Pada dasarnya sistem budaya yang mengikat Kabupaten Bone sebagai sebuah wasiat kearifan lokal (culture value) harus diterjemahkan dalam konteks kekinian. Wasiat kebudayaan jangan justru dikendalikan sesuai dengan hasrat kepentingan dan kekuasaan, apalagi menggunakan simbol-simbol kekuasaan dalam memenjarakan partisipasi aktif masyarakat Bone.
Kabupaten Bone dikenal sebagai daerah yang sarat dengan potensi alam yang berlimpah. Iklim geografisnya sangat memungkinkan multi sektorial, terutama sektor pertanian menjadi produktifitas yang signifikan.
Begitupun jika menilik kekayaan laut yang senantiasa menjadi pusat sirkulasi perdagangan. Secara tekstual mustahil jika dikatakan Kabupaten Bone tertinggal oleh kabupaten lain di Sulawesi Selatan.
Bukan hanya itu. Pusat sejarah dan kebudayaan Kabupaten Bone rupanya menjadi patronasi historis dalam membentuk sistem nilai dan pranata sosial yang biasa dikenal dengan sistem pangngadeereng.
Sistem Pangngadereng
Mattulada dalam Latoa mengisyaratkan tentang pranata sosial masyarakat Sulawesi Selatan yang disebut dengan panggadereng (bahasa Bugis) dan pangngaadakkang (bahasa Makassar). Pranata sosial dalam pangngadereng yang dimaksud meliputi; adak (adat kebiasaan), rapang (persamaan hukum), bicara (undang-undang), wari (pelapisan dan status sosial), dan sarak (syariat). Sebagaimana halnya struktur pemerintahan kerajaan, maka unsur-unsur pangadakkang pun yang telah ada sebelumnya tetap berlanjut setelah Islam diterima sebagai agama negara. Islam hanya memperkaya dengan menambahkan satu unsur yang disebut sarak (syariat).
Sebagai pranata Islam, sarak diakui sebagai salah satu unsur penyempurnaan struktur pemerintahan Kabupaten Bone pada masa lampau. Penerimaan Islam sebagai agama resmi kerajaan merupakan babak baru dalam peradaban di kebudayaan di Kabupaten Bone, setelah beberapa periode pemerintahan tidak ditemukan perubahan yang mendasar.
Sayangnya, kompleksitas kebudayaan yang mengikat lima sistem sosial tersebut di atas seolah-olah telah ditinggalkan oleh peradaban kebudayaan kekinian. Padahal jika ditelusuri berdasarkan falsafah kebudayaan, panggadereng merupakan sistem nilai dan norma-norma masyarakat dalam menjalankan hubungan kolektivitas.
Sebuah hubungan interaksi sosial-budaya yang membentuk harmonisasi, yaitu serangkaian khasanah kebudayaan lokal yang senantiasa menekankan aspek kesantunan, etika politik, penegakan maupun kesamaan hukum dan penanaman nilai spiritualitas masyarakat. Sistem panggadereng merupakan sebuah kompleksitas kekayaan dan kearifan budaya yang tidak hadir begitu saja, tapi terbentuk setelah mampu memecah kebuntuan transformasi sosial (hierarki historia).
Olehnya, bangunan wasiat panggadereng senantiasa menjadi sebuah energi bagi masyarakat apabila kesadaran micro cosmos (manusia) terefleksikan melalui pesan-pesan macro cosmos (alam). Bahwasanya ada ketentuan-ketentuan alam dan spritualitas yang membangun etika dan moralitas masyarakat, termasuk hadirnya falsafah keseimbangan (balancing) dalam sistem kehidupan masa lampau.
Falsafah keseimbangan inilah yang senantiasa hilang dalam generasi keilmuan saat ini. Jika di China dikenal dengan konsep Ying Yang sebagai suatu kompleksitas kehidupan, maka di Kabupaten Bone dikenal dengan konsep sulapa appa'. Sebuah wujud kesempurnaan manusia dalam mengungkap rahasia-rahasia alam dan kehidupan.
Pergeseran Nilai
Pada dasarnya sistem budaya yang mengikat Kabupaten Bone sebagai sebuah wasiat kearifan lokal (culture value) harus diterjemahkan dalam konteks kekinian. Wasiat kebudayaan jangan justru dikendalikan sesuai dengan hasrat kepentingan dan kekuasaan, apalagi menggunakan simbol-simbol kekuasaan dalam memenjarakan partisipasi aktif masyarakat Bone.
Karena harus dipahami bahwa langkah-langkah partisipasi masyarakat dalam setiap aspek sektorial, justru merupakan sebuah aset mesin tatakelola yang sangat signifikan dalam mewujudkan progres pembangunan yang ideal. Namun jika tidak, maka masyarakat akan berusaha membentuk perubahannya sendiri ketika jenuh memperoleh hidangan kebijakan yang monoton dan terbatas.
Meningkatnya perkembangan ekonomi industri di Sulawesi Selatan semakin memberikan peluang bagi masyarakat dalam memasuki era-kompetitif. Nilai yang senantiasa mengilhami setiap keinginan untuk memperoleh pencitraan daerah saat ini begitu tinggi.
Bagi sebagian besar masyarakat mengasumsikan bahwa pada dasarnya prilaku partisipatif sangat susah dilakukan karena hampir dalam setiap interaksi sosial, mereka diikat oleh sistem yang menakutkan dengan beberapa instrumen kebijakan yang sistemik. Di sisi lain masyarakat Bone justru terseret pada partisipasi ekonomi-kapital; mengapa tidak, narasi ekonomi saat ini justru menawarkan hidangan industri yang begitu stimulatif.
Sebagian dari mereka menganggapnya sebagai konsekuensi modernisme, bagi yang tidak berpartisipasi dianggap kurang modern atau kolot. Perilaku massif tersebut menggiring masyarakat untuk memasuki konteks peradaban baru. Dari sinilah peran nilai budaya lokal harus di-interpretasikan secara kontekstual.
Dari simplifikasi di atas, yang harus dipahami bahwa wasiat kebudayaan Bone bukan merupakan pedoman strategi pemenjaraan potensi masyarakat Bone. Tidak membatasi ruang partisipasi masyarakat dalam mewujudkan progres pembangunan sektorial.
Yang harus dipahami bahwa wasiat kebudayaan kearifan Bone harus diletakkan sebagai suatu tujuan kolektifitas-partisipatif (collective consciousness). Kita harus memahami bahwa salah satu spirit perubahan masa lampau yang telah berhasil memerdekakan dan melepaskan sistem perbudakan masyarakat Bone adalah buah hasil dari perjuangan Arung Palakka i Latenritatta.
Artinya, Arung Palakka sebagai bagian dari perjalanan sejarah kepemimpinan Bone-pun melihat bahwa Kerajaan Bone harus diselamatkan dalam kungkungan otoritasi perbudakan dan membuka jalan perubahan melalui partisipasi kolektif yang lebih besar. Perjuangan yang melepaskan sistem feodalistik menuju perubahan yang demokratis. Jangan lagi wasiat kebudayaan mengalami pengusangan secara priodik, sehingga wasiat kultural masyarakat Bone sebagai landasan prinsip-prinsip pangngadereng hilang bersamaan dengan hadirnya tuntutan hasrat kekuatan dan kekuasaan yang salah tafsir.
Jika ditelusuri secara holistik, maka paradigma historia kultural Bone harus diterjemahkan dalam konsep ontologis. Yaitu bagaimana aset kebudayaan histories dapat diterjemahkan melalui pendekatan kekinian, sehingga kebudayaan Bone akan mampu menjadi spirit pembangunan yang berkarakter, sarat dengan ke-khasan dan identitas yang kokoh. Jika tidak, maka pesona sejarah hanya mampu menghisapi ruang-ruang fantasi kita, tanpa menyadari bahwa kita telah larut dalam genggaman kultur yang begitu mengerikan.***
Oleh: Imran Tenritatta Amin Syam
Anggota DPRD Kota Makassar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan Tulis Komentar Anda