DPRD Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, menolak produksi gas Donggi Senoro diperuntukan memenuhi kebutuhan domestik, karena akan kehilangan penerimaan sekitar Rp5 triliun dari selisih harga beli gas PT Donggi Senoro LNG (DSLNG) yang akan membangun kilang LNG (liquefied natural gas) untuk tujuan ekspor ke Jepang.
Sekretaris Komisi C/Keuangan DPRD Banggai Muhammad Nurwahid mengatakan Kabupaten Banggai akan menerima pemasukan untuk PAD sebanyak Rp7,7 triliun selama 15 tahun prakiraan produksi gas Donggi Senoro, jika pemerintah pusat menyetujui ekspor gas dalam bentuk LNG.
Sementara jika produksi gas Donggi Senoro diperuntukkan bagi industri pupuk yang harganya jauh lebih rendah, Banggai hanya menerima sekitar Rp3 triliun. “Kehilangan penerimaan hampir Rp5 triliun menjadi alasan utama Dewan Banggai menolak peruntukan gas Donggi Senoro diserap pasar domestik,” kata Nurwahid kepada media ini via telpon dari Banggai, kemarin.
Penjualan gas dalam Gas Sales Agreement (GSA) pada Japan Crude Cocktail USD 45 per barel sebesar USD 3,77. Akan tetapi harga GSA ini terlalu rendah sehingga kemudian formulanya direvisi menjadi USD 3,77 + 0,31. Sementara penjualan gas ke Petrokimia sebesar USD 2,5 pada JCC di bawah USD 60 per barel. Sedangkan harga gas yang siap dikapalkan (FOB – Freight on Board) seharga USD 7,2.
Kata dia, enam fraksi di DPRD Banggai secara prinsip mendukung produksi gas Donggi Senoro yang memiliki cadangan pasti sebesar 2,05 triliun kaki kubik (TCF – trillion cubic feed), untuk memenuhi pasar ekspor. Dalam waktu dekat sikap fraksi ini akan dibawa ke sidang paripurna untuk ditetapkan menjadi sikap resmi DPRD Banggai.
Ia menjelaskan, saat ini APBD Banggai tahun 2010 hanya Rp615 miliar dengan PAD murni Rp18 miliar. Sebanyak Rp420 miliar atau sekitar 70% dari total anggaran telah terserap untuk belanja aparatur, sebanyak Rp395 miliar sisanya untuk belanja pembangunan.
Dengan struktur APBD seperti ini, Banggai mengalami kesulitan untuk menggenjot pembangunan dan keluar dari status daerah tertinggal yang disematkan pemerintah pusat saat ini.“Kami bukan bermaksud mengabaikan kepentingan nasional, tapi sebagai wakil rakyat dituntut untuk memajukan daerah kami,” tegasnya.
Hal senada diungkapkan Gubernur HB Paliudju. Ia mengatakan ekspor gas lebih siap beroperasi sebab telah sampai pada tahap Perjanjian Jual Beli Gas (Gas Sales Agreement/GSA) yang ditandatangani 22 Januari 2009. Pendanaan proyek untuk ekspor gas juga siap ditalangi Jepang dan tinggal menunggu persetujuan pemerintah pusat. Sementara kesiapan pembeli domestik justru masih diragukan dan harga jual gasnya kurang ekonomis, serta belum jelas kesiapan pendanaannya.
“Kredibilitas Indonesia, khususnya Sulteng dimata investor akan negatif jika perjanjian ekspor dibatalkan,” katanya.
Nurwahid menilai sikap pemerintah pusat meributkan produksi gas Donggi Senoro tidak proporsional mengingat cadangan gas lapangan Senoro yang memiliki Blok Matindok dan Blok Senoro hanya 2,05 triliun kaki kubik. Cadangan ini sangat kecil dibanding ladang gas Arun sebesar 17,1 triliun kaki kubik.
Selain itu, kebutuhan gas dalam negeri masih bisa dipasok oleh proyek Blok Cepu, Natuna Blok A, Blok SSE, Kuala Langsa dan Lematang seperti yang pernah disampaikan oleh Direktur Pertamina Karen Agustin.
“Kami khawatir jika pembeli domestik dipaksakan, maka proyek ini akan mundur dan semua tahapan proyek harus dimulai lagi dari awal,” kata Sekretaris DPD Partai Patriot Pancasila ini.
Mengenai kewajiban memasok gas minimal 25 persen untuk domestik berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas, Nurwahid mengatakan Undang-Undang tersebut tidak wajib dberlakukan kepada Pertamina dan Medco di Donggi Senoro karena Kontrak Kerja Sama (KKS) Blok Matindok dan Blok Senoro telah diteken pada 1997 sebelum undang-undang tersebut diberlakukan.
Dihubungi terpisah, Ketua Komisi III/Pembangunan DPRD Sulteng Nawawi Kilat meminta pemerintah pusat melibatkan pemerintah dan DPRD daerah penghasil dalam pengambilan keputusan terkait produksi gas Donggi Senoro diperuntukan ekspor atau domestik.
“Ini penting agar kepentingan nasional dan kepentingan daerah tidak ada yang dikorbankan,” ujarnya.
Ladang gas Senoro terdiri dari dua blok, yakni Blok Matindok dan Blok Senoro. Sejak tahun 1980, kedua blok dibawah pengelolaan Union Texas, akan tetapi tidak ada kemajuan dalam eksploitasi sehingga kemudian Blok Matindok diambil alih oleh Pertamina EP sejak 1996. Sedangkan Blok Senoro diambilalih Medco dan Pertamina sejak tahun 2000.
Untuk mengeskploitasi ladang Senoro, Pertamina, Medco dan Mitsubishi membentu PT Donggi Senoro LNG. Pasokan gas akan diambil dari lapangan Donggi sebesar 50 mmscfd (million standar cubic feet – juta standar kubik kaki), Matindok 20 mmscfd serta lapangan Maleoraja dan Minahaki sebesar 15 mmscfd. Cadangan pasti gas Senoro sebesar 2,05 triliun kaki kubik (TCF – trillion cubic feed).
Semula gas alam dari Senoro akan dijual ke Jepang. Akan tetapi rencana itu ditentang oleh Jusuf Kalla yang menghendaki gas dijual untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Diposkan oleh WALHI SULTENG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Tulis Komentar Anda