Minggu, 15 Agustus 2010

Benarkah Holocaust Pernah Terjadi?!?

Peristiwa-peristiwa spektakuler yang layak dikenal dan dikenang tak lepas dari preseden sejarahnya. Ia tetap bergelantungan dideret-deret pojok bisu sejarah, meski kita mengobrak-abrik, memanipulasi, dan menutup-nutupi. Bagaimana pun, sejarah lahir dari rahim kesadaran yang dihentakkan oleh bunyi realitas faktual, tak akan hilang keotentikannya.

Kini tak sedikit batu-bata sejarah digugat, di break down, hingga ditelanjangi sampai-sampai segepok pertanyaan yang menghinggap dibenak berangsur hilang. Secara logika, kita tak lagi mampu berdialog dengan sejarah. Karena, sejarah berdialog dengan kausalitas korelasi antara massa waktu saat itu dan kejadian sejarah. Maka dari itu, kita terkesan patah ketika hendak mendefinisikan, menafsirkan, apalagi menyimpulkan eksemplar uraian sejarah.

Sejarah Holocaust misalnya, yang saat ini mengundang pertanyaan dan kian temukan titik runcing kontroversinya. Bahkan, Ahmadinejad presiden Iran berani bersuara miris tentang Holocaust tersebut: “Sekarang, mereka (bangsa Eropa) telah menciptakan sebuah dongeng dengan nama Holocaust dan menganggapnya melebihi Tuhan, agama, dan ramalan.”

Holocaust adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan genocide (pemusnahan secara terencana) kelompok-kelompok minoritas di Eropa dan Afrika Utara pada Perang Dunia II oleh Adolf Hitler dan Nazi. Paham diskriminasi ras telah membawa Hitler menempatkan ras-ras lain berada dibawah ras Arya. Kelompok-kelompok bangsa yang dianggap ras bawah seperti Yahudi, Polandia, Rusia, Belarusia-Serbia, Afrika, dan Asia dicap sebagai golongan Untermensch (manusia rendahan) dan menjadi target khusus aksi “pembersihan” Nazi.

Istilah Holocaust awalnya berasal dari bahasa Yunani halekaustann, yang berarti sebuah korban persembahan kepada dewa yang “sama sekali (holos) terbakar (kaustos)”. Akhir abad ke-19, istilah “Holocaust” digunakan untuk menjelaskan malapetaka-malapetaka atau bencana-bencana. (hlm. 10). Berdasar pada Kamus Bahasa Inggris Oxford, kata Holocaust kali pertama digunakan untuk mendeskripsikan perlakuan Hitler kepada orang-orang Yahudi dari tahun 1942, walau kata ini belum menjadi referensi standar hingga tahun 1950-an. Akan tetapi, pada pengujung tahun 1970-an makna lazim dari kata ini menjadi genocide Nazi. Holocaust pun memiliki beragam nama-nama yang telah dikenal guna mendeskripsikan genocide. Seperti, Ha-Shoah (bahasa Yahudi), Khurbn atau Halukaust (bahasa Yiddi), Porajmos (bahasa Romania), Calopalenia atau Zaglada (penyebutan kedua nama ini di miliki Bahasa Polandia).

Tanggal 8 dan 9 November 1938, merupakan langkah awal dari Holocaust melakukan pemusnahan massal terencana (pogrom) Kristallnacht dan Program Euthanasia T. 4. Kemudian, dilanjutkan dengan proyek pembentukan pasukan-pasukan pembunuh (killing squads) dan kamp-kamp pemusnahan (extermination camps) yang berniatan memiliki usaha terorganisir secara besar-besaran serta terpusat untuk membantai setiap orang yang menjadi target Adolf Hitler dan pasukan-pasukan Nazi. Ditengarai dari peristiwa dahsyat Holocaust, kebanyakan korbannya adalah orang-orang Yahudi di Eropa. Kira-kira 6 juta orang Yahudi terbunuh pada masa Holocaust. Mereka (orang-orang Yahudi), oleh Nazi disebut “Solusi Final atas Permasalahan Yahudi” (die Endlosung der Judenfrage) atau “pembersihan” (die Reinigung).

Untuk memperlancar misi Holocaust, beragam cara berbau kekejaman dilakukan. Seperti, membangun kamp-kamp kosentrasi dan kerja paksa (1933-1945), penyiksaan (1938-1941), euthanasia (1939-1941), ghetto-ghetto (1940-1945), pasukan-pasukan kematian (1941-1943), kamp-kamp pemusnahan (1942-1945), serta prosesi kematian dan pembebasan (1944-1945). Cara-cara demikian itulah, yang dilakukan oleh para pemimpin Nazi dalam “menghabisi” ras-ras lain selain ras Arya.

Holocaust dan fenomena sejarah mengenai Nazisme, telah menjadi simbol gelap pada kejahatan-kejahatan yang terjadi pada abad ke-20, juga sebagai subyek dari studi-studi sejarah, psikologi, sosiologi, sastra, dan filsafat. Satu pertanyaan filosofis dilontarkan oleh Wilhelm Reich pada awal tahun 1933 di Mass Psychology of Fascism adalah misteri dari ketaatan rakyat Jerman atas operasi yang sangat “gila” tersebut. Karena, pada saat itu kategori oposisi biner dengan dobrakan gila Nazi tak terlalu mencuat. Kemudian, muncullah buku Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (1963), yang ditulis oleh Hannah Arendt. Dengan begitu, Arendtlah sebagai orang pertama yang berani memproklamirkan sikap dirinya terhadap Nazi, bahwa tindakan Nazi itu adalah “sadisme” dan kental “kekejaman.”

Holocaust Fiksi
Kebenaran berita Holocaust pada saat ini, kuat indikasi mulai dipertanyakan. Benarkah Holocaust ada? Benarkah 6 juta jiwa orang Yahudi terenggut oleh kekejaman Nazi? Ataukah itu hanya sebuah rancangan konspirasi zionis Yahudi untuk membenarkan langkah-langkah politik mereka di panggung dunia? Kumpulan pertanyaan-pertanyaan yang menjadi centang perenang dan siap menggerus kebenaran Holocaust.

Holocaust denial atau penyangkal Holocaust (biasanya disebut revisionisme Holocaust oleh para pendukungnya) adalah kepercayaan bahwa genocide orang-orang Yahudi dan kelompok-kelompok minoritas lainnya selama Perang Dunia II –masa Holocaust– tak pernah terjadi, atau apabila benar terjadi, akibat yang disebabkan tidak sebesar apa yang diyakini pada masa sekarang. Bahkan, ada dari para penyangkal Holocaust, yang sama sekali tak percaya atas korban pada masa Holocaust, “Bagaimana mungkin 6 juta orang Yahudi dibunuh pada masa Holocaust jika hanya terdapat 3 juta jiwa orang Yahudi saat itu?”

Sebagian besar penyangkalan Holocaust menyatakan secara tidak langsung, bahwa Holocaust adalah sebuah cerita bohong yang dengan sengaja diciptakan oleh orang Yahudi untuk memajukan kepentingan mereka dengan mengorbankan orang lain. (hlm. 81). Karena alasan ini, penyangkalan Holocaust umumnya dianggap sebagai sebuah teori konspirasi anti-semitik (sikap antipati terhadap bangsa Semit, khususnya orang Yahudi).

Penyangkalan Holocaust dipandang secara luas sebagai kegagalan dalam mengikuti peraturan-peraturan perlakuan bukti, peraturan-peraturan yang dikenal sebagai dasar dalam penyelidikan yang rasional. Konsensus yang kuat adalah apabila bukti yang diberikan oleh mereka yang selamat, saksi-saksi mata, dan para sejarawan. Sehingga, kebenaran sejarah disini dipertaruhkaan lewat jangkauan-jangkauan rasio yang masuk akal. Adalah hal yang tidak masuk akal untuk meminta orang-orang memberikan klaim guna membuktikan bahwa bukti-bukti mereka “sungguh nyata” dari kenyataan yang sudah jelas, kecuali ada beberapa alasan khusus yang dapat dipercaya untuk memercayai bahwa bukti-bukti tersebut mencurigakan.

Kendati pun sejarah dimanipulasi, kebenaran Holocaust dipertanyakan, dan diputar balik faktanya tak akan hilang jejak-jejak sejarahnya. Bantuan buku ini menawarkan sisi keseimbangan fakta-fakta Holocaust yang bergelantungan dideret-dideret laci sejarah, sehingga kelesuan yang menggiring terhadap pergulatan politik tak dapat ditambat. Kesejatian sejarah, kalau sudah dibenturkan kepada kepentingan-kepentingan politik akan dapat ditebak telah mengalami kekaburan-kekaburan fakta. Minimal lewat buku ini menghantarkan pemahaman mereka yang ingin mengetahui titik-titik kontroversi akut sejarah Holocaust yang tak lepas dari ruang lingkup syak wasangka kebenarannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan Tulis Komentar Anda