dan perumahan karyawan terdapat sekitar 27.860[16]. Dan angka ini diperkirakan akan melonjak berlipat-lipat sejak pemberlakuan CAFTA di awal tahun 2010 nanti. Jadi terlihat jelaslah bahwa pasar bebas hanya akan membuat Negara berkembang semakin terpuruk dan dimiskinkan. Namun yang sangat mengherankan adalah sikap Pemerintah yang cenderung melihat permasalah pasar bebas tersebut hanya sebatas kepada aspek ketidaksiapan. Ini terlihat dari usulan untuk melakukan upaya renegosiasi terkait dengan pemberlakukan CAFTA. Padahal sejatinya, bukan penundaan yang kita inginkan, tapi sikap tegas untuk menolak pemberlakuan zona pasar bebas yang nyata hanya menguntungkan Cina dan Negara maju lainnya.
Catatan Kaki :
Penulis adalah Staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (UNMUL) dan Anggota Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) Samarinda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Tulis Komentar Anda