Bermula Raja Gowa ke-IV, Tunatangka Lopi, membagi kerajaanya menjadi dua buah kerajaan, kepada puteranya yang bernama Batara Gowa diserahkannya daerah-daerah gallarang kerajaan Gowa, yaitu :
1. Gallarang Pacellekang,
2. Gallarang Pattallasang,
3. Gallarang Bontomanai, (sebelah timur),
4. Gallarang Bontomanai, (sebelah barat),
5. Gallarang Tombolo, dan
6. Gallarang Mangasa.
Daerah-daerah Gallarang inilah yang selanjutnya disebut Kerajaan Gowa dibawah Raja ke-VII, yang bernama Batara Gowa.
Kepada puteranya yang bernama Karaeng LoE ri-Sero, diserahkannya daerah-daerah Gallarang kerajaan Gowa, yaitu :
1. Gallarang Saumata,
2. Gallarang Panampu,
3. Gallarang MoncongloE, dan
4. Gallarang ParangloE.
Daerah-daerah gallarang inilah yang selanjutnya disebut Kerajaan Tallo dibawah Raja Tallo ke-I yang bernama Karaeng LoE ri-Sero.
Dalam pertumbuhan kedua kerajaan kembar ini, walaupun pernah terjadi perang antara keduanya, (pada jaman Raja Gowa ke-IX Tumaparrisi Kallonna dengan Raja Tallo, I Mangngayoang) dengan kekalahan pihak Tallo dan sekutu-sekutunya, namun setelah terjadi perdamaian tetaplah berdirinya kedua kerajaan itu. Dalam tradisi dua kerajaan kembar itu, maka Raja Tallo, selalu menjadi Mangkubumi tradisi dua kerajaan kembar itu, maka Raja Tallo, selalu menjadi Mangkubumi Kerajaan Gowa. Tentu saja dalam perkenbangann selanjutnya peranan kedua kerajaan ini tak dapat lagi dipisah-pisahkan, dan adanya dua nama kerajaan tidaklah menjadi halangan dari perkebangan itu. Pada hakekatnya Gowa dan Tallo, mempunyai rakyat yang satu, dan pemerintahannya pun sesungguhnya satu juga, yaitu Raja dari Gowa dan Mangkubumi dari Tallo yang hanya menjalankan satu peraturan. Menjelang abad ke-XV hampir seluruh negeri orang Makssar telah berada dibawah kekuasaan atau perlindungan kerajaan Gowa- Tallo itu. Terutama dalam abad ke-XVI dibawah kekuasaan Raja Gowa ke_IX dan Raja Gowa ke-X daerah kekuasan kerajaan Gowa telah melampaui wilayah Gowa sendiri dan meliputi hampir seluruh Sulawesi Selatan dan sekitarnya. Maka pengunjung-pengunjung dari kerajaan lain menamakan Raja Gowa itu, Raja orang Makassar atau Kerajaan Makassar saja, penulis-penulis sejarah kemudian juga menamakan Kerajaan Gowa-Tallo dengan kerajaan Makassar, malahan dalam berbagai buku ditulis tentang kesultanan Makassar, dalam arti sama dengan kesultanan Gowa.
Dalam periode kepemimpinan Raja Gowa ke-IX (tahun 1510 – 1546) Daeng Matanre, Karaeng Mangutungi, Tumaparrisi Kallonna, demikian nama lengkap Raja, terlebih dahulu menjadi Gallarang yang digelar “Kasiang ri-Juru atau Gallarang Loaya”. Baginda menduduki tahta kerajaan selama 36 tahun (1510-1546). Didalam pemerintahannya ditetapkan undang-undang dan peraturan perang. Pada periode ini, pelabuhan Makassar yang merupakan bandar niaga yang tumbuh paling ramai dibagian Timur terutama setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Diangkatlah Syahbandar itu masih dirangkap oleh Tumailalang Kerajaan Gowa yang bernama Daeng Pamatte. Daeng Pamatte jugalah yang pertama-pertama menciptakan aksara Lontara.
Dalam periode kepemimpinan Raja Gowa ke-X (1546-1565, Mario Daeng bonto, Karaeng Laiung “Tunipallangga Ulaweng“, demikian nama lengkap Raja Gowa ke-X. dibawah kepemimpinan raja Gowa ke-X ini diadakan penyempurnaan administarsi kerajaan. Kota Makassar dijadikannya sungguh-sungguh sebagai Bandar Niaga yang teratur dengan menetapkan jabatan Syahbandar sebagai jabatan yang terpisah dari jabatan Tumailalang. Baginda Raja “Tunipallangga Ulaweng”, mengangkat dan menetapkan Syahbandar Daeng Tari Mangalle Kana, Ikare Manggaweang sebagai Syahbandar dengan sebutan “Daenta Syahbanaraka”.
Pada periode kepemimpinan Raja “Tunipalangga Ulaweng”, karena makin berkembangnya perdagangan melalui Bandar Makassar, maka para niagawan dari Pahang, Petani, Johor, Campak, Minangkabau, Jawa bahkan orang-orang bangsa Eropa terutama orang Portugis, memohon tempat dan perlindungan Kerajaan untuk membuka perwakilan dagang di Makassar.
Baginda Raja, mengabulkan permohonan para niagawan manca negara itu. Sampai kini kita dapat menyaksikan peninggalan sejarah itu, misalnya pembagian tempat domisili para niagawan itu, maka ada Kampung Melayu, Kampung China, Kampung Arab, Kampung Belanda dan sebagainya.
Demikianlah nama Makassar, sebagai suatu Kerajaan yang melegenda sepanjang sejarah. Tetapi tiba-tiba namanya berubah menjadi Ujung pandang, dan nama Ujung Pandang sempat digunakan sebagai nama Kota ini selama 28 tahun (1971-1999).
MAKASSAR KE UJUNG PANDANG
Di Era tahun 1970-an, muncul gagasan para petinggi di Makassar untuk melebarkan wilayah kota Makassar sebagai ibukota Propinsi Sulwesi Selatan.
Kolonel Inf. H.M. Daeng Patompo, selaku Walikota Makassar berusaha untuk mendekati 3 (tiga) orang Bupati tetangga Makassar. Kolonel Inf. H. Mas’ud di Gowa, Kolonel Inf. Kasim DM. di Maros dan Kolonel Inf. H.M. Arsyad B. di kabupaten Pangkep.
Ketiga orang Bupati ini mulanya tidak memberi respon positif terhadap gagasan H.M Daeng Patompo untuk mengambil sebagian wilayah ketiga Kabupaten, guna melebarkan wilayah Makassar, apalagi kalau nama Makassar tercantum di dalamnya.
Karena lama tertunda – tunda tentang kesediaan ketiga Bupati itu, maka pimpinan militer di Makassar ikut berusaha melicinkan jalan ke arah rencana tersebut. Tersebutlah Letjen Kemal Idris, Panglima KOWILHAN III, Brigjen A. Aziz Bustam, Panglima KODAM XIV Hasanuddin dan juga Gubernur Sulsel, Mayjen Ahmad Lamo, dan Pangkep betapa pentingnya perluasan wilayah ibukota Propinsi Sulawesi Selatan, tidak dapat dilupakan juga peranan Andi Pangerang Petta Rani, Mantan Gubernur Sulawesi Selatan dalam rangka usha pelebaran wilyah Makassar sebagai ibukota Sulawesi Selatan. Akhirnya ketiga Bupati tersebut menyatakan kesediaanya, syaratnya Makassar menjadi Ujung Pandang.
Wilayah Kota Makassar ibukota Propinsi Sulawesi Selatan bertambah lebar, dari hanya sekitar 25 KM2 menjadi 175 KM2. Lahirlah PP No. 51 Tahun 1971 tentang perubahan batas-batas daerah Kota Makassar dan Kabupaten-Kabupaten Gowa, Maros dan Pangkajene Kepulauan dalam daerah Propinsi Sulawesi Selatan (Lembaran negara RI Tahun 1971 No. 65, tambahan lembaran Negara No. 2970), dan nama Makassar berubah menjadi Ujung Pandang.
Perubahan nama Makassar menjadi Ujung Pandang, melahirkan reaksi dari berbagai kalangan warga masyarakat kota ini, dan berusaha untuk mengembalikan nama kota dari Ujung Pandang menjadi Makassar, sekaligus upaya untuk menemukan hari jadi Makassar yang sesuai dengan kebesaran namanya didalam sejarah bangsa.
Reaksi keras dari berbagai kalangan warga masyarakat dikota ini, dimanifestasikan dalam sebuah petisi 17 Juli 1976 dengan ditandatangani oleh 3 (tiga) orang pakar sejarah dan budayawan didaerah ini, yaitu :
1. Prof. Mr. DR. Andi Zainal Abidin Farid.
2. DR. H.A. Mattulada
3. Drs.H.D. Mangemba
Dengan isi petisi, diminta supaya nama Ujung Pandang dikembaliakn menjadi Makassar demi menegakkan kejujuran, kebenaran dan kelurusan sejarah tanah air Indonesia. Petisi ini ditujukan kepada Walikota Madya KDH Tk-II Ujung Pandang dan DPRD Kotamadya Dati II Ujung Pandang.
UJUNG PANDANG KE MAKASSAR
Dibawah kepempinan Walikotamadya KDH Tk. II Ujung Pandang, DR.H.A.Malik B. Masry, SE, MS telah diselenggarakan seminar penelusuran hari jadi Makassar yang dilaksanakan di Ujung Pandang bertempat di Makassar Golden Hotel pada tanggal 21 Agustus 1995 atas kerjasama Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin dengan Pemerintah Daerah Kotamadya Ujung Pandang.
Seminar ini menghasilkan sebuah rekomendasi yang memandang sangat perlu peralihan nama Ujung Pandang menjadi Makassar dengan argumentasi sbb :
1. Bahwa nama Makassar, tidak terbatas pada nama saja, tetapi juga mencakup identifikasi bahasa, suku, budaya, dan kerajaan (Kerajaan Makassar) sedangkan Ujung Pandang hanyalah sebagian kecil dari Kota Makassar (Ujung Pandang berada didalam Makassar).
2. Bahwa keputusan DPRD-GR Kotapraja Makassar tanggal 24 September 1964 dan Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 1971 tanggal 1 September 1971 tentang perubahan nama Makassar ke Ujung pandang, bertentangan dengan Undang_undang No. 13 tahun 1964 Jo. Ketetapan MPR-S No.XX tahun 1996 No. Ketetapan MPR No. V tahun 1973, pasal 5, 19 dn 20 UUD 1945, makanya perubahan nama Makassar menjadi Ujung Pandang batal dengan sendirinya demi hukum.
3. Peralihan nama Makassar ke Ujung Pandang dan Ujung Pandang ke Makassar dapat dipandang sebagai suatu proses yg diwarnai perbedaan dan pertentangan pendapat serta konflik dalam sebuah komunitas perkembangan masyarakat bersama kotanya.
Setelah pergantian Walikota dari DR. H. A. Malik B. Masry kepada Drs. H.B. Amiruddin Maula, SH. Msi. Hasil seminar ini ditindaklanjuti yang selanjutnya mendapat dukungan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kotamadya Ujung Pandang sebagaimana tertuang didalam Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kotamadya Ujung Pandang No. 05/Pimp/DPRD/VIII/99 tanggal 21 Agustus 1999, tentang persetujuan DPRD atas rencana alih nama Ujung Pandang menjadi Makassar sebagai nama Kota.
Perjuangan Walikota Drs. H.B Amiruddin Maula, mendapat restu Gubernur Sulawesi Selatan, H.Z.B Palaguna, kemudian mendapat persetujuan Pemerintah Pusat dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 86 tahun 1999 tanggal 13 Oktober 1999, menetapkan pengembalian nama Kotamadya Ujung Pandang menjadi Kota Makassar dalam wilayah Propinsi Sulawesi Selatan. Kembalinya nama Makassar adalah nama legendaris yang dikenal oleh masyarakat internasional. Peraturan Pemerintah No. 86 tahun 1999, ditandatangani Presiden ke-3 Republik Indonesia , Prof. DR. BJ. Habibie.
MAKASSAR ADALAH SERAMBI MADINAH
Dengan pernyataan baginda Raja Gowa bahwa meskipun kerajaan ini menerima agama Islam sebagai agama panutan kerajaan, namun semua golongan agama lain di dalam wilayah Kerajaan Makassar tetap mempunyai hak yang sama dan mempunyai kebebasan beribadah menurut agamanya. Berniaga dan mendapat perlindungan yang sama dari kerajaan, ini merupakan pundak tertinggi dari masyarakat Madani/ sociaty yang dipelopori Kerajaan Makassar.
Salah seorang sejarahwan kebangsaan Inggris bernama C.R Boxer, dalam bukunya berjudul FRANCISCO VIEIRA DE GUEIREDO A PORTUGUESE MERCHANT-ADVENTURER IN SOUTH EAST ASIA 1627-1667; menulis menyatakan keheranannya dan sekaligus kagum, karena menurut perkiraanya apabila kerajaan Makassar menganut agama Islam sebagai agama kerajaan, kemungkinannnya bangsa-bangsa lain yang menganut agama non Islam akan mendapatkan kesulitan didalam kerajaan Makassar, tetapi kenyataannya justru semua orang bangsa lain yang beragama non Islam justru diberi kebebasan dan perlindungan. Pelabuhan Makassar sudah terkenal sejak abad ke-XIV, tetapi belum mencapai kemajuan yang berarti, dan nanti kerajaan Makassar menganut agama Islam, pelabuhan ini mencapai kemajuan yang signifikan, menjadi suatu pelabuhan yang sangat terkenal di benua timur/Asia.
Salah seorang Ulama besar Indonesia, Buya Hamka (Haji Muh. Karim Amrullah), konon pernah mengatakan bahwa manakala kerajaan Makassar menerapkan perhatian kepada menghargai pluralisme, hormat kepada bangsa-bangsa lain yang berniaga di Makassar, dan memberikan kebebasan memeluk dan beribadah menurut agamanya masing-masing, berarti mempraktekkan sifat dan metode Pemerintahan Rasulullah Muhammad SAW pada saat beliau melaksanakan pemerintahan di Madinah, makanya Makassar berhak diberi predikat “Serambi Madinah” sama dengan Aceh, serambi “Mekkah”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Tulis Komentar Anda