Demokrasi langsung kita telah memunculkan aneka anekdot getir, antara lain, pemenang pilkada provinsi A yang sebenarnya bukanlah pasangan si Z-Y, melainkan bandarnya. Istilah bandar mengalami penghalusan menjadi pemodal atau investor. Bandar ternyata lihai bermain di segala lini untuk memodali semua kandidat.
Fenomena itu terasa sekali tatkala, misalnya, mengapa hampir seluruh kandidat pilkada provinsi A tidak mempersoalkan kasus tertentu yang sangat populer karena kontroversial di mana dampaknya adalah peminggiran para korban yang bernama rakyat.
Mengapa pula para kandidat berlomba membagi "fasilitas" ke simpul-simpul strategis masyarakat bak sinterklas? Yang jelas, sebagian besar mereka tampil mendadak sebagai bos-bos politik. Tapi, kerap mereka dan juga hampir seluruh aktor yang berlaga dalam segala jenis pemilu justru hanyalah agen sebuah "kepentingan yang lebih besar" yang bersifat invisible hands alias hantu blau. Si bos yang sebenarnya sang investor politik. Fenomena ini segera mengingatkan kita pada wacana tentang bosisme politik (political bossism).
Setidaknya, menurut Fred J. Cook dalam bukunya American Political Bosses and Machines (1973), istilah bosisme itu tak lepas dari sejarah panjang demokrasi politik di Amerika Serikat, yang bahkan sisa-sisa pengaruhnya masih terasa hingga kini.
Bosisme diartikan sebagai sebuah sistem politik yang menempatkan sosok tunggal dengan kekuatan penuh mengontrol jalannya politik. Si bos membawahkan sebuah organisasi yang kompleks, yang memadukan kepentingan ekonomi dan politik sekaligus. Di Amerika, bosisme menjadi isu politik penting pada sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Di ranah ekonomi, si bos memiliki banyak usaha, lincah mengembangkan modal dan menyiasati sistem secara legal-etis maupun nakal. Sang kapitalis selalu eksis di tengah cuaca politik apa pun karena punya saham di kekuasaan.
Dengan kekuatan modal dan jejaring yang kuat di segala lini serta dengan teknik kecanggihan tertentu, si bos bisa mendiktekan kemauan politiknya kepada kandidat, bahkan mengatur perilaku pemilih. Di Indonesia, barangkali, istilah populernya "bos preman", dan tentu bukan preman kelas teri alias kacangan.
Sebelum wacana political machine (mesin politik) banyak dikaitkan dengan partai-partai politik, istilah itu sesungguhnya sangat dekat dengan bosisme. Political machine lebih merujuk pada pergerakan organisasi (politik) yang tidak resmi dikendalikan dengan sangat kuat oleh patron secara behind-the-scenes, yang selalu berupaya menguasai struktur, aktor-aktor, dan mengendalikan permainan demokrasi politik. Konteks istilah ini selaras dengan wacana politik-klientalisme yang populer di Amerika Latin, Afrika, serta Eropa Timur pascakomunis.
Dalam konteks bosisme dan mesin politik, kata kunci utamanya adalah patronase yang tentu saja terkait erat dengan ranah korupsi politik. Novel semacam The Godfather karya agung Mario Puzo (1969), tampaknya, cukup memberikan gambaran tentang bosisme dan political machine, di mana pertarungan bisnis dan politik berlangsung sangat seru dan berdarah-darah.
Belajar dari Filipina
Di Filipina, fenomena bosisme dan mesin politik telah menimbulkan banyak korban. Kekerasan politik telah menjadi pola yang, bahkan, ekstrem. Pada sebuah Pemilu 2007, misalnya, tercatat sedikitnya 120 orang tewas akibat kekerasan politik. Pada Pilpres 2004, sekitar 148 orang tewas. Sementara 11 orang tewas dalam pemilihan anggota Kongres dan lokal 2001.
Pemilu-pemilu di Filipina sering ditandai oleh aksi kekerasan karena kelompok-kelompok yang bersaing menggunakan kekerasan untuk mengintimidasi pemilih atau lawan-lawan politik.
Berbeda dengan Indonesia, lansekap politik (lokal) di Filipina masih ditandai dengan kuatnya tuan tanah yang kemudian mengerucut menjadi bos-bos bisnis dan politik. Mereka, seperti juga para gangster dalam The Godfather, punya political machine, dan bahkan senjata yang bisa dipakai untuk saling meneror.
Lansekap politik kita berbeda dengan Filipina, tetapi bukan berarti sama sekali tidak persis. Para pemilik modal dan kuasa tentu akan selalu bersaing dalam berebut pengaruh. Adakalanya mereka membentuk suatu oligarki kepentingan dalam membandari kandidat-kandidat politik. Memang gesekan-gesekan belum seekstrem kekerasan-kekerasan politik di Filipina, tetapi kita perlu khawatir kalau arahnya ke sana.
Wajar dan Etis
Memodali politik tentu saja bukan sesuatu yang salah, tetapi mestinya etis, taat aturan, dan karenanya wajar. Yang dimodali wajib menegakkan prinsip akuntabilitas dan transparansi. Persaingan politik harus wajar dan etis pula. Soal etis dan taat aturan memang normatif, seolah semata imbauan. Padahal, kultur politik kita masih suka menonjolkan salah kaprah: kalau aturan masih bisa dilanggar, mengapa harus ditaati.
Yang harus kita lakukan adalah memperbaiki sistem, meningkatkan kualitas kesadaran kritis masyarakat dan tanggung jawab nyata para aktor serta partai politik. Euforia politik masih terasa sekali kini, di mana ''kemaruk kekuasaan" lebih mengemuka ketimbang berpolitik untuk mengabdi.
Jangan sampai ekses berebut atau mempertahankan kekuasaan itu lantas mengabaikan kewajaran dengan menggunakan kekuatan modal untuk mengangkangi dan merusak kesucian politik, menginjak-injak kepala rakyat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Tulis Komentar Anda