Aksi pemblokiran jalan tol oleh buruh Bekasi merefleksikan bahwa persoalan klasik di Indonesia tak kunjung tuntas, kejadian sengketa buruh dan pengusaha sebenarnya bukan isu baru di Tanah Air, hanya lokasinya saja yang berbeda-beda.
Pada kasus di Bekasi, para buruh menuntut adanya perbaikan Upah minimum Kota (UMK). Tidak hanya itu, menurut Koordinator Serikat Buruh Bergerak Obon Tabroni, mereka juga meminta jaminan hidup layak, seperti kipas angin, air minum dan alat komunikasi. Bagi sebagian kalangan tuntutan itu adalah hal yang sangat sepele. Namun, bagi para buruh itu adalah barang "wah" yang tidak mereka miliki.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa sistem pengupahan belumlah adil. Banyak pengusaha yang mementingkan ekspansi ketimbang menghargai para buruh.
Hal itu diakui oleh Sekretaris Umum Apindo Suryadi Sasmita. "Lulusan S1 terima upah minimum provinsi (UMP) sama dengan orang yang membersihkan toilet. Orang kerja baru dan kerja lama gajinya sama saja. Sistem yang baik adalah dapat gaji atau bonus sesuai kemampuan dan kontribusi," cerita dia.
Belajar dari Pengalaman
Untungnya, tragedi buruh Bekasi berhasil ditutup dengan happy ending dan tidak terjadi chaos. Pekerja dan pengusaha sepakat adanya perbaikan UMK, yakni untuk golongan I sebesar Rp1,491 juta. Kelompok II sebesar Rp1,715 juta dan kelompok III sebesar Rp1,849 juta.
Bak mati satu tumbuh seribu, persoalan di Bekasi sudah selesai, pekerja di Tangerang pun bergejolak. Ribuan buruh dari berbagai aliansi kompak menuntut disamakannya antara UMK Tangerang dengan DKI Jakarta. Seharusnya peristiwa buruh Bekasi bisa menjadi pengalaman mahal, sehingga tidak terjadi gejolak sama yang meresahkan banyak pihak.
Solusi utamanya terletak pada revisi Undang-Undang nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Perlu adanya perbaikan struktur gaji dan sistem pengupahan yang selama ini belum adil.
Selain merivisi payung hukum, solusi pamungkas lainnya adalah pengusaha selayaknya mendengarkan dan berdialog mengenai aspirasi pekerja. Perlu adanya perundingan yang menghasilkan win-win solution, baik pengusaha dan pekerja.
Lucunya, persoalan bernafaskan para kapital juga bergema dalam Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) pada akhir pekan lalu. Sebuah pertemuan tingkat dunia yang digelar di Davos, Swiss, itu pun didominasi cercaan terhadap kapitalisme (pada kesempatan itu dibahas kapitalisme liberal Barat).
Bahwa sistem yang menganut pro kapitalis dinilai sudah tidak relevan lagi dengan kondisi zaman. Bahkan, konsep kapitalis dinilai menindas dan mecampakkan kaum marginal.
Sudah saatnya kalangan kapitalis mendengarkan dan memperhatikan para pekerjanya. Khususnya perosalan gaji yang sangat sensitif.
Seandainya dua pendekatan itu dilakukan, gelombang unjuk rasa di Bekasi maupun Tangerang, mungkin bisa dihindari.
Sialnya, gemuruh emosi pekerja sudah tidak terbendung. Bukti nyata tidak didengarkannya aspirasi buruh adalah kaburnya investor Korea yang sudah berminat menanamkan modal di Indonesia. Mereka memilih Thailand, dengan pertimbangan bisnis mereka akan aman karena minimnya isu buruh. Kalau sudah begini, siapa yang dirugikan?
Rani Hardjanti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Tulis Komentar Anda