Rabu, 12 Januari 2011

Mimpi KPU Mencegah Politik Uang

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ternyata risau juga atas maraknya politik uang dalam pemilu. "Fenomena politik uang tampak berkembang. Ini lonceng kematian bagi demokrasi kita," kata SBY dalam Rapat Kerja Pemerintah untuk Pelaksanaan Pembangunan 2011, Senin (10/01/2011) lalu.

Menurut Presiden, jika politik uang dibiarkan, hal itu akan mencederai dan merusak demokrasi bermartabat. Oleh karena itu, Presiden mengingatkan KPU segera menyusun aturan untuk mencegah terjadinya politik uang dalam pemilu, baik pemilu legislatif, pemilukada maupun pemilu presiden.

Sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, Presiden tentu berhak dan berkewajiban mengingatkan KPU untuk menghadapi masalah politik uang. Bahkan dalam kadar tertentu, Presiden bisa memerintahkan KPU untuk melakukan sesuatu yang memang diwajibkan undang-undang.

Apakah KPU sanggup mencegah politik uang melalui aturan-aturan yang dikeluarkannya? Inilah masalahnya. Sebab, sebagai lembaga pelaksana teknis pemilu, tugas KPU sebenarnya hanyalah menjalankan undang-undang pemilu. Lebih dari itu, KPU tidak mempunyai wewenang.

Oleh karena itu, pertanyaannya adalah apakah undang-undang partai politik dan undang-undang pemilu sudah cukup jelas membuat ketentuan-ketentuan untuk mencegah politik uang? Untuk kepentingan Pemilu 2009 dan pemilukada sesudahnya, jawabnya adalah belum.

Bahkan jika dibandingkan dengan undang-undang yang mengatur Pemilu 2004, kualitas aturan untuk mencegah politik uang pada Pemilu 2009, lebih buruk. Sederhana saja: jika ada partai politik tidak menyerahkan laporan dana kampanye, KPU tidak bisa berbuat banyak terhadap partai yang bersangkutan.

Ketentuan-ketentuan yang ada juga tak berarti apa-apa. Misalnya, KPU tidak mempunyai wewenang untuk memverifikasi kebenaran daftar nama penyumbang dan nilai sumbangan, karena hal ini menjadi kewenangan auditor. Sementara partai politik dipersilakan memilih sendiri auditor. Auditorpun hanya melakukan sampling untuk menguji kebenaran sumbangan.

Yang aneh lagi, dalam pemilu legislatif, laporan dana kampanye dilakukan oleh partai politik. Ini merupakan implikasi ketentuan bahwa partai politik mengajukan caleg, dan caleg terpilih ditentukan berdasar 30% BPP dan nomor urut. Tapi setelah caleg terpilih ditentukan berdasar suara terbanyak oleh Mahkamah Konstitusi, undang-undang tak mewajibkan caleg membuat laporan dana kampanye. Padahal, sebagian besar kampanye dikelola para caleg.

Ketidaksungguhan undang-undang dalam mengatur dana kampanye dalam rangka mencegah politik uang, juga terdapat dalam undang-undang pemilu presiden maupun undang-undang pemilukada. Itulah yang berlaku pada Pemilu 2009 yang sudah lewat. Bagaimana dengan yang pemilu ke depan?

Rupanya kita tidak bisa berharap banyak. Perhatikan RUU Perubahan UU No 2/2008 tentang Partai Politik yang sudah disetujui pemerintah dan disahkan DPR (sehingga tinggal menunggu tanggal pengundangan). Soal aturan pengelolaan dana partai tidak disentuh. Alih-alih mempertegas aturan, malah partai dipersilakan menerima sumbangan dari perusahaan sampai Rp 7,5 miliar.

Banyak pihak menyalahkan DPR, karena mereka tidak ingin penggunaan dana gelap untuk kehidupan partai selama ini diutak-atik. Logis saja, karena DPR adalah kumpulan orang-orang partai. Karena semua partai menikmati dana gelap, maka tidak ada satupun fraksi yang mengajukan usulan untuk mencegah politik uang melalui undang-undang ini. Sungguh ironi, semua politisi berteriak keras soal politik uang, tetapi di DPR mereka bersekongkol mempertahankan penggunaan dana gelap.

Bagaimana komitmen pemerintah atau Presiden? Setali tiga uang. Kita tahu undang-undang dibuat bersama oleh DPR dan pemerintah. Ketika RUU Perubahan UU No 2/2008 tentang Partai Politik diajukan ke pemerintah untuk dilakukan pembahasan bersama, nyaris tidak ada usulan perbaikan apapun atas RUU bikinan DPR. Tentu saja pemerintah juga tidak mengajukan perubahan pengaturan pengeloaan dana partai politik.

Lah, kalau sudah seperti ini, mengapa harapan ditumpukan kepada KPU. Mimpi kalee..

Didik Supriyanto, wartawan detikcom.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Tulis Komentar Anda