Bentrok antara polisi dan warga yang melakukan unjuk rasa sering terjadi. Di Bima, setidaknya dua orang tewas terkena tembakan aparat. Standar pengamanan unjuk rasa yang membolehkan polisi menyandang dan menggunakan senjata api pun dipertanyakan.
"Ini semua harus dievaluasi. Apakah saat menghadapi rakyat harus membawa senapan serbu?" ujar Penasihat Indonesia Police Watch, Johnson Panjaitan kepada detikcom, Minggu (25/12/2011).
IPW menyoroti tindakan kekerasan yang dilakukan polisi pada masyarakat. Selain di Bima, polisi juga melakukan kekerasan saat mengamankan unjuk rasa rakyat yang menuntut hak tanah miliknya di berbagai daerah. Johnson pun menyindir Polri sudah menjadi petugas keamanan pertambangan.
"Apa perlu kita kumpulkan uang seperti Freeport bayar uang keamanan Polri agar Polri memihak dan mau mengamankan rakyat," sindirnya.
Evaluasi penggunaan senjata harus segera dilakukan. Dengan senjata api berpeluru tajam, penanganan konflik akan selalu berujung represif. Pengamat Kepolisian Bambang Widodo Umar menjelaskan evaluasi penggunaan senjata api pernah dilakukan kepolisian London. Saat itu komandan polisi London melihat anak buahnya sudah berlaku sedemikian represif. Maka para komandan pun menarik dan menyimpan semua senjata api polisi itu.
"Jadi polisi itu belajar menyelesaikan unjuk rasa dengan dialog. Bukan dengan kekerasan dan menggunakan senjata api," terang Bambang saat dihubungi terpisah.
Ketum Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin mengecam keras tindakan brutal aparat keamanan yang penembakan terhadap pengunjuk rasa di Bima, Nusa Tenggara Barat.
"Tindakan tersebut mencerminkan tirani dan arogansi kekuasaan, dari negara dan aparat negara yang tidak melindungi rakyatnya," kata Din dalam siaran pers tertulisnya pada Minggu (25/11/2011).
Lanjutnya, bentrok di Bima berpangkal pada kebijaksanaan pemerintah yang tidak bijak, tidak berpihak kepada rakyat dan hanya membela kepentingan pengusaha.
"Seyogyanya aspirasi rakyat diperhatikan dan dipertimbangkan melalui dialog-dialog intensif dan persuasif," tegasnya.
Tindakan aparat keamanan, kata dia, yang melakukan penembakan hingga menewaskan dua orang warga sipil merupakan pelanggaran HAM berat yang harus diproses melalui jalur hukum secara berkeadilan.
"Kami meminta Presiden SBY untuk tidak tinggal diam dan mendesak Kapolri untuk bertaggung jawab," pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya dua orang yakni Arief Rachman (18) dan Syaiful (17) tewas dan 22 orang terluka dalam bentrokan warga dengan aparat keamanan di Bima. Bentrok tersebut berawal dari enggannya warga untuk meninggalkan Pelabuhan Penyebrangan ASDP Sape yang sudah diduduki sejak Senin 19 Desember lalu.
Polisi yang berjumlah sekira 300 personel awalnya melakukan upaya persuasif untuk meminta warga yang menolak pertambang di milik PT Sumber Mineral Nusantara untuk membuarakan diri.
Diduga upaya tersebut mengalami jalan buntu, petugas yang berasal dari Brimob Kabupaten Dompu, Kabupaten Sumba, Kabupaten Mataram, Nusa Tenggara Barat, dan Gegana dari Brimob Matara langsung melakukan upaya pembubaran paksa.
Alhasil bentrok antar warga dengan polisi tidak terhindarkan. Dalam tuntutannya, massa meminta agar Bupati Bima Ferry Zulkarnaen untuk mencabut izin pertambangan seusai degan SK 188 tentang izin pertambangan. Namun Ferry mengaku tidak bisa mencabut izin tersebut dan hanya bisa dilakukan penghentian eksplorasi selama setahun.
Upaya persuasif yang dilakukan aparat kepolisian dan pemerintah Bima, NTB tidak berbuah hasil. Hingga akhirnya pada Senin 19 Desember lalu warga menutup Pelabuhan Sape.
Alhasil aktivitas di pelabuhan selama hampir sepekan lumpuh. Sejumah kendaraan yang ada di dalam kapal penyeberangan tidak bisa keluar dari pelabuhan akibat pendudukan pelabuhan oleh massa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Tulis Komentar Anda