Tiga belas tahun era reformasi ternyata belum banyak membawa perubahan di negeri ini. Jangan-jangan ini karena reformasi Indonesia memang tidak memiliki roadmap yang jelas. Dengan menyimak perkembangan kinerja ekonomi Indonesia selama 10 tahun terakhir barangkali sudah saatnya reformasi perlu dikaji ulang, apa sudah berada dalam jalur yang benar. Apakah momentum 100 tahun Kebangkitan Nasional sudah menunjukkan tanda-tanda kebangkitan ekonomi Indonesia?
Diktum reformasi mengalami evolusi sejalan dengan sejarah perjalanan bangsa ini. Di masa penjajahan dan Orde Lama, ia diterjemahkan sebagai revolusi. Di masa Orde Baru, ia dijabarkan dalam tahap-tahap pembangunan. Di era pasca-Soeharto, reformasi secara singkat diartikan perombakan tatanan lama yang otoriter, korup, dan timpang, menuju tatanan baru yang lebih demokratik, prorakyat, dan berkeadilan.
Hasilnya setelah 10 tahun terakhir, Indonesia menjadi negara demokratis dengan peringkat 77 dari 150 negara di dunia menurut World Audit. Rakyat tidak hanya bebas memilih presiden, gubernur, bupati, walikota, dan wakil rakyat di DPR/DPRD, namun juga bebas berdemo dan bersuara. Tidak hanya demokrasi yang dinikmati, tetapi juga democrazy, tiada hari tanpa demo.
Dilihat dari kinerja ekonomi, dibandingkan dengan negara-negara Asean lainnya, Indonesia belum bisa dikatakan termasuk best performer. Ini terlihat setidaknya dari besarnya Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia yang hanya menduduki peringkat 4 dari 8 negara Asean. Tahun 2007, PDB per kapita Indonesia sebesar US$ 1.925 masih jauh dibandingkan dengan Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand.
Bagaimana dengan korupsi? Dalam catatan Transparansi International, tadinya Indonesia masuk jajaran 10 negara terkorup di dunia, sejak tahun 2003 Indonesia tidak lagi masuk dalam daftar tersebut. Kendati demikian, ada kecenderungan korupsi semakin merata dari pusat hingga desa, dengan aktor yang makin beragam dari pejabat pemerintah, anggota dewan, parpol, peradilan, pengusaha, bankir, BI, hingga aparat penegak hukum.
Ketimpangan Tinggi
Bagaimana dengan ketimpangan? Pierre Van der Eng, dalam buku Indonesia Today (2001) yang disunting Grayson Llyod & Shanon Smith, menulis tentang strata ekonomi penduduk Indonesia di zaman penjajahan. Pakar sejarah ekonomi dari Australian National University ini mencatat, pada 1930, 51,1 juta penduduk pribumi (Indonesia) yang merupakan 97,4% dari seluruh penduduk yang berjumlah 60,7 juta hanya menerima 3,6 juta gulden (0,54%) dari pendapatan "nasional" Hindia Belanda.
Sementara itu, penduduk Asia lain yang berjumlah 1,3 juta (2,2%) menerima 0,4 juta gulden (0,06%); dan 241.000 orang Eropa (kebanyakan Belanda) menerima 665 juta gulden (99,4%). Sangat timpangnya pembagian pendapatan nasional inilah yang sulit diterima para pejuang perintis kemerdekaan Indonesia yang bersumpah tahun 1928 di Jakarta.
Setelah Indonesia merdeka, ketimpangan ekonomi tidak separah ketika zaman penjajahan, namun konglomerasi (1987-1994) di era Soeharto telah menciptakan ketimpangan ekonomi luar biasa. Inilah yang menjadi bom waktu dan meledak sebagai krismon 1997. Dalam 26 tahun (1971-1997), rasio pendapatan penduduk daerah terkaya dan daerah termiskin meningkat dari 5,1 (1971) menjadi 6,8 (1983) dan 9,8 (1997). Rasio gini, sebagai indikator ketimpangan pendapatan, meningkat berturut-turut dari 0,18 menjadi 0,21 dan 0,24 masing-masing pada tahun 1971, 1983, 1997.
Bagaimana kondisi ketimpangan di era reformasi? Memang PDB per kapita Indonesia meningkat, namun ketimpangan distribusi pendapatan semakin tinggi. Tingginya ketimpangan diukur dengan: Pertama, rasio gini yang meningkat dari 0,29 pada tahun 2002 menjadi 0,35 pada tahun 2006. Kedua, kue nasional yang dinikmati oleh kelompok 40% penduduk termiskin mengalami penurunan dari 20,9 tahun 2002 menjadi 19,2 pada tahun 2006. Ironisnya, penurunan kue nasional yang dinikmati kelompok 40% penduduk termiskin justru diikuti oleh kenaikan kue nasional yang dinikmati oleh 20% kelompok terkaya dari 44,7% menjadi 45,7% pada tahun yang sama.
Pertanyaannya, mengapa terjadi pertumbuhan tanpa diikuti oleh perbaikan distribusi pendapatan di Indonesia? Pertama, desain hubungan fiskal antar pusat dan daerah masih menempatkan pembiayaan pembangunan daerah dalam posisi tergantung dengan subsidi dari pusat. Daerah yang miskin sumber daya alam (SDA) umumnya menggantungkan dana dari DAU (Dana Alokasi Umum). Daerah yang kaya SDA, seperti Riau, Kaltim, Papua, Aceh, porsi bagi hasil SDA lebih menonjol daripada DAU dan PAD (Pendapatan Asli Daerah). Beberapa studi menunjukkan bagi hasil SDA dan DAU ini semakin memperlebar kesenjangan antardaerah di Indonesia.
Kedua, alokasi APBD di sebagian besar daerah provinsi/kabupaten/kota lebih banyak digunakan untuk belanja aparatur daripada belanja publik. Euforia demokrasi dan otonomi daerah memang memungkinkan elite politik daerah membelanjakan APBD untuk kepentingan mesin birokrasi, seperti studi banding, rapat, mobil dinas, perjalanan dinas, gaji, dan berbagai tunjangan. Pemerintah pusat mensinyalir banyak dana daerah yang ditanamkan dalam SBI (Sertifikat Bank Indonesia).
Ketiga, pembangunan daerah memiliki pola yang tidak selalu sama dengan arahan pemerintah pusat mengingat adanya perbedaan potensi, masalah, sumber pertumbuhan ekonomi, dan alokasi belanja APBD. Bila pembangunan daerah
di 464 kabupaten/kota dan 33 provinsi diibaratkan musik, polanya ada yang senang dengan dangdut, jazz, klasik, keroncong, dan qasidahan. Justru pemerintah pusatlah yang seharusnya menjadi dirigen agar terjadi koherensi, keterkaitan, dan sinergi pembangunan antardaerah dan antara pusat-daerah.
Keempat, program-program pengentasan kemiskinan terbukti belum mengurangi jumlah penduduk miskin secara subtansial. Salah satu sebabnya karena dana dan desain program pengentasan kemiskinan kebanyakan dari pusat, yang banyak dibantu dengan dana dari luar negeri. Selain itu, tidak banyak daerah yang mendesain sendiri dan membiayai program antikemiskinan dari dana APBD. Bantuan langsung tunai (BLT) hanya memberi ikan tidak mendidik si miskin agar bisa mencari dan menjual ikan. BLT yang masih akan diterapkan tahun ini perlu dikaji ulang karena terbukti tidak efektif menurunkan jumlah orang miskin bahkan rawan menimbulkan konflik horizontal.
Kebangkitan Nasional
Tidak berlebihan bila dikatakan agaknya reformasi ekonomi di negeri ini terbukti belum on the right track, tidak berkualitas, dan hanya menguntungkan kelompok elite dan kaya di negeri ini. Ada indikasi kuat terjadinya trickle up effect, efek muncrat ke atas, dalam proses pembangunan di era reformasi. Bangsa Indonesia harus menyadari bahwa musuh bersama saat ini adalah kemiskinan, ketimpangan, korupsi, dan ketidakadilan. Nasionalisme seolah dikhianati oleh para pelaku korupsi multilevel.
Barangkali momentum 100 tahun ini merupakan salah satu kesempatan untuk memikirkan apa peran kita agar bangsa Indonesia bisa bangkit dan sejajar dengan bangsa lain di dunia. Kebangkitan nasional terjadi bila kemiskinan sudah langka; atau ketika tidak ada lagi yang buta aksara; atau ketika semakin mudah akses modal, pasar, bahan baku, dan teknologi bagi usaha kecil dan mikro; atau ketika semakin banyak produk lokal menang dalam persaingan global; atau ketika tidak ada lagi rakyat yang antre beras, minyak tanah, dan bahan bakar minyak (BBM).
Dengan data-data dan fakta di atas agaknya 10 tahun perjalanan reformasi di negeri ini sudah terbukti salah arah. Bila ada yang bilang sudah on the right track dapat dipastikan saat ini berada wrong gear, persneling yang keliru karena pertumbuhan ekonomi tidak berkualitas dan jobless growth.
Dengan sisa waktu sekitar 1,5 tahun, mampukah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan kabinetnya melakukan perubahan mendasar dan menegaskan ke mana arah reformasi Indonesia? Apakah kita perlu ganti jalan baru, mobil baru, atau sopir baru? Reformasi Indonesia berada di persimpangan jalan setelah 10 tahun krisis dan 100 tahun Kebangkitan Nasional.
Oleh Mudrajad Kuncoro
Penulis adalah Guru Besar Fakultas Ekonomika & Bisnis UGM; anggota Tim Ahli Ekonomi Kadin; http://www.mudrajad.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Tulis Komentar Anda