Posting : Rabu 24 Februari 2010
Punah sudah optimisme bahwa pemerintah sudah siap dengan perdagangan bebas China dalam artikel "Perdagangan Bebas China: Perubahan Struktur Ekonomi Indonesia". Sebab, pemberitaan media massa menunjukkan bahwa pemerintah baru mau akan berencana membuat rencana penyusunan tim perencana.
Gambaran dampak serbuan produk China di Amerika Serikat belum tentu sama dengan di Indonesia. Bisa jadi memiliki dampak positif, bisa pula berdampak lebih buruk dari Amerika.
Salah satu dampak positif yang disampaikan menteri perdagangan adalah hilangnya kuota impor terhadap produk CPO dari Indonesia. Di sisi pengusaha CPO, tentulah hal ini sangat menguntungkan. Tapi apakah kebutuhan minyak gorang dalam negeri akan aman? Jika ekspor CPO jauh lebih menguntungkan maka suplay minyak goreng dalam negeri bisa menurun.
Naiknya harga minyak goreng di daerah Banyumas harus dikaji secara serius, apakah kenaikan ini terkait dengan FTA atau tidak. Oleh karena itulah Blog ini pernah mengusulkan sebuah Observatory Command Center (OCC) sebagai pusat kendali kebijakan yang dapat bergerak cepat mengidentifikasi berbagai permasalahan bangsa. Sayangnya, aku baru mendengar tentang FTA saat libur akhir tahun kemaren, sehingga engga bisa mengkaitkan pentingnya OCC di era FTA ini.
Negeri China yang pertumbuhan ekonominya tinggi tentulah haus akan energy, sehingga engga cuman masalah minyak goreng saja yang perlu diperhatikan. Masalah suplay energy juga harus diidentifikasi dengan cepat. Madia massa sudah mulai memberitakan kelangkaan energy di daerah. OCC atau lembaga sejenis makin dibutuhkan peranannya.
Tidak sepenuhnya salah jika pemerentah belum menyusun strategi menghadapi FTA. Strategi yang disusun pada saat FTA sudah berjalan akan mempermudah pengkajian karena dampak FTA sudah menjadi nyata, bukan lagi prediksi atau perkiraan. Dengan demikian kebijakan yang dihasilkan harus benar-benar efektif dan tidak boleh salah, tidak ada waktu lagi untuk belajar dari kesalahan.
Perlu disadari, penyusunan strategi yang bersamaan dengan FTA sangat mudah terjebak dalam kesalahan yang fundamental. Seperti strategi pembentukan Satgas Anti Mafia Hukum. Satgas ini bekerja dalam ranah hukum saja, padahal fenomena mafia hukum lahir bukan karena masalah hukum saja, tapi ada faktor ekonomi, politik, budaya, dsb. Persis seperti gambaran Gunung Es oleh Eyang Kakung Bibit. Jika satgas hanya berkutat dengan aturan-aturan maka para mafia hukum akan bermetamorfosa dan berevolusi untuk menjaga eksistensinya, karena masih dibutuhkan keberadaannya oleh oknum-oknum tertentu.
Kembali ke FTA, pelaku ekonomi rill akan bergerak tanpa menunggu kebijakan pemerintah, baik bergerak untuk menuju situasi kondusif maupun ke arah yang lebih buruk. Dan pemerintah harus mengontrol semuanya.
Bukan kasus Century, KPK, Anggodo dan kasus-kasus hukum lainnya yang akan menjadi sumber referensi utama untuk menjatuhkan Presiden, karena kekuatan-kekuatan konstitusi sudah terpetakan dengan baik. Tapi kasus gula, minyak dan sejenisnya yang akan menyentuh pemegang konstitusi tertinggi di Indonesia, yaitu rakyat Indonesia.
Secara pribadi, aku lebih seneng Presiden terpilih mengadakan perbaikan-perbaikan riil daripada dilengserkan dan diganti. Resikonya lebih kecil dan prosesnya (seharusnya) akan lebih cepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Tulis Komentar Anda