INILAH.COM, Makassar - Meski kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) ditunda, namun aksi unjukrasa di Makassar masih terus berlanjut, Sabtu (31/3/2012) malam.
Seolah tak berpengaruh keputusan DPR, aksi unjukrasa yang tergabung dalam Wahana Kerja Mahasiswa Makassar (WKMM), di bawah jembatan flyover Jalan A.P. Pettarani, kali ini bukan menuntut penolakan kenaikan harga BBM melainkan menolak keputusan DPR yang hanya menunda kenaikan BBM.
"Kami menolak hasil rapat paripurna DPR RI, utamanya pasal 7 ayat 6 a, karena kami menganggap itu adalah ayat pembodohan, karena biar bagaimanapun BBM tetap akan naik," kata Sukandar Ridwan dalam orasinya.
Sambil berorasi, seperti biasa mereka membakar ban bekas, dan menutup setengah badan jalan di bawah flyover. Sebelum aksi dari WKMM, sekitar pukul 17.00 sore tadi, dua universitas yakni Universitas Indonesia Timur (UIT) dan Universitas Sawerigading melakukan aksi di tempat yang sama.
Sekitar 50-an menutup seluruh jalan dua jalur di bawah jembatan layang ini. Tak pelak lagi arus lalu lintas menjadi tersendat. Ironisnya, meski unjukrasa masih dilakukan, tak terlihat aparat dari kepolisian mengamankan aksi mereka.
Aksi mahasiswa UIT dan Universitas Sawerigading berlangsung sekitar dua jam lamanya. Mereka baru membuka jalan setyelah 20-an pasukan TNI dari Kodam melakukan negosiasi dengan mahasiswa agar membuka separuh badan jalan. [gus]
Selasa, 03 April 2012
Cara Ahmadinejad Naikkan Harga BBM Iran
Rencana pemerintah Indonesia menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) merupakan rencana kebijakan yang saat ini tengah diberlakukan pemerintah Republik Islam Iran di bawah kepemimpinan Mahmoud Ahmadinejad
Kenaikan BBM Iran menjadi ajang pacu menuju hidup mandiri rakyat dan masa depan cadangan minyak Iran serta keselamatan tanah air Iran yang menjadikan sumber daya alam yang tak terbarukan itu sebagai salah satu urat nadi kelangsungan bangsanya.
Kebijakan Ahmadinejad menaikkan harga BBM yang dinilai sukses itu tersebut diulas dalam diskusi bertema Politik Ekonomi Republik Islam Iran yang didaulat Direktur Iranian Corner Universitas Hasanuddin (Unhas) Supa Atha'na di Kantor Tribun Timur, Jl Cenderawasih, Makassar, Senin (2/4).
Hadir dua narasumber yang sudah menelan tahun malang melintang di negeri Iran ini, Mantan Duta Besar RI untuk Iran Prof Basri Hasanuddin dan Jurnalis senior IRIB World Service Iran Purkon Hidaya. Hadir pula Sekretaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia Masika Wahyuddin Djunus, Dosen Fakultas Perikanan Universitas Hasanuddin (Unhas) DR Khusnul Yakin.
Selanjutnya, Kordinator Forum Kajian Kota Muhammad Firul Hak, Pendiri Komite Perjuangan Rakyat Miskin (KPM), Pembantu Dekan I Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar DR Abdul Rahim Razak, Kordinator Gerakan Perempuan Indonesia Sulsel Reni Susanti MH, Direktur Sekolah Filsafat Makassar Hajar.
Sejumlah perwakilan dari Jurnal Al Qurba, Iranian Corner Unhas, anggota Ahlul Bait Indonesia, dan anggota Komunitas Mafatihul Jinan.
"Meskipun Iran eksportir minyak terbesar ketiga dunia, tapi ternyata Iran juga dulu tetap impor BBM, seperti bensin. Kebijakan impor minyak Iran tidak terlepas dari kondisi kilang-kilang minyaknya yang rusak akibat diserang negara barat. Tapi Iran kemudian bisa melewati itu dengan pengawalan pemerintah yang begitu ketat,"kata Purkon.
"Ahamadinejad memberlakukan Blt dengan metode ketat. Pemerintah Iran memberlakukan smart card bagi pengguna BBM. Subsidi BBM dicabut tapi tidak pukul rata.Warga Iran memakai kartu mereka di pompa bensin. Untuk memperoleh smart card, Iran melakukan pendataan secara nasional. Warga menerima Blt melalui rekening smart card tersebut. Pembelian bensin pun terukur melalui kartu tersebut. Sehingga kebijakan pemimpin Iran tersebut mampu menyelamatkan rakyatnya," Purkon menambahkan.
Menurut Purkon, kebijakan pemimpin Iran Ahmadinejad menaikkan BBM juga menuai kecamanny rakyatnya. Bahkan sempat, pemimpin yang dikenal super low profile dan pemberani itu hanya disenangi masyarakat kalangan bawah. Namun, kebijakan tersebut semakin menguatkan negeri republik Islam tersebut.
"Di daerah Akhwas, Iran, selama Ahmadinejad memimpin, tahun 2011 itu terjadi kenaikan BBM, tetapi untuk produk lokal relatif tidak terjadi. Masyarakat Iran benar-benar terukur dan mandiri atas kebijakan tersebut," jelas Purkon.
Prof Basri mengatakan, kebijakan Ahmadinejad tersebut merupakan langkah berani untuk menciptakan kemandirian bangsanya. Iran senantiasa menolak dikte negara adikuasa Amerika Serikat. Iran ingin menyelamatkan energinya yang selama ini memiliki nilai bargaining yang tinggi di mata dunia.
"Iran itu merupakan kekuatan kawasan Timur Tengah. Negara Iran itu paling strategis di dunia. Iran menguasai selat Hormouz di mana 60 kebutuhan minyak dunia itu lewat di situ. Kalau ini dutup maka negara barat terancam. Di sisi lain, kebijakan minyak Ahmadinejad terhadap rakyat itu demi cadangan minyak Iran," kata Prof Basri.
Kenaikan BBM Iran menjadi ajang pacu menuju hidup mandiri rakyat dan masa depan cadangan minyak Iran serta keselamatan tanah air Iran yang menjadikan sumber daya alam yang tak terbarukan itu sebagai salah satu urat nadi kelangsungan bangsanya.
Kebijakan Ahmadinejad menaikkan harga BBM yang dinilai sukses itu tersebut diulas dalam diskusi bertema Politik Ekonomi Republik Islam Iran yang didaulat Direktur Iranian Corner Universitas Hasanuddin (Unhas) Supa Atha'na di Kantor Tribun Timur, Jl Cenderawasih, Makassar, Senin (2/4).
Hadir dua narasumber yang sudah menelan tahun malang melintang di negeri Iran ini, Mantan Duta Besar RI untuk Iran Prof Basri Hasanuddin dan Jurnalis senior IRIB World Service Iran Purkon Hidaya. Hadir pula Sekretaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia Masika Wahyuddin Djunus, Dosen Fakultas Perikanan Universitas Hasanuddin (Unhas) DR Khusnul Yakin.
Selanjutnya, Kordinator Forum Kajian Kota Muhammad Firul Hak, Pendiri Komite Perjuangan Rakyat Miskin (KPM), Pembantu Dekan I Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar DR Abdul Rahim Razak, Kordinator Gerakan Perempuan Indonesia Sulsel Reni Susanti MH, Direktur Sekolah Filsafat Makassar Hajar.
Sejumlah perwakilan dari Jurnal Al Qurba, Iranian Corner Unhas, anggota Ahlul Bait Indonesia, dan anggota Komunitas Mafatihul Jinan.
"Meskipun Iran eksportir minyak terbesar ketiga dunia, tapi ternyata Iran juga dulu tetap impor BBM, seperti bensin. Kebijakan impor minyak Iran tidak terlepas dari kondisi kilang-kilang minyaknya yang rusak akibat diserang negara barat. Tapi Iran kemudian bisa melewati itu dengan pengawalan pemerintah yang begitu ketat,"kata Purkon.
"Ahamadinejad memberlakukan Blt dengan metode ketat. Pemerintah Iran memberlakukan smart card bagi pengguna BBM. Subsidi BBM dicabut tapi tidak pukul rata.Warga Iran memakai kartu mereka di pompa bensin. Untuk memperoleh smart card, Iran melakukan pendataan secara nasional. Warga menerima Blt melalui rekening smart card tersebut. Pembelian bensin pun terukur melalui kartu tersebut. Sehingga kebijakan pemimpin Iran tersebut mampu menyelamatkan rakyatnya," Purkon menambahkan.
Menurut Purkon, kebijakan pemimpin Iran Ahmadinejad menaikkan BBM juga menuai kecamanny rakyatnya. Bahkan sempat, pemimpin yang dikenal super low profile dan pemberani itu hanya disenangi masyarakat kalangan bawah. Namun, kebijakan tersebut semakin menguatkan negeri republik Islam tersebut.
"Di daerah Akhwas, Iran, selama Ahmadinejad memimpin, tahun 2011 itu terjadi kenaikan BBM, tetapi untuk produk lokal relatif tidak terjadi. Masyarakat Iran benar-benar terukur dan mandiri atas kebijakan tersebut," jelas Purkon.
Prof Basri mengatakan, kebijakan Ahmadinejad tersebut merupakan langkah berani untuk menciptakan kemandirian bangsanya. Iran senantiasa menolak dikte negara adikuasa Amerika Serikat. Iran ingin menyelamatkan energinya yang selama ini memiliki nilai bargaining yang tinggi di mata dunia.
"Iran itu merupakan kekuatan kawasan Timur Tengah. Negara Iran itu paling strategis di dunia. Iran menguasai selat Hormouz di mana 60 kebutuhan minyak dunia itu lewat di situ. Kalau ini dutup maka negara barat terancam. Di sisi lain, kebijakan minyak Ahmadinejad terhadap rakyat itu demi cadangan minyak Iran," kata Prof Basri.
Kamis, 02 Februari 2012
Gemuruh Aspirasi Buruh
Aksi pemblokiran jalan tol oleh buruh Bekasi merefleksikan bahwa persoalan klasik di Indonesia tak kunjung tuntas, kejadian sengketa buruh dan pengusaha sebenarnya bukan isu baru di Tanah Air, hanya lokasinya saja yang berbeda-beda.
Pada kasus di Bekasi, para buruh menuntut adanya perbaikan Upah minimum Kota (UMK). Tidak hanya itu, menurut Koordinator Serikat Buruh Bergerak Obon Tabroni, mereka juga meminta jaminan hidup layak, seperti kipas angin, air minum dan alat komunikasi. Bagi sebagian kalangan tuntutan itu adalah hal yang sangat sepele. Namun, bagi para buruh itu adalah barang "wah" yang tidak mereka miliki.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa sistem pengupahan belumlah adil. Banyak pengusaha yang mementingkan ekspansi ketimbang menghargai para buruh.
Hal itu diakui oleh Sekretaris Umum Apindo Suryadi Sasmita. "Lulusan S1 terima upah minimum provinsi (UMP) sama dengan orang yang membersihkan toilet. Orang kerja baru dan kerja lama gajinya sama saja. Sistem yang baik adalah dapat gaji atau bonus sesuai kemampuan dan kontribusi," cerita dia.
Belajar dari Pengalaman
Untungnya, tragedi buruh Bekasi berhasil ditutup dengan happy ending dan tidak terjadi chaos. Pekerja dan pengusaha sepakat adanya perbaikan UMK, yakni untuk golongan I sebesar Rp1,491 juta. Kelompok II sebesar Rp1,715 juta dan kelompok III sebesar Rp1,849 juta.
Bak mati satu tumbuh seribu, persoalan di Bekasi sudah selesai, pekerja di Tangerang pun bergejolak. Ribuan buruh dari berbagai aliansi kompak menuntut disamakannya antara UMK Tangerang dengan DKI Jakarta. Seharusnya peristiwa buruh Bekasi bisa menjadi pengalaman mahal, sehingga tidak terjadi gejolak sama yang meresahkan banyak pihak.
Solusi utamanya terletak pada revisi Undang-Undang nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Perlu adanya perbaikan struktur gaji dan sistem pengupahan yang selama ini belum adil.
Selain merivisi payung hukum, solusi pamungkas lainnya adalah pengusaha selayaknya mendengarkan dan berdialog mengenai aspirasi pekerja. Perlu adanya perundingan yang menghasilkan win-win solution, baik pengusaha dan pekerja.
Lucunya, persoalan bernafaskan para kapital juga bergema dalam Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) pada akhir pekan lalu. Sebuah pertemuan tingkat dunia yang digelar di Davos, Swiss, itu pun didominasi cercaan terhadap kapitalisme (pada kesempatan itu dibahas kapitalisme liberal Barat).
Bahwa sistem yang menganut pro kapitalis dinilai sudah tidak relevan lagi dengan kondisi zaman. Bahkan, konsep kapitalis dinilai menindas dan mecampakkan kaum marginal.
Sudah saatnya kalangan kapitalis mendengarkan dan memperhatikan para pekerjanya. Khususnya perosalan gaji yang sangat sensitif.
Seandainya dua pendekatan itu dilakukan, gelombang unjuk rasa di Bekasi maupun Tangerang, mungkin bisa dihindari.
Sialnya, gemuruh emosi pekerja sudah tidak terbendung. Bukti nyata tidak didengarkannya aspirasi buruh adalah kaburnya investor Korea yang sudah berminat menanamkan modal di Indonesia. Mereka memilih Thailand, dengan pertimbangan bisnis mereka akan aman karena minimnya isu buruh. Kalau sudah begini, siapa yang dirugikan?
Rani Hardjanti
Pada kasus di Bekasi, para buruh menuntut adanya perbaikan Upah minimum Kota (UMK). Tidak hanya itu, menurut Koordinator Serikat Buruh Bergerak Obon Tabroni, mereka juga meminta jaminan hidup layak, seperti kipas angin, air minum dan alat komunikasi. Bagi sebagian kalangan tuntutan itu adalah hal yang sangat sepele. Namun, bagi para buruh itu adalah barang "wah" yang tidak mereka miliki.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa sistem pengupahan belumlah adil. Banyak pengusaha yang mementingkan ekspansi ketimbang menghargai para buruh.
Hal itu diakui oleh Sekretaris Umum Apindo Suryadi Sasmita. "Lulusan S1 terima upah minimum provinsi (UMP) sama dengan orang yang membersihkan toilet. Orang kerja baru dan kerja lama gajinya sama saja. Sistem yang baik adalah dapat gaji atau bonus sesuai kemampuan dan kontribusi," cerita dia.
Belajar dari Pengalaman
Untungnya, tragedi buruh Bekasi berhasil ditutup dengan happy ending dan tidak terjadi chaos. Pekerja dan pengusaha sepakat adanya perbaikan UMK, yakni untuk golongan I sebesar Rp1,491 juta. Kelompok II sebesar Rp1,715 juta dan kelompok III sebesar Rp1,849 juta.
Bak mati satu tumbuh seribu, persoalan di Bekasi sudah selesai, pekerja di Tangerang pun bergejolak. Ribuan buruh dari berbagai aliansi kompak menuntut disamakannya antara UMK Tangerang dengan DKI Jakarta. Seharusnya peristiwa buruh Bekasi bisa menjadi pengalaman mahal, sehingga tidak terjadi gejolak sama yang meresahkan banyak pihak.
Solusi utamanya terletak pada revisi Undang-Undang nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Perlu adanya perbaikan struktur gaji dan sistem pengupahan yang selama ini belum adil.
Selain merivisi payung hukum, solusi pamungkas lainnya adalah pengusaha selayaknya mendengarkan dan berdialog mengenai aspirasi pekerja. Perlu adanya perundingan yang menghasilkan win-win solution, baik pengusaha dan pekerja.
Lucunya, persoalan bernafaskan para kapital juga bergema dalam Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) pada akhir pekan lalu. Sebuah pertemuan tingkat dunia yang digelar di Davos, Swiss, itu pun didominasi cercaan terhadap kapitalisme (pada kesempatan itu dibahas kapitalisme liberal Barat).
Bahwa sistem yang menganut pro kapitalis dinilai sudah tidak relevan lagi dengan kondisi zaman. Bahkan, konsep kapitalis dinilai menindas dan mecampakkan kaum marginal.
Sudah saatnya kalangan kapitalis mendengarkan dan memperhatikan para pekerjanya. Khususnya perosalan gaji yang sangat sensitif.
Seandainya dua pendekatan itu dilakukan, gelombang unjuk rasa di Bekasi maupun Tangerang, mungkin bisa dihindari.
Sialnya, gemuruh emosi pekerja sudah tidak terbendung. Bukti nyata tidak didengarkannya aspirasi buruh adalah kaburnya investor Korea yang sudah berminat menanamkan modal di Indonesia. Mereka memilih Thailand, dengan pertimbangan bisnis mereka akan aman karena minimnya isu buruh. Kalau sudah begini, siapa yang dirugikan?
Rani Hardjanti
Paradoks, Rangsang Ledakan Konflik
Beberapa waktu yang lalu, Indonesia menjadi sorotan dunia internasional. Kali ini bukan karena prestasinya meraih peringkat investasi (investment grade) dari Fitch’s Rating Ltd. dan Moody’s Investor Service. Akan tetapi karena ada kejadian heroik yang dilakoni anak-anak Sekolah Dasar (SD). Mereka yang menggantung asa dan karenanya, bertaruh nyawa menyeberangi (penulis istilahkan) “jembatan pendidikan” yang oleh media ternama dari Inggris, Dailymail disebut bak sepotong adegan film anyar Indiana Jones.
Aksi nekat anak-anak SD di di Sang Hiang, Lebak, Banten yang meniti jembatan isa terjangan banjir tersebut, tentunya menampar wajah pejabat publik. Dimana akhir-akhir ini baik eksekutif terlebih lagi legislatif menjadi bulan-bulanan akibat laku paradoksnya terhadap realitas kehidupan rakyat.
Lihatlah, hanya berjarak 77 kilometer dari lokasi “jembatan pendidikan” Indiana Jones, berdiri megah gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang hari-hari ini penghuninya menuai badai cercaan akibat dugaan mark up anggaran yang dilakukan untuk memenuhi sejumlah proyek bagi fasilitas wakil rakyat yang kinerjanya nyaris tak dirasakan itu.
Publik terperanjat ketika tahu, untuk toilet berukuran 3x2 meter persegi, kocek negara dirogoh hingga dua miliar rupiah. Pun dengan anggaran kalender yang mencapai 1,3 miliar rupiah. Lain pula soal renovasi ruang rapat badan anggaran yang angkanya lebih fantastis. 20 miliar rupiah. Kursinya, kursi impor berharga 24 juta rupiah per unit.
Masih ada ironi lain dari DPR. Kali ini soal parfum pengharum ruang seharga 1,59 miliar rupiah, kemudian mesin fotocopy dan satu Toyota Camry seharga 6,5 miliar rupiah, dua unit Welcome Screen di gerbang DPR seharga 4 miliar rupiah dan bahkan untuk gorden pun angkanya betul-betul membengkak. Dihargai 6 juta rupiah per meter. Jika tidak ada niat picik kongkalikong mark up anggaran, tidak mungkin dana yang dihabiskan sebesar itu. Maka wajar jika erosi kepercayaan kepada lembaga perwakilan rakyat itu kian meruncing.
Ternyata bukan hanya lembaga legislatif menggerogoti anggaran negara. Lembaga eksekutif pun tak mau kalah ikut renovasi. Ya, mungkin memang sedang musim renovasi. Bayangkan saja, untuk anggaran peningkatan sarana dan prasarana aparatur (meliputi beberapa istana negara) yang dihandle oleh Sekretarian Negara, telah dianggarkan 80,4 miliar rupiah di dalam APBN 2012 ini.
Tiga kenyataan di atas, yaitu kisah “jembatan pendidikan”, renovasi gedung DPR dan sejumlah anggarannya yang irasional dalam kalkulasi moral kita, serta renovasi beberapa istana negara hingga menghabiskan lebih dari 80 miliar rupiah, merupakan potret buram wajah republik yang saban hari digelayuti paradoks. Wajah yang terbelah. Lalu lantak berkeping menjadi puing-puing.
Pejabat Predator
Penulis jadi teringat petuah Arnold Toynbee di dalam bukunya yang diterjemahkan, “Sejarah Umat Manusia”. Sejarawan kenamaan asal Inggris tersebut mengatakan bahwa kemajuan kehidupan pada dasarnya akan menghantar pelaku-pelakunya bersifat seperti parasit. Hanya bisa hidup dengan mengerogoti induk/inangnya. Lebih lanjut, kata Toynbee, pada titik ekstriimnya sifat parasitik tadi bahkan sering berubah menjadi predatoris. Memangsa, mengorbankan siapa saja demi mencapai hasratnya.
Ibarat parasit, para politikus dan pejabat negara menggerogoti anggaran yang seharusnya diperuntukkan bagi rakyat tersebut. Mereka hanya mampu hidup dengan korupsi. Alhasil, rakyat pun jadi korban. Anggaran yang seharusnya diperuntukkan bagi kepentingan bersama, untuk membangun prasarana pendidikan, infrastruktur pertanian, dan sarana publik, semua terkuras ke kas-kas koruptor. Dikanalisasi untuk kepentingan individu atau kelompok. Parahnya, sudah korupsi, mereka tak juga berkinerja.
Lebih parah lagi ketika sifat predatorisnya yang berlaku. Tak segan menghabisi orang lain. Seperti mafia (atau memang sudah menjadi mafia), mereka memiliki jaringan yang rapi dan terorganisir. Pada titik ini, pimpinan puncak dalam satu lembaga atau organisasi seharusnya memiliki kecakapan mereduksi praktek-praktek kotor bawahannya.
Tapi apa daya jika ternyata pemimpin yang diharapkan tak bisa berbuat banyak. Kepemimpinan lemah. Tersandera oleh berbagai kepentingan. Atau barangkali memiliki belang yang sama sehingga enggan sama-sama teridentifikasi sebagai pemimpin predatoris.
Maka jangan salahkan rakyat, jika frustasi menyaksikan tontonan yang dilakonkan para pejabat. Ledakan anarkisme, konflik horizontal dan berbagai bentuk letupan-letupan sosial hanyalah efek samping dari kerusakan terstruktur yang mendera bangsa kita. Jika begini, lalu mau apa?
Jusman Dalle
Analis Ekonomi-Politik FE Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar
Aksi nekat anak-anak SD di di Sang Hiang, Lebak, Banten yang meniti jembatan isa terjangan banjir tersebut, tentunya menampar wajah pejabat publik. Dimana akhir-akhir ini baik eksekutif terlebih lagi legislatif menjadi bulan-bulanan akibat laku paradoksnya terhadap realitas kehidupan rakyat.
Lihatlah, hanya berjarak 77 kilometer dari lokasi “jembatan pendidikan” Indiana Jones, berdiri megah gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang hari-hari ini penghuninya menuai badai cercaan akibat dugaan mark up anggaran yang dilakukan untuk memenuhi sejumlah proyek bagi fasilitas wakil rakyat yang kinerjanya nyaris tak dirasakan itu.
Publik terperanjat ketika tahu, untuk toilet berukuran 3x2 meter persegi, kocek negara dirogoh hingga dua miliar rupiah. Pun dengan anggaran kalender yang mencapai 1,3 miliar rupiah. Lain pula soal renovasi ruang rapat badan anggaran yang angkanya lebih fantastis. 20 miliar rupiah. Kursinya, kursi impor berharga 24 juta rupiah per unit.
Masih ada ironi lain dari DPR. Kali ini soal parfum pengharum ruang seharga 1,59 miliar rupiah, kemudian mesin fotocopy dan satu Toyota Camry seharga 6,5 miliar rupiah, dua unit Welcome Screen di gerbang DPR seharga 4 miliar rupiah dan bahkan untuk gorden pun angkanya betul-betul membengkak. Dihargai 6 juta rupiah per meter. Jika tidak ada niat picik kongkalikong mark up anggaran, tidak mungkin dana yang dihabiskan sebesar itu. Maka wajar jika erosi kepercayaan kepada lembaga perwakilan rakyat itu kian meruncing.
Ternyata bukan hanya lembaga legislatif menggerogoti anggaran negara. Lembaga eksekutif pun tak mau kalah ikut renovasi. Ya, mungkin memang sedang musim renovasi. Bayangkan saja, untuk anggaran peningkatan sarana dan prasarana aparatur (meliputi beberapa istana negara) yang dihandle oleh Sekretarian Negara, telah dianggarkan 80,4 miliar rupiah di dalam APBN 2012 ini.
Tiga kenyataan di atas, yaitu kisah “jembatan pendidikan”, renovasi gedung DPR dan sejumlah anggarannya yang irasional dalam kalkulasi moral kita, serta renovasi beberapa istana negara hingga menghabiskan lebih dari 80 miliar rupiah, merupakan potret buram wajah republik yang saban hari digelayuti paradoks. Wajah yang terbelah. Lalu lantak berkeping menjadi puing-puing.
Pejabat Predator
Penulis jadi teringat petuah Arnold Toynbee di dalam bukunya yang diterjemahkan, “Sejarah Umat Manusia”. Sejarawan kenamaan asal Inggris tersebut mengatakan bahwa kemajuan kehidupan pada dasarnya akan menghantar pelaku-pelakunya bersifat seperti parasit. Hanya bisa hidup dengan mengerogoti induk/inangnya. Lebih lanjut, kata Toynbee, pada titik ekstriimnya sifat parasitik tadi bahkan sering berubah menjadi predatoris. Memangsa, mengorbankan siapa saja demi mencapai hasratnya.
Ibarat parasit, para politikus dan pejabat negara menggerogoti anggaran yang seharusnya diperuntukkan bagi rakyat tersebut. Mereka hanya mampu hidup dengan korupsi. Alhasil, rakyat pun jadi korban. Anggaran yang seharusnya diperuntukkan bagi kepentingan bersama, untuk membangun prasarana pendidikan, infrastruktur pertanian, dan sarana publik, semua terkuras ke kas-kas koruptor. Dikanalisasi untuk kepentingan individu atau kelompok. Parahnya, sudah korupsi, mereka tak juga berkinerja.
Lebih parah lagi ketika sifat predatorisnya yang berlaku. Tak segan menghabisi orang lain. Seperti mafia (atau memang sudah menjadi mafia), mereka memiliki jaringan yang rapi dan terorganisir. Pada titik ini, pimpinan puncak dalam satu lembaga atau organisasi seharusnya memiliki kecakapan mereduksi praktek-praktek kotor bawahannya.
Tapi apa daya jika ternyata pemimpin yang diharapkan tak bisa berbuat banyak. Kepemimpinan lemah. Tersandera oleh berbagai kepentingan. Atau barangkali memiliki belang yang sama sehingga enggan sama-sama teridentifikasi sebagai pemimpin predatoris.
Maka jangan salahkan rakyat, jika frustasi menyaksikan tontonan yang dilakonkan para pejabat. Ledakan anarkisme, konflik horizontal dan berbagai bentuk letupan-letupan sosial hanyalah efek samping dari kerusakan terstruktur yang mendera bangsa kita. Jika begini, lalu mau apa?
Jusman Dalle
Analis Ekonomi-Politik FE Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar
Jumat, 06 Januari 2012
Warga Mesuji; Kami Pernah Makmur Sebelum Perusahaan Mencaplok Tanah Kami!
Warga Sritanjung, Kabupaten Mesuji, Lampung mengaku pernah makmur dan berhasil menjadikan 10 sarjana sebelum PT Barat Selatan Makmur Invesindo (BSMI) masuk dan menguasai areal perkebunan mereka. "Kami dulu makmur bahkan anak-anak kami berpendidikan sampai sarjana sebelum perusahaan itu masuk ke sini dan menguasainya pada tahun 1994," kata Ajar E, tokoh warga Sritanjung, Mesuji, Lampung, Jumat.
Menurut warga, perusahaan milik warga negeri jiran itu, menjajah hak-hak warga, karena mengambil lahan dan memanfaatkan lahan perkebunan namun tidak pernah mengganti rugi atas lahan yang digunakan tersebut.
Warga lainnya, Koko, mengaku memiliki lahan keluarga seluar 100 hektare, selama 17 tahun dia dan keluarga terikat perusahaan mengelola lahan itu dan seluruh hasil perkebunan diserahkan pada perusahaan dengan pendapatan sangat minim.
"Kami dipekerjakan dalam sebulan hanya 10 hari dengan upah kerja per hari Rp31 ribu dan upah itu di luar transportasi kami ke luar-masuk areal perkebunan," kata Koko. Warga mengaku jengah dengan tindakan kesewenang-wenangan perusahaan terhadap petani. Kejengahan itu terakumulasi dan puncaknya meledak pada 10 November 2011.
Masih pengakuan warga, mereka memanen sawit di kebun miliknya sendiri yang diklaim oleh perusahaan. Namun ketika itu salah satu motor warga ditarik paksa dengan menggunakan truk bahkan satu diantara rekan mereka hilang.
"Kami beramai-ramai mendatangi kantor kepolisian bermaksud mengambil motor dan menanyakan di mana keberadaan saudara kami, tapi belum saja kami sampai dan bertanya, anggota kepolisian membrondongi kami dengan peluru tajam," ujarnya.
Dalam insiden itu, satu warga tewas. Warga pun semakin memanas dan akhirnya membakar perusahaan. Di sana pun, warga masih dihujani peluru.
Insiden pelanggaran HAM itu bermula dari satu konflik agraria, yakni PT BSMI dan PT Lampung Interpertiwi (LIP) yang menguasai lahan tanpa melalui proses ganti rugi.
Dari 10 ribu hektare lahan inti PT BSMI yang digantirugi kepada warga hanya 5.000 hektare sisanya dianggap recognisi. emikian halnya dengan PT LIP dari 6.628 hektare yang diganti hanya 3.314 ha.
Kelebihan areal PT BSMI dan PT LIP tanpa proses pembebasan seluas 2.455 ha dan lahan cadangan plasma PT BSMI yang dikuasai tanpa proses pembebasan juga seluas 7 ribu hektare. Kini, warga berharap pemerintah mengambil HGU perusahaan itu dan mengganti pengelola perkebunan itu dengan perusahaan lain.
Menurut warga, perusahaan milik warga negeri jiran itu, menjajah hak-hak warga, karena mengambil lahan dan memanfaatkan lahan perkebunan namun tidak pernah mengganti rugi atas lahan yang digunakan tersebut.
Warga lainnya, Koko, mengaku memiliki lahan keluarga seluar 100 hektare, selama 17 tahun dia dan keluarga terikat perusahaan mengelola lahan itu dan seluruh hasil perkebunan diserahkan pada perusahaan dengan pendapatan sangat minim.
"Kami dipekerjakan dalam sebulan hanya 10 hari dengan upah kerja per hari Rp31 ribu dan upah itu di luar transportasi kami ke luar-masuk areal perkebunan," kata Koko. Warga mengaku jengah dengan tindakan kesewenang-wenangan perusahaan terhadap petani. Kejengahan itu terakumulasi dan puncaknya meledak pada 10 November 2011.
Masih pengakuan warga, mereka memanen sawit di kebun miliknya sendiri yang diklaim oleh perusahaan. Namun ketika itu salah satu motor warga ditarik paksa dengan menggunakan truk bahkan satu diantara rekan mereka hilang.
"Kami beramai-ramai mendatangi kantor kepolisian bermaksud mengambil motor dan menanyakan di mana keberadaan saudara kami, tapi belum saja kami sampai dan bertanya, anggota kepolisian membrondongi kami dengan peluru tajam," ujarnya.
Dalam insiden itu, satu warga tewas. Warga pun semakin memanas dan akhirnya membakar perusahaan. Di sana pun, warga masih dihujani peluru.
Insiden pelanggaran HAM itu bermula dari satu konflik agraria, yakni PT BSMI dan PT Lampung Interpertiwi (LIP) yang menguasai lahan tanpa melalui proses ganti rugi.
Dari 10 ribu hektare lahan inti PT BSMI yang digantirugi kepada warga hanya 5.000 hektare sisanya dianggap recognisi. emikian halnya dengan PT LIP dari 6.628 hektare yang diganti hanya 3.314 ha.
Kelebihan areal PT BSMI dan PT LIP tanpa proses pembebasan seluas 2.455 ha dan lahan cadangan plasma PT BSMI yang dikuasai tanpa proses pembebasan juga seluas 7 ribu hektare. Kini, warga berharap pemerintah mengambil HGU perusahaan itu dan mengganti pengelola perkebunan itu dengan perusahaan lain.
Langganan:
Postingan (Atom)