Sabtu, 13 Juni 2009

Wala Suji ; Simbol Kesempurnaan Seseorang

Bagi masyarakat Bugis-Makassar, Wala Suji, dipakai sebagai acuan untuk mengukur tingkat kesempurnaan yang dimiliki seseorang. Kesempurnaan yang dimaksud itu adalah keberanian, kebangsawanan, kekayaan, dan ketampanan atau kecantikan.

Jika Anda pernah mengunjungi acara perkawinan suku Bugis-Makassar, tentu Anda akan melihat suatu baruga (gerbang) yang dikenal dengan nama Wala Suji di depan pintu rumah mempelai. Bentuk Wala Suji seperti gapura dan menyerupai bagian depan rumah panggung suku Bugis-Makassar. Atapnya berbentuk segitiga dan disangga oleh rangkaian anyaman bambu. Sebagai penghias, tak lupa diberi janur kuning.

Wala Suji atau baruga bermotif segi empat belah ketupat tersebut sudah tidak asing lagi dalam khasanah peradaban masyarakat Bugis-Makassar.Hal ini terlihat pada setiap pembuatan baruga, serta pallawa atau pagar pada acara perkawinan atau pesta adat. Bentuk segi empat pada Wala Suji ini, berakar pada kebudayaan masyarakat Bugis-Makassar yang memandang alam raya sebagai sulapa eppa’ wala suji (segi empat belah ketupat). Sulapa eppa (empat sisi) adalah bentuk mistis kepercayaan Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan susunan semesta, api-air-angin-tanah.

Wala suji berasal dari kata wala, yang berarti pemisah/pagar/penjaga dan suji yang berharfiah putri. Wala Suji adalah sejenis pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah ketupat. Menurut almarhum Prof DR Mattulada, budayawan Sulawesi Selatan yang juga guru besar Universitas Hasanuddin Makassar, konsep tersebut ditempatkan secara horisontal dengan dunia tengah. Masyarakat Bugis-Makassar memandang dunia sebagai sebuah kesempurnaan. Kesempurnaan yang dimaksud meliputi empat persegi penjuru mata angin, yaitu timur, barat, utara, dan selatan.

Secara makro, alam semesta adalah satu kesatuan yang tertuang dalam sebuah simbol aksara Bugis-Makassar, yaitu ‘sa’ (#) yang berarti seua, artinya tunggal atau esa. Begitu pula secara mikro, manusia adalah sebuah kesatuan yang diwujudkan dalam sulapa eppa. Berawal dari mulut manusia segala sesuatu dinyatakan, bunyi ke kata, kata ke perbuatan, dan perbuatan mewujudkan jatidiri manusia.

Dengan demikian, Wala Suji dalam dunia ini, dipakai sebagai acuan untuk mengukur tingkat kesempurnaan yang dimiliki seseorang. Kesempurnaan yang dimaksud itu adalah kabara-niang (keberanian), akkarungeng (kebangsawanan), asugireng (kekayaan), dan akkessi-ngeng (ketampanan/kecantikan).

Pergeseran Fungsi
Dewasa ini, Wala Suji bukan suatu hal yang langka lagi, karena bisa dilihat walaupun tidak ada acara perkawinan . Sejatinya, Wala Suji hanya dipakai pada acara pernikahan atau pesta adat bagi warga Sulawesi Selatan yang masih memegang teguh adat setempat. Namun kini, Wala Suji telah menjadi gerbang permanen bagi rumah-rumah keturunan bangsawan lokal. Bahkan pada beberapa keluarga yang pernah melakukan pesta perkawinan, membiarkan Wala Suji itu tetap berdiri kukuh dalam waktu lama. Padahal semestinya, maksimal digu-nakan hingga 40 hari pasca-perkawinan atau pesta adat.

Keengganan merubuhkan Wala Suji usai upacara perkawinan itu, selain merasa sayang menghancurkan bangunan mini itu karena harga pembuatannya yang mencapai ratusan ribu rupiah, Wala Suji dapat pula difungsikan sebagai tempat bernaung dari panasnya matahari atau derasnya hujan pada musim penghujan.
Sebagian orang yang memiliki Wala Suji ini, justru membuat bangku panjang dari bambu atau kayu di sisi kiri dan kanan bagian bawah Wala Suji, sebagai tempat bersantai. Bahkan sejumlah restoran atau hotel-hotel berbintang di Makassar, juga memasang Wala Suji di lokasi prasmanan atau tempat sajian hidangan dengan alasan menambahkan estetika dekorasi ruangan, sekaligus memperkenalkan salah satu karya seni budaya masyarakat Sulawesi Selatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Tulis Komentar Anda