Kuliah Sigmund Freud di Universitas Clark, USA tahun 1909 tentang psikoanalisis merupakan tonggak pertama tumbuh-kembangnya teori tentang human personality yang menjadi cikal bakal kajian kecerdasan personal. Ketika itu, William James, psikolog dan filosof senior berpengaruh dari Amerika Serikat menyampaikan ucapan yang cukup monumental bersejarah kepada Freud: "The future of psychology belongs to your work".
Freud dan James merupakan representasi dari dua orientasi pemahaman kajian psikologi yang berbeda. Freud lebih memusatkan pada pengembangan kajian psikis individual (psikoanalisis). Menurutnya, kunci mencapai diri yang sehat adalah pengelolaan diri secara baik dalam mengatasi rongrongan psikis dalam diri. Sedang James bersimpati pada ide-ide Freud., tetapi ketertarikan James - yang juga banyak diikuti oleh psikolog sosial Amerika lainnya - lebih pada kajian hubungan antar individu (individual relationship) dalam tata pandang aliran behavioristik. Walaupun demikian, kedua pandangan tokoh ini mempercayai pentingnya konsep person (diri manusia), kepribadian berikut tumbuh-kembangnya .
Belakangan muncul konsep baru yang disebut Gardner sebagai personal intelligence (kecerdasan personal). Bangunan kecerdasan personal ini bersandarkan pada kecerdasan intrapersonal - yang dipelopori Freud melalui landasan kajian teori psikoanalisa individu - dan kecerdasan interpersonal dari kajian pemahaman sosial individu (the social origin of knowledge) yang dirintis James. Menurut Gardner, kecerdasan intra-personal berkaitan erat dengan kapasitas diri dalam mengelola, membedakan, menafsirkan aspek-aspek internal (inward) dirinya sendiri seperti perasaan, motivasi dan emosi yang berguna untuk memahami serta mengarahkan perilaku seseorang. Pada level bawah, kecerdasan intra personal adalah kapasitas seseorang yang berupaya membedakan situasi perasaan menyenangkan dari sesuatu yang tidak mengenakkan. Pilihan dari kondisi tersebut adalah melibatkan diri dan menikmatinya atau keluar dari situasi itu. Sedangkan pada tingkat yang lebih tinggi seseorang mampu mengenali dan menafsirkan perasaan-perasaan yang lebih rumit simbolik. Seorang penulis novel dapat menuangkan perasaan rumitnya melalui tulisan.
Sedangkan kecerdasan inter-personal berkaitan dengan kapasitas diri seseorang dalam memahami sifat-sifat orang lain (outward) seperti suasana hati, perasaan, motivasi dan temperamen. Pada level rendah, kecerdasan interpersonal bersinggungan dengan kapasitas seorang anak dalam mengenali dan membedakan berbagai suasana hati di sekitarnya. Sedangkan pada level tinggi, memungkinkan orang dewasa memahami atau "membaca" keinginan, kemauan dan harapan orang lain, meski perasaan tersembunyi.
Seseorang yang dianggap mengetahui sesuatu "know-that" dalam konteks kecerdasan intra dan inter-personal tidak sertamerta secara praksis lalu menjadi mampu "know-how" nya. Karakteristik kecerdasan personal sama dengan berbagai kecerdasan lain yang masih berupa potensi dan perlu "sentuhan" untuk menampakkannya. Survey tentang kecerdasan personal dianggap penting oleh Gardner. Menurutnya, bentuk-bentuk pemahaman personal sangat diperlukan pada sejumlah - kalau tidak ingin dikatakan semua - sektor kehidupan masyarakat. Namun, kajian kecerdasan personal cenderung diabaikan atau kurang diperhatikan oleh ahli psikologi kognisi. Padahal sejak lahir, atribut-atribut yang berkaitan dengan kecerdasan personal sudah melekat pada manusia. Bahkan simpanse-binatang mamalia yang mendekati ciri manusia-memiliki juga perasaan seperti pada diri manusia, yang diperolehnya tanpa terlebih dulu dilatih.
Tumbuh-kembangnya kecerdasan personal paling tidak dapat dibagi dalam beberapa masa yakni masa bayi sampai umur dua tahun; masa kanak-kanak usia dua hingga lima tahun; masa usia sekolah; masa remaja; dan masa dewasa. Pada fase-fase awal, individu telah mampu membedakan antara ayah dan ibu, orang tua dan orang lain, ekspresi gembira dan sedih atau marah. Berbagai perasaan yang diperoleh dari orang lain, pengalaman dan lingkungannya merupakan cikal bakal tanda-tanda empati pada diri individu sejalan dengan perkembangan aspek bahasa. Pada usia awal sekolah individu mendapatkan pengalaman bersosialisasi, mengenal orang lain, besifat lebih luwes, dan egocentrism berkurang. Biasanya di usia 6, 7 dan 8 tahun, anak melakukan sesuatu secara fisik apa yang dia bisa lakukan setelah memperoleh berbagai pengetahuan. Pada fase berikutnya, muncul sensitivitas sosial yang lebih besar pada perasaan orang lain.
Kecerdasan personal menurut Gardner dipengaruhi oleh budaya. Dalam budaya Jawa misalnya seseorang terbiasa dengan menekan kedalam perasaan-perasaan subyektifnya yang berbeda dengan dunia Barat yang selalu mengekspresikan perasaannya. Konsep lainnya adalah "civilized versus uncivillized or vulgar". Menurut konsep ini, kondisi "civilized" dapat diraih melalui displin beragama (ritual keagamaan) dan etika bersosialisasi. Kecerdasan personal yang berkembang dengan baik memungkinkan individu memiliki andil dalam pengembangan komunitas masyarakatnya. Makin rendah kemampuan seseorang memahami perasaannya sendiri, makin buruk orang tersebut dalam berinteraksi dengan orang lain. Selanjutnya, semakin kurang kemampuan individu memahami perasaan dan perilaku orang lain, semakin buruk interaksi orang tesebut dengan orang lain.
Dalam tulisan Gardner tidak disinggung sama sekali tentang konsep emotional intelligence yang diperkenalkan antara lain oleh Reuveun Bar-On, Peter Salovey, John Myers dan beberapa tokoh lain pada era ahun 1980an termasuk Daniel Goleman. Bahkan, kemudian Goleman melalui buku best seller pada tahun 1995 mengungkap secara populer dan lengkap kecerdasan emosional tersebut. Seandainya Gardner mengutip juga pendapat para tokoh diatas, maka tulisannya tentang kecerdasan personal akan lebih bermanfaat untuk pendidikan, sekalipun latar penelitian yang mereka lakukan bukan pada latar persekolahan.
Kajian-kajian Peter Salovery dan kawan-kawan sebenarnya menarik untuk dibahas mengingat mereka berupaya menampilkan alat tes kecerdasan emosional. Pada bukunya yang terbit kemudian Intelligence Reframed (1999) Gardner mulai melihat dan membahas referensi lain yang berkaitan dengan kecerdasan emosional termasuk kajian yang dilakukan oleh Goleman..
Berbeda dengan Goleman yang tampak berupaya me"globalisasikan" atau men"jual" temuannya untuk kepentingan awam, Gardner cukup berhati-hati dalam melakukan kajiannya yang lebih di arahkan pada dunia pendidikan. Ia cukup lapang dada dalam menerima berbagai kritik atas hasil temuannya itu.. Bahkan, ia sendiri berupaya melakukan otokritik terhadap teori kecerdasan majemuk seperti terungkap dalam tulisan Multiple Intelligences after 20 years (www.eiconsortium.org; diakses 30 Nopember 2006). Salah satu kritik yang diterimanya adalah tentang alat ukur kecerdasan yang tidak diupayakan untuk dikembangkan oleh Gardner sendiri. Teori dan temuannya memang tidak dilengkapi dengan alat tes untuk mengukur kecerdasan, karena kajian-kajian Gardner lebih didasarkan pada pengalaman dan pengamatan sehari-hari yang lebih bersifat kualitatif.
Hasil-hasil temuan Gadner dan Goleman dapat merupakan referensi yang saling melengkapi dalam kajian Psikologi Pendidikan, walaupun memang penelitian Gardner belakangan di arahkan pada kebutuhan dan keperluan dunia industri. Hal ini mengingat kajian Goleman tentang emotional intelligence didukung pendanaannya oleh perusahaan multinasional yang bergerak pada pengembangan sumber daya manusia bernama Hay Group (www.eiconsortium.org; diakses 30 Nopember 2006). Oleh karena pendanaan kegiatan Goleman diberikan oleh lembaga berorientasi komersial ini, sehingga dapat dimaklumi jika penelitiannya lebih ke arah lingkup dunia usaha dan industri, sesuai pesanan Hay Group. Sebaliknya, Gardner lebih menaruh perhatian pada dunia pendidikan formal. Penelitian Gardner yang melahirkan teori Multiple Intelligences (kecerdasan majemuk) dilakukan terbatas dengan metode observasi dan kajian teoretik.
Hal cukup menarik yang perlu diungkap pada perbedaan tata pandang (worldview) dari kedua tokoh adalah persoalan nilai. Goleman sangat mempertimbangkan masalah-masalah nilai dan moral dalam penelitiannya, sedangkan Gardner menganggap hasil temuannya itu bersifat value free, artinya proses perkembangan atas temuannya itu tidak dipengaruhi oleh nilai-nilai moral. Lebih jauh lagi Gardner tidak sepaham dengan teori yang muncul tentang kecerdasan spiritual, moral dan sejenisnya. Menurut Gardner, kecerdasan moral dan spiritual belum memenuhi kriteria keilmuan, sehingga belum bisa dimasukkan dalam kategori kecerdasan (intelligence). Dalam bukunya ia memang belum membahas "sentuhan" untuk menumbuh-kembangkan kecerdasan personal. Tetapi pada buku-buku selanjutnya ia mulai membahas lebih rinci tentang kondisi dan suasana yang diperlukan dalam meningkatkan kecerdasan majemuk individu (Gardner, 1999, 2002).. Salahsatu pembahasan masalah ini terdapat dalam The Disciplined Mind.
Dalam buku The Disciplined Mind (Gardner, 1999) diungkapkan bahwa jika sekolah-sekolah tidak segera merubah dirinya ke arah yang lebih baik, maka fungsi sekolah bisa diganti oleh lembaga atau institusi lain yang lebih responsif terhadap kebutuhan belajar masyarakat. Tujuan pendidikan pada dasarnya adalah membuat individu ingin melakukan sesuatu bukan menyuruhnya atas apa yang harus dilakukan. Menciptakan lingkungan pendidikan yang nyaman, suasana menyenangkan, menantang dan menggugah minat belajar siswa/pebelajar merupakan misi penting pendidikan (halaman 77 dari The Disciplined Mind). Selama bertahun-tahun guru dan pendidik sering berkutat pada pengemabngan nilai-nilai kognitif semata. Sentuhan-sentuhan potensi yang terdapat dalam teori Multiple Intellegences kurang terperhatikan dengan baik dan benar. Oleh sebab itu, penyesuaian suasana lingkungan belajar yang mengacu pada pengembangan potensi berbagai kecerdasan lain menurut Gardner diperlukan dan membawa siswa pada pemahaman mendalam tentang: true or false, beautiful or unpalatable, good or evil (The Disciplined Mind halaman 52, 75, 186). Selain itu, dalam khasanah kecerdasan majemuk telah muncul berbagai buku tentang latihan-latihan untuk mengaktualisasikan potensi kecerdasan majemuk, salah satunya buku: berjudul: Multiple Intelligences: Best Ideas From Reserach and Practice (Mindy dan kawan-kawan, 2004).
*) Mhs PPs MPI-UIN Maliki Malang
Dosen Luar Biasa Universitas Brawijaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Tulis Komentar Anda