Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) itu mula-mula dan memang sejurus waktu membuat mereka bertempik sorak kemenangan. Dikiranya Supersemar itu suatu penyerahan pemerintahan, suatu transfer of property. Padahal tidak.
Supersemar adalah suatu perintah pengamanan terhadap jalannya pemerintahan (pidato "Jas Merah" Presiden Soekarno, 17 Agustus 1966, sumber video ANRI yang disiarkan Trans TV pada 11 Maret 2004 dalam acara Hitam Putih Supersemar Sukarela atau Kudeta).
Roeslan Abdul Gani menafsirkan bahwa Supersemar yang asli itu berisi tentang delegation of authority, sedangkan yang palsu itu mengandung makna transfer of authority. Yang jelas, sejak terbit, Supersemar sudah kabur makna dan keberadaannya.
Tulisan ini mengajak pembaca memahami alur surat (arsip) Supersemar sejak diciptakan (ditandatangani) Presiden Soekarno hingga diterima Letjen Soeharto. Tinjauan tulisan ini dari sudut ilmu arsip, bukan ilmu politik atau yang lain.
Alur Surat
Ketika Supersemar telah ditandatangani oleh Presiden Soekarno, kemudian dibawa oleh Mayor Jenderal Basuki Rachmad, Brigadir Jenderal M Yusuf, dan Brigadir Jenderal Amirmachmud, lalu diserahkan kepada orang yang dimaksud (Letjen Soeharto), lengkap dan sempurnalah alur pengurusan surat sejak diciptakan hingga diterima oleh si alamat (Letjen Soeharto).
Permasalahan kemudian timbul, karena si pengirim surat (Presiden Soekarno) merasa tidak memberikan kewenangan tugas seperti yang dilaksanakan si alamat surat (Letjen Soeharto). Dalam alur pengurusan surat, apabila surat sudah sampai kepada si alamat, maka sepenuhnya menjadi hak si alamat.
Supersemar adalah arsip yang berbentuk kertas. Keadaan Supersemar ada yang tunggal (versi 30 Tahun Indonesia Merdeka) hanya satu lembar, ada pula yang berbentuk kelompok (versi Sekretariat Negara) berjumlah dua lembar.
Jumlah arsip Supersemar itu sudah menimbulkan kontroversial. Ada yang satu lembar, ada yang dua lembar, mana yang benar? Kedua versi Supersemar masih dalam bentuk foto kopi. Begitu pula tempat pembuatannya. Dalam foto copi Supersemar, diketik Djakarta 11 Maret 1966. Padahal sepengetahuan kita, Supersemar yang dibawa Jenderal Basuki Rahmad, Brigjen M Yusuf, dan Brigjen Amirmachmud, ditandatangani Presiden Soekarno di Bogor.
Tingkat Kerahasiaan
Surat mempunyai derajat kerahasiaan yang berbeda, yaitu top secret (sangat rahasia), secret (rahasia), confidential (terbatas), dan biasa. Supersemar dalam kategori top secret, yaitu sangat rahasia tatkala dibawa oleh trio jenderal dari Bogor ke Jakarta untuk diserahkan kepada Letjen Soeharto.
Supersemar masih menjadi arsip aktif, dibenarkan untuk dirahasiakan dan dipergunakan secara terbatas oleh Letjen Soeharto. Supersemar mempunyai derajat kerahasiaan "biasa" (tidak rahasia) atau menjadi arsip statis, ketika tampuk kekuasaan NKRI sudah dipegang Jenderal Soeharto.
Derajat kerahasiaan Supersemar menurun sejak Letjen Soeharto mengeluarkan surat No 1/3 1966 bertanggal 12 Maret 1966 tentang Pembubaran dan Pelarangan Partai Komunis Indonesia (PKI), dilanjutkan dengan dikeluarkannya Tap MPRS IX/MPRS/1966 tentang Surat Perintah Presiden Panglima Tertinggi ABRI/PBR/Mandataris/MPRS. Ketetapan MPRS itu mengukuhkan Supersemar.
Puncak ketidakrahasiaan Supersemar terjadi pada 22 Februari 1967, ketika berlangsung penyerahan kekuasaan dari Preiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto selaku pengemban Tap MPRS IX/1966. Dasar penyerahan kekuasaan yang lain adalah Tap MPRS XV/1966, yang menyatakan, "Apabila Presiden berhalangan, maka pemegang Supersemar memegang jabatan Presiden".
Di sisi lain, Presiden Soekarno mempunyai langkah strategis untuk menghentikan laju Supersemar. Beliau mengeluarkan Surat Perintah 13 Maret 1966 yang intinya mencabut kembali Supersemar. Mantan Duta Besar RI untuk Kuba, Hanafi, sempat memperbanyak Surat Perintah tersebut sejumlah 5.000 eksemplar untuk dibagikan kepada para pendukung Presiden Soekarno.
Presiden Soekarno tidak berhenti pada tahap itu. Pada 17 Agustus 1966, saat berpidato ia menyanggah tentang isi Supersemar yang berkonotasi transfer of property, padahal hanya sekadar surat perintah pengamanan, perintah pengamanan terhadap jalannya pemerintahan. Pidato itu dinamakan Jas Merah (jangan sekali-kali meninggalkan sejarah). Namun semua upaya Presiden Soekarno mental alias gagal.
Kembali ke masalah arsip. Tugas yang diemban oleh trio jenderal membawa Supersemar dari Presiden Soekarno di Bogor untuk diserahkan kepada Letjen Soeharto di Jakarta sudah benar, tugas sebagai pengurus surat (istilah ilmu arsip) telah dilaksanakan dengan baik. Tanggung jawabnya sudah selesai. Kekaburan makna dan ketidakjelasan keberadaan Supersemar semakin menjadi-jadi setelah dipegang Letjen Soeharto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Tulis Komentar Anda