Oleh Manuel Kaisiepo, Anggota DPR dari Fraksi PDI-P Rangkaian konflik disertai tindak kekerasan yang terus bereskalasi di Papua seakan melanggengkan label Papua sebagai ”zona konflik”. Zona ini memberlakukan hukum ”pasar kekerasan” di mana kekerasan menjadi komoditas yang ”diperjualbelikan” untuk berbagai kepentingan yang tidak jelas.
Konflik dan rangkaian kekerasan yang terus terjadi—apa pun motif dan tujuannya, terjadi begitu saja atau by design—mengindikasikan ketidakmampuan pemerintah (pusat dan daerah) dalam menangani masalah Papua secara konsisten, komprehensif, adil, dan bermartabat.
Sungguh ironis, konflik berlarut-larut disertai tindak kekerasan di Papua itu terjadi justru setelah Papua dideklarasikan sebagai ”Tanah Damai”.
Ironis, sebab konflik disertai kekerasan itu terus terjadi setelah lebih dari satu dekade diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua (UU Otsus Papua). UU ini lahir sebagai suatu konsensus politik sekaligus upaya win-win solution guna mengakhiri konflik politik dan kekerasan selama 30 tahun pemerintahan Orde Baru serta untuk meningkatkan kesejahteraan, harkat, dan martabat rakyat Papua.
Melalui UU Otsus Papua, pemerintah mendelegasikan kewenangan yang besar kepada pemerintah daerah disertai kucuran dana yang juga sangat besar. Dana puluhan triliun rupiah ini di luar dana lain seperti APBD dan dekonsentrasi.
Pemerintah juga baru saja mencanangkan kebijakan khusus untuk Papua melalui dua peraturan presiden (perpres) yang ditandatangani 20 September 2011. Pertama, Perpres Nomor 65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Kedua, Perpres Nomor 66 Tahun 2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Perpres itu dilengkapi dokumen rinci berjudul Rencana Aksi yang Bersifat Cepat Terwujud Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat Tahun 2011-2012.
Mengapa komitmen pemerintah terhadap proses pembangunan di Papua melalui UU Otsus Papua, dua perpres, rangkaian kebijakan lainnya, dan disertai kucuran dana triliunan rupiah belum mampu meningkatkan kualitas hidup serta harkat dan martabat rakyat asli Papua?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Tulis Komentar Anda