Jembatan Kutai Kertanegara adalah salah satu jembatan yang dirancang dengan menggunakan cable-suspension sebagai konstruksi utamanya yang berfungsi sebagai penahan sekaligus penyalur tegangan-tegangan yang terjadi yang diakibat beban-beban statis ataupun juga beban-beban dinamis. Dimana dalam perhitungan konstruksi jembatan biasanya diistilahkan dengan Beban Mati ( Dead Load ) dan Beban Hidup ( Live Load ).
Selain kedua istilah beban tersebut masih ada istilah lain untuk beban-beban yang juga biasa terjadi dan harus diperhitungkan antara lain adalah Beban Angin ( Wind Load ) dan Beban yang disebabkan oleh Gempa ( Seismic Load ) serta masih ada lagi tapi jarang diperhitungkan yaitu Resonansi Load yang disebabkan pengaruh dari suatu bunyi yang cukup keras dan bisa menimbulkan getaran pada konstruksi jembatan, terjadi pada tempat-tempat tertentu yang sering dilanda angin kencang atau badai. Dalam analysis perhitungannya beban-beban tersebut harus dikombinasi kan antara satu dengan yang lain berdasarkan aturan-aturan yang sudah baku dan telah ditetapkan sebagai Peraturan-peraturan yang harus diikuti dan dilaksanakan.
Adapun yang dimaksud beban mati diatas adalah semua bagian komponen atau material konstruksi yang bersifat tetap dan terus menerus membebani keberadaan kontruksi tersebut. Untuk beban hidup umumnya merupakan beban segala macam kendaraan yang melintas dan mempengaruhi konstruksi tersebut sewaktu-waktu pada saat berada diatasnya. Sedangkan beban angin dan beban gempa sifatnya temporary tetapi tetap harus ada dalam analysisnya.
Mengamati dan mencermati dari insiden kegagalan kontruksi pada jembatan kutai kertanegara yang terjadi pada hari sabtu tiga hari yang lalu berdasarkan keterangan saksi-saksi pada saat terjadinya insiden kegagalan kontruksi, secara teoritis ada 2 hal yang bisa menyebabkan hal itu. Pertama akibat adanya pengaruh maintenance atau pemeliharaan ( saat insiden terjadi maintenance/pemeliharaan sedang berlansung ). Dan kedua adanya peningkatan beban hidup yang bisa menjadikan terjadinya kelebihan beban ( over load ). Untuk alasan pertama kemungkinannya sangat kecil karena umumnya maintenance atau pemeliharan dilakukan tidak mengganti atau merubah kontruksi utama jembatan.
Bagaimana dengan kemungkinan kedua, hal ini terjadi secara tidak langsung akibat dari adanya maintenance/pemeliharaan dikarenakan adanya buka tutup salah satu sisi jalan pada jembatan sehingga menyebabkan perlambatan dan bahkan bisa kemacetan kendaraan yang berpengaruh pada peningkatan beban pada salah satu sisi yang lain hal ini bisa membuat lantai jembatan miring tegak lurus sisi arah jalan pada jembatan hal ini sesuai dengan keterangan salah seorang saksi yang melihat terjadinya kemiringan sisi jembatan pada saat insiden. Mungkinkah hal ini penyebabnya?
Sesungguhnya yang menarik dan bisa dilihat untuk diperhatikan yaitu pada bagian-bagian utama konstruksi pasca-insiden, kita coba perhatikan satu persatu bagian demi bagian konstruksi utama. Pertama pondasi dan pilar utama sekalipun ada cacat tapi tetap kokoh berdiri dalam hal ini tentunya bukan sebagai faktor utama kegagalan struktur jembatan. Kedua Block beton penahan angkur cable tetap ada serta masih kokoh dan demikian pula cable suspensionnya tetap menempel serta tergantung pada pilar utama, sekalipun ada informasi block beton sedikit ada keretakan dan pergeseran tapi hal itu sudah terjadi beberapa waktu sebelumnya indikasi itu bisa dicermati pernah adanya perlebaran pada perletakan girder salah satu sisi yang terletak di tenggarongnya.
Andaipun hal itu terjadi karena kegagalan end blok tentunya konstruksi rangka tetap tergantung pada tempatnya dan tidak sedramatis secepat hitungan detik jatuh bersamaan ke sungai serta adanya bekas dari pergeseran tersebut. Dalam suatu kesempatan sertifikasi kontruksi pada tahun 2004 dikota Samarinda, salah seorang mentor nya yang cukup mengetahui dalam perancangan jembatan tersebut menyebutkan secara teknis bahwa untuk system pembagian distribusi pembebanan pada jembatan Kutai Kertanegara, terbagi 2, yaitu : Rangka baja dengan bentang 270 meter tersebut merupakan konstruksi penahan untuk semua beban mati yang disalurkan kepilar utama dan selanjutnya kepondasi. Dan cable suspension utama sebagai penahan konstruksi semua beban hidup untuk disalurkan kepilar dan seterusnya ke pondasi.
Pada saat sebelum terjadinya keruntuhan adanya peningkatan jumlah kendaraan yang melintas dalam ini merupakan beban hidup. Tentunya akan diterima calbe suspension-nya sebagai penyalur utama tegangan yang timbul dari akibat hal itu. Yang sangat menarik kiranya untuk dicermati adalah semua beban hidup dari kendaraan yang akan disalurkan ke cable suspension harus melewati kontruksi yang biasa disebut tie-rod/hanger atau penggantung, dari pengalaman penulis titik terlemah pada konstuksi tie-rod/hanger ini terletak pada derat bautnya dan pada clampnya. Jika kita mengamati keruntuhan dilokasi insiden, hampir-hampir tidak tampak dari sisa-sia kontruksi tie-rod/hanger atupun penggantung tersebut, jika disebabkan derat bautnya dapat dipastikan sekurang-kurangnya masih tetap tergantung dan berada pada tempat terkoneksinya di cable-suspension, sementara clamp-clampnya juga tidak tersisa. Sangatlah sayang jika hal ini dikesampingkan begitu saja, terutama pada kekuatan material clamp-nya yang pantas untuk dicurigai sebagai penyebabnya. Penulis merupakan praktisi pelaksana kontruksi dan anggota Himpunan Pengembangan Jalan Indonsia ( HPJI ).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Tulis Komentar Anda