Anggota DPR asal Papua, Diaz Gwijangge, meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegosiasi ulang Kontrak Karya PT Freeport Indonesia dengan manajemen induk, Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc.
"Kehadiran Freeport di Tembagapura, Mimika, Papua, belum memberi manfaat luar biasa, terutama masyarakat pemangku ulayat," ujar Diaz kepada para wartawan seusai mengikuti rapat paripurna di Gedung DPR/MPR Senayan, Jakarta, Selasa (18/10/2011).
Menurut Diaz, perusahaan tambang raksasa asal Amerika Serikat itu sudah hadir 44 tahun di Papua. Dalam kontrak karya I yang ditandatangani 7 April 1967, tidak ada kewajiban perusahaan membayar royalti emas, namun hanya mengatur royalti tembaga.
"Dalam perjalanan selanjutnya, dalam kontrak karya II yang diteken tahun 1991, Freeport diwajibkan membayar royalti emas sebesar 1 persen. Sebagai wakil rakyat saya nilai ini sangat tidak adil. Mestinya Freeport membayar royalti emas minimal 5-10 persen," tutur legislator Partai Demokrat itu.
Diaz menyebutkan, jumlah kontribusi riil Freeport Indonesia bagi masyarakat Papua, terutama pemilik ulayat, masih misterius. Kemiskinan di tingkat masyarakat tampak telanjang di mana-mana. Padahal, selama ini sudah banyak hasil tambang, terutama emas, tembaga, dan ikutan lainnya, yang diambil PT Freeport dari perut bumi Papua.
"Keuntungan yang selama ini digembar-gemborkan perusahaan untuk masyarakat asli masih jauh memenuhi rasa keadilan. Bisa dibayangkan berapa besar keuntungan yang diperoleh perusahaan sementara dana 1 persen diberikan bagi masyarakat. Itu pun sepertinya masih misterius bagi penduduk lokal karena diperebutkan banyak pihak," tuturnya.
Ia juga mengeritik sikap manajemen yang menyebut unjuk rasa karyawan sebagai aksi ilegal dan tindakan kriminal. Pasalnya, dalam unjuk rasa itu tentu ada juga masyarakat lokal dan pemilik ulayat tempat perusahaan beroperasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Tulis Komentar Anda