Impunitas adalah satu keadaan ketika pelaku penghilangan nyawa lolos dari investigasi.
Asia Tenggara punya reputasi buruk di kalangan wartawan. Ancaman selalu mengintai dengan bentuk beragam. Contohnya, ada jurnalis yang dipenjara karena tuntutan usang pencemaran nama serta fitnah; penahanan tanpa menjalani proses pengadilan; korban kekerasan; serta impunitas dalam kasus pembunuhan jurnalis.
Bukan hal kebetulan bahwa jurnalis yang menempuh risiko itu adalah mereka yang mengungkap kelemahan struktur pemerintahan, ketimpangan distribusi sumber daya, dan ketiadaan akuntabilitas serta keterbukaan pemerintah. Beragam kelemahan yang diungkai itu mempengaruhi warga negara untuk bisa menikmati hak-hak mendasarnya seperti, antara lain, hak untuk hidup, hak atas tempat tinggal, hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, dan hak atas penghidupan.
Saran yang biasanya disampaikan kepada para jurnalis adalah tak ada kisah yang layak dihargai dengan nyawa mereka. Akan tetapi, para jurnalis telah menyaksikan banyak nyawa melayang sepanjang pengalaman mereka bekerja. Namun, tak banyak pelaku pembunuhan yang bisa dihadirkan di meja hijau karena impunitas sudah mengurat-mengakar.
Impunitas adalah satu keadaan ketika pelaku penghilangan nyawa - baik yang menjadi korban adalah jurnalis, aktivis, atau pengacara - lolos dari investigasi maupun proses pengadilan. Impunitas dan kekerasan mendapat tempat di negara dengan demokrasi damai. Kita tak bisa berdiam diri dan menghentikan mereka kini, dan di sini.
Sebuah zero sum game: tiap penjahat yang tak mendapatkan hukuman jadi pemenang. Hal ini mewakili para pribadi yang punya kuasa, negara, atau bahkan pengusaha. Masyarakat tak mendapatkan apa-apa. Nihil. Hak publik mendapatkan informasi dirampas.
Pembunuhan sadis Marlene Esperat di Filipina pada tahun 2005 merupakan salah satu misal.
Esperat merupakan anggota Ombudsman setempat, selain bekerja sebagai jurnalis. Ia kukuh dengan perjuangannya memerangi korupsi. Ia berada terlalu dekat dengan kebenaran yang dicarinya. Pernah bekerja dengan Departemen Pertanian di Mindanao Tengah, Filipina, ia lantas menjadi wartawan dan kerap memuat tulisannya di Midland's Review.
Ia mengungkap penyelewengan pupuk serta bermacam kejahatan lain yang melibatkan Departemen Pertanian. Ia dihabisi di depan anak-anaknya ketika sedang menikmati makan malam pada tanggal 24 Maret 2005. Para tersangka pembunuh mengaku bahwa mereka dibayar US$3 ribu untuk membunuhnya.
Setelah enam tahun proses pengadilan yang pelik, otak di balik pembunuhan Esperat akhirnya akan dibawa ke hadapan hakim. Bagi keluarganya, penantian akan akhir sidang mungkin masih lama. Namun setidaknya kasus ini menuju ke arah yang diharapkan.
Hari paling kelam dalam sejarah media adalah pembantaian brutal atas 58 orang, termasuk 32 pekerja media, di Provinsi Maguindanao, Filipina Selatan. Mereka dibunuh di tengah upaya mendaftarkan calon mereka dalam pemilihan umum oleh kelompok paramiliter Klan Ampatua.
Kita tahu bahwa dua tahun setelah tragedi berdarah terburuk dalam sejarah Filipina itu, 196 orang ditangkap. 93 orang dari jumlah itu, termasuk beberapa anggota keluarga Ampatua, ditahan dan 64 lainnya diseret ke pengadilan. Namun, proses pengadilan terhambat oleh kematian satu-per-satu saksi, dugaan suap dan ancaman kepada pihak penggugat. Harapannya, tuntutan kepada para terdakwa ditarik.
Selepas peristiwa 23 November 2009, tak hanya bangsa Filipina belaka yang dituntut melihat akibat yang ditimbulkan dari kekerasan terhadap media, namun juga komunitas internasional.
Keluarga korban dan masyarakat umum terkena dampaknya selama bertahun-tahun kemudian. Mereka dengan mantap terkungkung dalam budaya ketakutan.
Namun, tak hanya Filipina semata yang terantai dengan impunitas. Keadaan yang menyebabkan impunitas terjadi - korupsi yang merajalela, peradilan yang lemah, penegakan hukum yang mandek, dan kerangka hukum yang lunglai - merayap di seluruh kawasan Asia Tenggara.
Di Thailand, dua jurnalis asing, yakni Hiro Muramoto dan Fabio Polenghi, dibunuh ketika sedang meliput konflik politik di negara itu pada tahun 2010. Namun, pelaku yang seharusnya bertanggung jawab atas kejahatan itu belum lagi dituntut.
Kasus penghilangan orang dan pembunuhan ekstrajudisial atas pengacara HAM, aktivis lingkungan dan buruh menunjukkan adanya masalah besar di Thailand. Selain itu, negara dan lembaga penegak hukum seperti tak memiliki kehendak politik untuk mengadili para kriminal.
Di Indonesia, dari sejumlah kasus yang dicatat sampai 2010, 63 persen jurnalis yang tewas, dipercaya dienyahkan oleh tangan para pejabat pemerintah. Menurut data dari Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ), 75 persen dari kasus-kasus semacam itu belum terungkap.
Solusi dari ancaman impunitas itu tak hanya ada di pundak pemerintah dan elit politik, meski mereka memiliki otoritas terbesar. Pemilik media juga punya tanggung jawab besar dalam melindungi karyawannya. Pun, jurnalis partikelir dalam melindungi dirinya. Di atas itu semua, perjuangan mengakhiri impunitas adalah perjuangan rakyat meminta pertanggungjawaban pemerintahnya atas nama keadilan.
--
Gayathry Venkiteswaran adalah Direktur Eksekutif Aliansi Jurnalis Asia Tenggara (SEAPA). Tanggal 23 November diperingati sebagai Hari Internasional Melawan Impunitas. Ini adalah kali pertama komunitas internasional mengupayakan peringatan ini. Tanggal 23 menandai terjadinya Pembantaian Maguindanao.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Tulis Komentar Anda